Simak, Ini Penjelasan soal Hukum Utang Piutang & Cara Penyelesaiannya

Jum'at, 17/11/2023 11:19 WIB
Nilai tukar rupiah merosot (bisnis)

Nilai tukar rupiah merosot (bisnis)

Jakarta, law-justice.co - Seperti diketahui, utang piutang menjadi hak keperdataan setiap orang. Namun bolehkah dipidana orang yang tidak membayar atau telat mencicil utang?

Seperti melansir detik`s Advocate, advokat Chessa Ario Jani Purnomo, S.H., M.H menjelaskan bahwa:

Pertama, bahwa nampak jelas yakni sisa hutang-piutang antara bapak/ibu YAB dan lawan transaksinya merupakan hubungan hukum perjanjian.

Penulis hendak membuat jelas maksud hukum perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang yang disusun dan diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio berbunyi:

"Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal."

Dari segi ilmu hukum perdata, angka 1 (satu) dan angka 2 (dua) disebut syarat subjektif sedangkan angka 3 (tiga) dan angka 4 (empat) disebut syarat objektif. Menurut Subekti (1963) bahwa frasa "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" pada angka 1 (satu) di atas memiliki arti para subjek hukum yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju atau menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Ambil contoh, subjek hukum A sebagai penjual menerima sejumlah uang atas barang/jasa yang dia jual, sedangkan subjek hukum B sebagai pembeli menginginkan barang/jasanya si A.

Selanjutnya, pada angka 2 (dua) di atas frasa "kecakapan untuk membuat suatu perikatan" memiliki makna subjek hukum atau para pihak dalam perjanjian sebagaimana angka 1 (satu) harus orang dewasa atau sehat pikirannya. Pada angka 3 (tiga) di atas, frasa "suatu hal tertentu" memiliki maksud ada hak dan kewajiban antara para subjek hukum atau para pihak yang diatur secara jelas. Jika kembali kepada contoh di atas bahwa kata "barang/jasa" maupun kata "sejumlah uang" mesti dibuat jelas atau terang. Terakhir, pada angka 4 (empat) di atas, frasa "suatu sebab yang halal" mempunyai penjelasan bahwa barnag/jasa bukan berasal dari hasil kejahatan atau sebab yang terlarang/tak patut.

Dalam pelaksanaan perjanjian sebagaimana dialami bapak/ibu YAB rupa-rupanya terjadi kesulitan untuk pelunasan hutang sehingga kondisi ini disebut sebagai wanprestasi (kelalaian), jenis-jenisnya sebagai berikut (Rohani, Gunawati & Narsudin, 2011):

• Sama sekali tidak memenuhi prestasi.
• Tidak tunai memenuhi prestasi.
• Terlambat memenuhi prestasi.
• Keliru memenuhi prestasi.

Kedua, pada titik ini, isu dan permasalahan hukum yang timbul adalah wanprestasi sebagaimana pertanyaan bapak/ibu YAB di atas maka tata cara penyelesaiannya dapat ditempuh melalui perdamaian seperti negosiasi/mediasi dan atau gugatan ganti rugi ke pengadilan.

Ketiga atau yang terakhir, akan tetapi jika perjanjian antara A dan B sebagaimana contoh di atas memiliki skema berikut: barang/jasa yang dijual oleh A kepada B tidak pernah ada (muncul unsur kebohongan, tipu muslihat atau keadaan palsu) dan B telah menyerahkan sejumlah uang kepada A. Ia bukan wanprestasi.

Sampai sini, ketentuan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disusun dan diterjemahkan oleh Moeljatno berbunyi:

"Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar