Akibat Korupsi, Ratusan Milyar Rupiah Dana Perguruan Tinggi Raib 

Kampus Jadi Ladang Korupsi, Duit Mahasiswa Buat Bancakan

Sabtu, 25/11/2023 13:18 WIB
Ilustrasi: Kampus sebagai lambang pendidikan tinggi diincar para koruptor.

Ilustrasi: Kampus sebagai lambang pendidikan tinggi diincar para koruptor.

law-justice.co - Kampus perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan sejatinya menjadi benteng moral dan etika bangsa ini, selain tentunya sebagai sumber pendidikan. Namun, beberapa waktu terakhir kampus justru dijadikan sebagai ladang korupsi. Modusnya beragam, dari yang paling klasik berupa markup pengadaan hingga yang tergolong muntakhir dengan rekayasa duit biaya mahasiswa mandiri. Ratusan milyar dana perguruan tinggi ditengarai telah ludes diganyang koruptor di berbagai kampus Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Menurut rilis Indonesia Corruption Watch pada Rabu (4/7/2023) terdapat sedikitnya 37 kasus dugaan korupsi di Perguruan Tinggi yang telah dan sedang diproses oleh institusi penegak hukum maupun pengawas internal. Jumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkan mencapai Rp 218,804 miliar dan nilai suap mencapai sekitar Rp 1,78 miliar.

Pada sisi aktor, pelaku korupsi dana perguruan tinggi merupakan civitas akademika, pegawai pemerintah daerah dan pihak swasta. ICW melakukan pemetaan sedikitnya 12 (dua belas) Pola Korupsi di Perguruan Tinggi antara lain Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa; Korupsi dana pendidikan atau Corporate Social Responsibility (CSR); Korupsi anggaran internal Perguruan Tinggi; Korupsi dana penelitian; Korupsi dana beasiswa mahasiswa; Korupsi penjualan asset milik Perguruan Tinggi; Suap dalam penerimaan mahasiswa baru; Suap dalam pemilihan pejabat di internal Perguruan Tinggi; Suap atau “jual beli” nilai; Suap terkait akreditasi (Program Studi atau Perguruan Tinggi); Korupsi dana SPP mahasiwa; dan Gratifikasi mahasiswa kepada Dosen.

Perkara yang masih hangat adalah dugaan korupsi dana perguruan tinggi yang dilakukan oleh Rektor non aktif Universitas Udayana Bali Prof. I Nyoman Gde Antara. Dia dituding menilap duit sumbangan pengembangan institusi atau SPI mahasiswa baru seleksi jalur mandiri tahun akademik 2018/2019 sampai dengan 2022/2023. Berdasarkan pemeriksaan alat bukti, keterangan saksi dan hasil audit, Gde Antara dugaan merugikan negara sebesar Rp105,39 miliar dan Rp3,94 miliar. Selain itu, tersangka juga merugikan perekonomian negara hingga mencapai Rp334,57 miliar.

Perjalanan kasus Antara ini tergolong panjang daan menarik. Selain karena pengungkapannya memakan waktu hampir lima tahun, perjuangan ini juga melibatkan civitas akademika. Pihak rektorat Universitas Udayana butuh waktu lima tahun untuk membuka data pengelolaan dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) kepada mahasiswa. Dalam rentang 2018-2023, mahasiswa kampus itu pula tak henti mendesak transparansi melalui sejumlah demonstrasi.

Rektor Unud nonaktif I Nyoman Gede Antara menjalani sidang eksepsi di PN Tipikor Denpasar, Selasa (31/10/2023). (Detik)

Tetapi, itikad pihak kampus bukan karena terdesak aksi mahasiswa, melainkan karena langkah Kejaksaan Tinggi Bali yang telah menetapkan sang rektor sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana perguruan tinggi dalam hal ini SPI. 

Maret 2023 ini, rektor Udayana, I Nyoman Gde Antara ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Bali. Ia bersama tiga pelaku lain yang berstatus staf kampus yakni I Ketut Budiartawan, Nyoman Putra Sastra, dan I Made Yusnantara diduga korupsi dana uang pangkal kuliah mahasiswa baru yang masuk melalui jalur seleksi mandiri. Kerugian keuangan negara ditaksir hingga Rp335 miliar. Belakangan, proses hukum sudah memasuki persidangan. 

Koordinator analisis pergerakan BEM Udayana, Dimastio mengatakan sebelum pihak kampus membuka data pengelolan dana SPI pada tahun ini, mahasiswa hanya mengandalkan laporan keuangan tahunan. Itu pun tak spesifik menjelaskan pengelolaan pungutan uang pangkal. Dalam penggunaan dana perguruan tinggi itupun, mahasiswa tak mengetahui apa saja yang telah dilakukan kampus. 

“Mahasiswa merasa selama dipungut SPI ini tidak ada pembangunan yang signifikan, baik secara infrastruktur. Di sisi lain mahasiswa mengeluhkan kurangnya fasilitas dan gedung tidak layak. Artinya SPI selama 5 tahun ini jadi pertanyaan, dananya mengalir kemana,” kata Dimastio kepada Law-justice, Kamis (24/11/2023). 

Adapun hak perguruan tinggi negeri di lingkungan Kemendikbudristek untuk memungut jenis uang pangkal ini diatur dalam Pasal 8 Permen Ristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbudristek, juga dalam Pasal 10 Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020. SPI sendiri termasuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang alokasi dan proporsinya ditetapkan dengan Keputusan Rektor—yang penggunaan dananya untuk pembangunan infrastruktur kampus. 

Kata Dimastio, besaran uang pangkal berbeda setiap tahun dengan nominal variatif per program studi. Besaran uang pangkal yang berubah-ubah ini lah diduga sarat permainan lantaran tidak adanya transparansi kampus ihwal alasan perubahannya. “Dalam aturan seharusnya proporsional nominalnya, mahasiswa yang tidak mampu tidak dibebani SPI dan SPI tidak boleh jadi penentu kelulusan. Tapi, SPI di Udayana tidak proporsional, misal di fakultas besar seperti teknik, ekonomi, kedokteran,” kata Dimas. 

Ia mengatakan besaran uang pangkal mahasiswa fakultas kedokteran bisa mencapai Rp1,2 miliar, sementara fakultas hukum di angka Rp15 juta. Dari besaran SPI ini, tak heran pemasukan kampus dari dana perguruan tinggi ini mencapai ratusan miliar setiap tahunnya. Besaran uang pangkal ditentukan sebelum calon mahasiswa mengikuti seleksi mandiri. Semakin tinggi, semakin besar pula peluang lolos. “Nah di situ potensi titip-menitipnya,” katanya. 

Dalam sidang perdana I Nyoman Antara pada Oktober lalu, jaksa mengungkap adanya dugaan kongkalikong untuk meloloskan mahasiswa yang merupakan titipan pejabat kampus hingga pejabat negara. Dalam bukti berupa percakapan WhatsApp, Nyoman Antara kedapatan memberi instruksi kepada Putra Sastra yang berstatus kordinator pengolah data penerimaan mahasiswa baru. 

Satu di antara pesannya berbunyi demikian, “Mang ini prioritas 1, klrg senat” “tlg diusahakan sgr”. Lalu, Putra Sastra menjawabnya, “Sudah. Nilainya dibuat tinggi.” 

Belakangan, kata Dimas, terungkap ada sejumlah prodi yang sebenarnya tidak dibebankan SPI. Namun selama 5 tahun terakhir justru kampus mewajibkan uang pangkal yang mahal kepada calon mahasiswa. “Dalam SK rektor (yang tidak diwajibkan SPI) ada di FIB sebanyak 6 prodi ditambah 2 prodi di level diploma,” ujar dia.  

Dengan segala penyimpangan SPI, Dimas mewanti-wanti bahwa Udayana menyandang predikat Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTNBLU). Status demikian seharusnya tidak mewajibkan Udayana memungut dana SPI. Sebab, dana pungutan semcam itu tidak tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51/PMK.05/2015 tentang tarif layanan BLU yang menjadi dasar pendanaan Udayana.

Ia menekankan Udayana masih bisa hidup tanpa bergantung pada dana SPI. Karena pendanaan PTN yang ditujukan untuk peningkatan kualitas dan prestasi mahasiswa juga berasal dari sumber pendanaan lain seperti alokasi dana APBN, Uang Kuliah Tunggal (UKT), kerja sama, hingga pengelolaan aset.

Menurutnya, aktor yang terlibat dalam korupsi ini tidak hanya I Nyoman Antara beserta tiga stafnya. Sebab, adanya pemberlakuan SPI ini bermula dari SK Rektor pada 2018. Saat itu rektor Udayana dijabat oleh A.A Raka Sudewi. Adapun I Nyoman Antara bertugas sebagai Warek yang merangkap ketua panitia penerimaan mahasiswa baru. 

Agustina Wilujeng Pramestuti, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi PDIP. (Womenobsession)

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Agustina Wilujeng Pramestuti mengomentari kasus korupsi dana perguruan tinggi atau sumbangan pengembangan institusi (SPI) yang menjerat beberapa pejabat Universitas Udayana (Udayana).  Ia menjelaskan proses hukum terhadap ketiga pejabat Unud yang terlibat korupsi dana SPI harus berjalan. "(Terkait) SPI yang dikorupsi, mereka yang bersalah diproses secara hukum," kata Agustina melalui keterangan yang diterima Law-Justice, Jumat (24/11/2023).

Untuk diketahui, SPI adalah salah satu jenis biaya kuliah yang harus dibayarkan calon mahasiswa baru ketika masuk perguruan tinggi negeri (PTN). SPI juga sering disebut sebagai uang pangkal untuk mahasiswa baru jalur mandiri yang hanya dibayarkan sekali selama menempuh pendidikan. Besaran SPI bervariasi tergantung kampus dan jurusan yang dipilih calon mahasiswa baru.

Politikus PDI Perjuangan itu menyebut penyalahgunaan dana SPI tidak hanya terjadi di Unud. Ia menegaskan penggunaan dana SPI harus sesuai dengan amanat UUD 1945. Disisi lain, ia menyebut kampus tidak diwajibkan untuk memungut dana perguruan tinggi. "Sah secara hukum tapi tidak wajib," jelas Agustina.

Modus Korupsi di Kampus

Pegiat antikorupsi Emerson Yuntho menjabarkan 12 praktik korupsi yang terjadi di Perguruan Tinggi, yakni Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa, Korupsi Dana Hibah atau CSR, dan Korupsi Anggaran Internal Perguruan Tinggi.

"Kemudian, Korupsi Dana Penelitian, Korupsi Dana Beasiswa Mahasiswa, Korupsi Penjualan Aset Milik Perguruan Tinggi," kata Emerson saat dihubungi, Kamis (23/11/2023).

"Korupsi Dana SPP Mahasiswa, Suap dalam penerimaan Mahasiswa Baru, Suap Dalam Pemilihan Pejabat Internal Perguruan Tinggi, Suap Jual Beli Nilai, Suap Akreditasi dan Suap Gratifikasi Mahasiswa pada Dosen," sambungnya.

Emerson mengatakan kondisi yang paling memprihatinkan dari terjadinya praktek korupsi di Perguruan Tinggi adalah ketika korupsi tersebut dilakukan oleh pucuk pimpinan Perguruan Tinggi yaitu rektor atau wakil rektor. 

Emerson menyebut bila Pimpinan Perguruan Tinggi yang seharusnya menjadi contoh bagi civitas akademika juga terjerumus dalam praktek korupsi dana perguruan tinggi dan sebagian diantaranya bahkan telah dijebloskan ke penjara.

"Dari data ICW dari 65 aktor korupsi, paling banyak adalah pegawai maupun pejabat struktural di fakultas maupun universitas yaitu 32 orang. Rektor atau wakil rektor termasuk mantan rektor terbanyak kedua dengan jumlah 13 orang. Selebihnya adalah pihak swasta (10 orang), dosen (5 orang), Dekan Fakultas (3 orang) dan pejabat pemerintah daerah (2 orang)," katanya.

Emerson Yuntho Penggiat Anti Korupsi. (ist)

Emerson membeberkan beberapa pemicu terjadinya korupsi dana perguruan tinggi di dalam instansi kampus, salah satunya adalah tidak transparannya pihak kampus atas keuangan yang dikelola. Selain itu, lemahnya pengendalian internal dan sistem administrasi juga disinyalir menjadi penyebab terjadinya korupsi dalam instansi kampus.

"Pemicu lainnya adalah tidak ada mekanisme pengawasan yang melibatkan masyarakat dan Minimnya kesejahteraan dosen maupun pegawai Perguruan Tinggi," bebernya. Emerson juga menyatakan dalam riset yang dilakukan oleh Jobplanet tahun 2016, terungkap bahwa gaji rata-rata yang diperoleh dosen di Indonesia adalah Rp 3.326.700 per bulan. 

"Kecilnya gaji yang diterima mengakibatkan dosen terpaksa bekerja di tempat lain untuk memenuhi kebutuhannya atau jalan pintasnya dengan mencari untung dari wewenang yang dimilikinya, misal memperjualbelikan nilai mata kuliah," ujarnya.

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan, Ubaid Matarji mengatakan maraknya korupsi di perguruan tinggi negeri merupakan imbas dari regulasi pemerintah yang mengharuskan kampus berbadan hukum. Dalam status demikian, kampus secara otonom mengelola keuangannya dan di sisi lain dapat mencari sumber pendanaan sebanyak mungkin. 

“Lalu apakan PTN sudah siap mengelolanya? Kalau belum siap, korbannya adalah mahasiswa yang diperas melalui UKT tinggi, jual beli kursi, pengadaan korupsi PBJ. Ini dampak dari UU PTN. Sehingga membuat PTN ugal-ugalan melakukan pendanaannya sendiri dengan cara melanggar aturan,” kata Ubaid kepada law-justice, Kamis (22/11/2023). 

Menurutnya regulasi pemerintah soal kampus berbentuk badan hukum ini melahirkan komersialisasi pendidikan. Akses pendidikan dibikin tak mudah dijangkau bagi kelompok ekonomi menengah bawah. Sementara kalangan berduit memiliki keistimewaan. 

Celakanya, kata dia, Kemendikbudristek selaku pemangku kepentingan tak cakap mengawasi pengelolaan keuangan PTN. Tidak jelas implementasi regulasi dalam hal pengawasan demi memastikan transparansi.  “Tidak ada mekanisme pengawasan, misal bagaimana peran mahasiswa dalam mengontrol terhadap pendanaan PTN. Misal melalui BEM. Jadi ini kebijakan yang kosong,” katanya. 

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Almas Sjafrina juga menyoroti transparansi PTN yang hingga kini masih menjadi celah terjadinya praktik korupsi dana perguruan tinggi. Ia menekankan ada tiga pola korupsi yang kini marak terjadi, yakni pengadaan barang dan jasa, penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri dan anggaran. 

Dalam hal pengadaan barang dan jasa, kata dia, modus korupsinya serupa dengan korupsi di instansi lain. Yakni permainan antara pihak penyedia dengan pelaksana. “Rawan mulai dari konflik kepentingan, rawan adanya pemberian suap atau gratifikasi. Sudah banyak kasus korupsi pengadaan barang dan jasa yang ditangani misal auditorium, ruang kelas hingga RS kampus,” ujar Almas kepada Law-justice.co 

Sedangkan modus korupsi dana perguruan tinggi terkait penerimaan mahasiswa baru berkutat pada relasi antara pihak kampus dan calon mahasiswa. Korupsi SPI yang ada di Udayana mengonfirmasi bahwa adanya transaksi gelap untuk meloloskan mahasiswa yang memiliki kekuatan finansial.

“Soal pola, kampus bukan jadi pihak yang pasif dan kemudian menerima suap. Tapi pada posisi aktif juga. karena mereka membuka ruang. Modusnya ada suap, gratifikasi atau hadiah,” kata Almas. 

Adapun soal anggaran, ia menekankan, korupsi dana perguruan tinggi sudah dirancang sejak perencanaan. Sehingga anggaran bisa digelembungkan. “Misalnya anggaran yang tidak dibutuhkan tapi diadakan,” tuturnya. 

Fenomena Korupsi di PTN, Minimnya Pendidikan Anti Korupsi?

Sementara itu, terkait kasus dugaan korupsi di Perguruan Tinggi, Anggota Komisi III DPR RI Adde Rosi Khoerunnisa menyoroti realisasi anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan rencana pendidikan anti korupsi yang masih rendah untuk perguruan tinggi. 

Terlebih, belum lama ini publik dikejutkan adanya rektor salah satu universitas ternama di Indonesia yang ditangkap oleh KPK.  Oleh karena itu, Adde mendorong KPK untuk semakin memaksimalkan penyerapan pendidikan atau rencana kerja pendidikan anti korupsi di perguruan tinggi.

“Setelah melihat target pendidikan korupsi tahun 2021 untuk perguruan tinggi, hanya mencapai 74 persen saja. Pertanyaan saya, ini kenapa? Padahal kita tahu, baru-baru ini KPK menangkap rektor universitas ternama di Indonesia. Oleh karena itu, kenapa anggaran realisasi untuk perguruan tinggi rencana kerja pendidikan ini rendah,” kata Adde saat dikonfirmasi, Selasa (21/11/2023).

Politisi Partai Golkar ini menyatakan hal tersebut ditambah dengan sebuah universitas ternama ini saja sudah ada kasus korupsi dana perguruan tinggi di dalamnya. Maka bukan suatu hal yang tidak mungkin kalau universitas-universitas lain juga berpotensi terjadi hal yang sama. 

“Oleh karena itu, harapan saya untuk penyerapan pendidikan atau rencana kerja pendidikan korupsi di perguruan tinggi agar lebih dimaksimalkan,” tegasnya.

Anggota Komisi X DPR RI Mustafa Kamal. (ist)

Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Mustafa Kamal mengungkapkan kekecewaannya terhadap sejumlah Petinggi Universitas Tinggi yang tersandung kasus korupsi dana erguruan tinggi. Mustafa menyayangkan bahwa para petinggi tersebut seharusnya menjadi sumber teladan moralitas bangsa, tetapi malah lebih memilih untuk terlibat dengan kasus tercela.

“Saya merasa heran dengan fenomena KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang terjadi belakangan ini pada pendidikan tinggi di Indonesia. Sebelumnya, Rektor Universitas Negeri di Lampung terkena Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sekarang ada kasus baru lagi rektor Universitas Negeri di Bali menjadi tersangka Kasus korupsi uang Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI),” ungkap Mustafa saat dihubungi, Rabu (22/11/2023).

Politisi Fraksi PKS tersebut juga menyebutkan bahwa pembentukan karakter pada pendidikan di Indonesia telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Dimana, tujuan pendidikan yang ditetapkan, di antaranya mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia.

“Kasus seperti ini jangan sampai terulang lagi. Pemerintah harus memperbaiki pendidikan Indonesia. Karena seharusnya institusi pendidikan sebagai institusi yang membentuk karakter anak bangsa dan sumber teladan moralitas bangsa, ini malah pimpinan penyelenggaranya melakukan tindakan tercela seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN),” tegasnya.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia atau MAKI Boyamin Saiman menilai perlunya dilakukan audit secara menyeluruh terhadap seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) terkait penyelenggaraan seleksi jalur mandiri untuk mahasiswa baru di PTN. Boyamin menduga terdapat dugaan penyimpangan dana perguruan tinggi yang terjadi di sejumlah PTN belakangan waktu ini.

"Sangat setuju untuk dilakukan audit, karena dugaan saya di beberapa perguruan tinggi yang sudah ternama, ada beberapa hal dugaan penyimpangan," kata Boyamin saat dikonfirmasi, Jumat (24/11/2023). Dalam seleksi jalur mandiri untuk mahasiswa baru di PTN, Boyamin melihat ada banyak celah untuk melakukan penyelewengan.

"Misalnya pakai jasa pihak ketiga seakan-akan memberikan les atau bimbingan, atau bahkan memberikan jasa hukum. Jadi proses pembayarannya dialihkan ke sana. Tetapi sebagai modus sebenarnya kalau ikut ke sana, bayarnya mahal, tetapi akan lulus. Sama saja, itu pemaksaan juga, tetapi dengan teknik yang mungkin lebih konvensional. Jadi itu cara-cara supaya nanti yang bayar mahal yang diterima dengan berbagai modusnya," kata Boyamin.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman (Foto: Istimewa)

Dari seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia, Boyamin menduga lebih dari separuhnya berpotensi bermasalah dalam menjalankan seleksi jalur mandiri. "Ada potensi dugaan bermasalah, baik cara mengambilnya, cara menerimanya, ada dugaan-dugaan kemudian titipan, sehingga nilainya lebih besar dan dugaannya suap. Penggunaannya juga sering bermasalah," kata Bonyamin.

Karena melihat ada banyak celah untuk melakukan korupsi dana perguruan tinggi, Boyamin mendesak agar sistem seleksi jalur mandiri untuk mahasiswa baru di PTN dihapus. "Saya paling getol menyuarakan, hentikan penerimaan (mahasiswa) jalur mandiri, karena ini negeri. Jadi yang salah itu termasuk kebijakan Menteri Pendidikan yang membolehkan (seleksi) mandiri, diambil uang, dan uangnya akhirnya ya jor-joran sampai angka-angka yang tidak nalar lagi," pungkasnya.

Miris, jika mendengar korupsi di sektor pendidikan terutama pendidikan tinggi. Duit yang dialokasi ebagai inveastasi masa depan bangsa ini justru dibegal oleh pihak yang mestinya menjadi punggawanya. Besarnya perputaran dana di kampus ditambah minimnya pengawasan membuat dana pendidikan rawan dikorupsi. Pemerintah bukannya tidak melakukan upaya pencegahan. tetapi upaya yang lebih keras lagi tamapkanya masih diperlukan.

Mulai maraknya penegakan hukum di sektor korupsi perguruan tinggi diharapkan bisa meniupkan efek pencegahan di dalam kampus. Selain itu, program kurikulum dan pendidikan anti korupsi harus lebih diintesifkan lagi. Perlu juga menjadi catatan, agar pendiidkan korupsi di kampus bukan sekedar pelajaran teoristis saja. Namun, civitas akademika diberikan pemahaman sekaligus akses whistle blower. Sehingga, setiap upaya untuk mengangsir duit kampus bisa dengan segera tersampakan ke penegak hukum.

Kita tentunya tidak rela jika masa depan bangsa ini menjadi suram dan runyam akibat dana perguruan tinggi ditilap oleh begal-begal bertoga yang menyaru dalam kerumunan civitas akademika. Kerusakan dari korupsi di kampus-kampous ini bukan sekedar raibnya duit pendidikan, namun degradasi terhadap pendidikan itu sendiri. Marwah kampus mesti dikembalikan sebagai wadah pembentukan insan cendikia, yang tidak cuma pintar tetapi juga bermoral.

 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar