Kontras Beberkan 7 Sikap Tidak Netral Presiden Jokowi di Pemilu 2024

Jum'at, 17/11/2023 05:49 WIB
Dinasti Politik Jokowi. (www.democrazy.id).

Dinasti Politik Jokowi. (www.democrazy.id).

Jakarta, law-justice.co - LSM Pemerhati HAM, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat sejumlah tindakan tidak netral Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2024.

Wakil Koordinator Bidang Eksternal, Andi Muhammad Rezaldy mengatakan telah melakukan sebuah riset yang menunjukan adanya ketidak netralan Jokowi menghadapi pemilu.

Yang paling mencolok, kata Andi, terkait cawe-cawe soal calon presiden yang kerap disuarakan Jokowi di beberapa kesempatan.

Andi juga menemukan indikasi adanya keterlibatan Jokowi dalam perubahan keputusan.

"Dalam konteks hal ini kami mendokumentasikan beberapa hal. Kami mendokumentasikan setidaknya terdapat sekitar 7 langkah dan manuver Jokowi yang menunjukkan keberpihakannya. Mulai dari melakukan endorsement politik, lalu mengaku tidak akan netral pada pilpres yang saya maksud adalah soal cawe-cawe dan juga menyatakan bahwa hanya akan dua capres yang berkontestasi di Pilpres 2024," ujar Rezaldy, dalam diskusi Mencegah Terulangnya Bencana: Pemilihan Umum 2024, Rabu (15/11/2023).

Andi Muhammad Rezaldy menambahkan Kontras juga mendokumendasikan sejumlah tindakan tidak terpuji lainnya yang dilakukan oleh menteri dan bawahan Presiden Jokowi.

Di antaranya dengan adanya pernyataan dukungan anggota kabinet kepada salah satu capres secara gamblang di hadapan publik.

LSM Kontras meminta Jokowi untuk dapat bersikap netral dan menunjukkan sikap kenegarawanan dengan tidak mencampuri pemilu dengan kepentingan pribadi.

Sebelumnya, 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa pencoblosan pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar pada 14 Februari 2024 rentan kecurangan.

Salah satu faktornya karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut cawe-cawe dalam gelaran Pemilu 2024.

"Pemilu 2024 akan diragukan berjalan secara netral dan imparsial, sebab diwarnai berbagai manuver politik penguasa untuk berpihak pada calon tertentu, seperti halnya politik cawe-cawe Presiden Joko Widodo," kata KontraS dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/11).

KontraS juga menyinggung terkait netralitas aparat, Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai lembaga negara dan ASN sudah terlihat ada kecenderungan dimobilisasi.

"Potensi ketidaknetralan pun dipertegas dengan penunjukan Pj Kepala Daerah yang jauh dari akuntabilitas publik, terlibatnya TNI-Polri, mobilisasi ASN hingga tidak netralnya Mahkamah Konstitusi," sebut KontraS.

Oleh sebab itu, mereka mendesak Jokowi bersikap netral pada Pemilu 2024. KontraS juga meminta Jokowi untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan."Baik lewat pengerahan TNI, Polri, BIN hingga ASN," ujarnya.

Tak hanya untuk Jokowi, KontraS juga mendesak Polri dan TNI bisa bersikap netral. Aparat diharapkan tidak segan memberi sanksi bagi anggota yang terbukti melakukan pelanggaran dalam gelaran pemilu mendatang.

Selain itu, KontraS pun mewanti-wanti penyelenggara pemilu harus mengedepankan HAM. Menurutnya, pendekatan keamanan dan penggunaan kekuatan secara berlebihan tidak boleh diterapkan.

"Selain dapat disalahgunakan, aparat pun dapat melakukan penanganan yang keliru dan tidak terukur sehingga berimplikasi pada timbulnya pelanggaran HAM," ujarnya.

Menurut KontraS, untuk mencegah tindakan pengerahan kekuatan secara berlebihan dan tidak terukur, anggota di lapangan tentu harus dibekali pengetahuan dan kemampuan yang sesuai dengan standar-standar internasional.

"Pemerintah pun harus secara serius mengambil pelajaran dari gelaran Pemilu dan Pilkada yang terjadi tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.

"Hal tersebut untuk menghindari ragam pelanggaran seperti kekerasan berbasis politik, extra-judicial killing karena penggunaan peluru tajam dalam penanganan demonstrasi, hingga tragedi meninggalnya ratusan petugas KPPS di tahun 2019 lalu," imbuhnya.

Terkait penilaian cawe-cawe pada pemilu kali ini, Jokowi telah mengakui memang melakukannya. Dia menyebut keputusannya cawe-cawe dalam Pilpres 2024 sebagai bagian dari kewajiban moral presiden.

Jokowi menilai ia harus ikut campur untuk mengamankan transisi kepemimpinan. Ia ingin proses ini berjalan baik.

"Cawe-cawe sudah saya sampaikan bahwa saya cawe-cawe itu menjadi kewajiban moral, menjadi tanggung jawab moral saya sebagai presiden dalam masa transisi kepemimpinan nasional," kata Jokowi di Sekolah Partai PDIP, Jakarta, Selasa (6/6).

Belakangan ini, Jokowi disebut-sebut sedang membangun dinasti politiknya. Anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka kini telah resmi menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto untuk kontestasi Pilpres 2024.

Langkah Gibran menjadi cawapres berjalan mulus berkat putusan MK tentang syarat batas minimal usia capres-cawapres. Ketua MK saat itu, Anwar Usman yang juga merupakan paman Gibran, memiliki andil.

Putusan MK menambah ketentuan syarat usia capres-cawapres boleh di bawah 40 tahun asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Usai putusan itu keluar, Gibran yang masih berusia 36 tahun itu pun bisa mendaftar sebagai cawapres ke KPU.

Namun, buntuk putusan itu, Anwar Usman dan delapan hakim konstitusi lainnya dilaporkan ke MKMK atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim.

Dalam putusannya, MKMK menyatakan Anwar Usman terbukti melanggar etik berat terkait konflik kepentingan dalam putusan MK soal syarat minimal usia capres-cawapres.

Anwar terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Independensi, Penerapan angka 1, 2, dan 3.

Isu netralitas Pemilu 2024 pun kini jadi sorotan di parlemen. Komisi I DPR telah membentuk panitia kerja pengawasan netralitas TNI. Sementara Fraksi PDIP mengusulkan Komisi III DPR segera membentuk Panja pengawasan netralitas Polri jelang Pemilu 2024.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar