Negara Kaya Numpuk Utang dan Negara Miskin Gagal Bayar Bikin Cemas

Senin, 05/12/2022 15:40 WIB
Bank Dunia (Foto: CIO)

Bank Dunia (Foto: CIO)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Bank Dunia David Malpass mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ketidakmampuan global dalam mengelola utang gagal bayar di negara-negara berpendapatan rendah dan mulai meningkatnya nilai utang negara kaya.


"Saya khawatir akan kekacauan pada gagal bayar di mana tidak adanya sistem yang benar-benar dapat mengatasi masalah di negara miskin," katanya dalam sebuah acara yang diadakan oleh Reuters pada Kamis (1/12/2022) lalu.


Dilansir Bloomberg pada Jumat lalu, Malpass mengatakan bahwa lembaga keuangan internasional sudah sejak lama memberi peringatan adanya kenaikan utang, terutama seiring dengan kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan untuk meredam inflasi.

"Kita juga harus mengatasi masalah di negara ekonomi maju. Negara-negara raksasa ini menumpuk utang. Dengan kenaikan suku bunga acuan, biaya utang akhirnya naik bagi negara kaya dan itu menimbulkan beban yang besar dari dunia," ungkapnya.

World Bank saat ini mengoperasikan International Development Association (IDA), sebuah platform untuk mengatasi kemiskinan di 74 negara miskin. Nilai pinjaman pada tahun ini mencapai US$62 miliar, sekitar 35 persen lebih besar daripada 2021.

Beberapa negara donor seperti Amerika Serikat telah menyediakan pendanaan untuk mendukung IDA. Namun, bantuan tersebut tidak cukup untuk menutupi biaya sehingga menciptakan tantangan besar. Sekitar 66 persen kredit bilateral dalam kerangka IDA berasal dari China.

Ekonomi terbesar kedua di dunia ini telah mendapat kecaman karena dianggap tidak terlibat dalam upaya global untuk mengurangi beban utang negara-negara berkembang. Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan pada beberapa kesempatan bahwa Beijing telah menjadi hambatan terbesar untuk kemajuan.


Dalam pertemuan G20 di Bali pada November, Common Framework yang terdiri dari kreditur kaya tradisional bersama China telah berupaya untuk merestrukturisasi utang dari negara berpendapatan rendah melalui cara case by case. Terdapat tiga negara yang menandatangani perjanjian ini, seperti Chad, Ethiopia, Zambia.

"Beberapa negara telah menunggu 2 tahun untuk memulai proses restrukturisasi utang, maka ada tanggung jawab untuk membuat proses yang bisa bekerja lebih baik dan tanggung jawab China untuk melakukan proses tersebut," ungkap Malpass.

Malpass mengatakan akan berangkat ke China bersama Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgiva dalam perjalanannya ke China pada pekan depan untuk membahas permasalahan utang.

Kepala International Monetary Fund (IMF) akan mulai menekan China untuk mengakselerasi penciptaan solusi seiring degan membengkaknya utang di negara miskin. Hal itu akan disampaikan dala kunjungannya ke Beijing bersama Malpass pada pekan depan.

"Kita tidak memiliki banyak waktu untuk mencari resolusi karena kita dihadapkan oleh permasalahan utang yang signifikan dan menyebar luas. Kami sangat ingin melihat China - salah satu yang terbesar, yang sebenarnya kreditur bilateral terbesar - mengambil tanggung jawab untuk mencari tahu bagaimana kami dapat mempercepat resolusi itu," kata Georgiva.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar