Intervensi Agama ala China, Ini Deretan Kebijakan `Gila` Xi Jinping

Rabu, 27/09/2023 09:07 WIB
Presiden China, Xi Jinping. (GenPi).

Presiden China, Xi Jinping. (GenPi).

Jakarta, law-justice.co - baru-baru ini, Presiden China, Xi Jinping kembali menjadi topik hangat perbincangan atas intervensinya untuk mengubah agama ala China.

Terbaru, pemerintah China mengumumkan ingin memodifikasi kitab suci Al Quran kedalam versi China yang memasukkan nilai-nilai Konghucu.

Rancangan perubahan ini telah dicanangkan sejak Tahun 2018 dengan menargetkan Xinjiang, wilayah barat daya China yang mayoritas dihuni umat Muslim.

China dikenal sebagai negara yang dipimpin oleh partai komunis, menutup pengaruh luar dengan meminta kelompok agama di dalam negeri patuh dan setia kepada negara.

Seperti melansir cnnindonesia.com, Partai Komunis China bahkan mulai menerapkan pembatasan dan memperkuat peraturan tempat beribadah sebagai langkah lanjutan atas kebebasan beragama sejak bulan Agustus lalu.

Tempat-tempat keagamaan diharapkan mendukung kepemimpinan partai komunis, sistem sosialis, dan era baru sosialis Xi Jinping dengan karakteristik Tiongkok.

Berikut tiga aturan sinting Xi Jinping intervensi agama ala China.

1. Ubah Al Quran versi konfusianisme

Pemerintahan Xi Jinping yang berasal dari partai komunis terus berupaya memasukkan nilai-nilai China dalam setiap agama.

Para pengamat menilai bahwa salah satu alasan Xi Jinping ingin mengubah Al Quran ke dalam versi China adalah mencegah fitur-fitur asing lebih dominan di negara tersebut.

Versi Al Quran baru akan menghapus konten kepercayaan Islam yang bertentangan dengan partai komunis.

Pemerintah China bahkan mengadakan pertemuan antara 16 ahli agama dari komite pusat partai komunis pada akhir bulan lalu. Mereka mengklaim bahwa dengan mengevaluasi kitab suci, mereka bisa mencegah pemikiran ekstrem dan pandangan sesat yang membahayakan negara.

Salah satu profesor sejarah di Frostburg State University, Haiyun Ma, tindakan pemerintah ini berusaha mengubah budaya non-China menjadi kebudayaan China.

2. Larangan Menganut Agama Bagi Anggota Partai Komunis

Jumlah anggota partai komunis hingga saat ini berjumlah lebih dari puluhan juta jiwa. Salah satu aturan ekstrem yang diterapkan bagi anggota Partai Komunis China (PKC) adalah dilarang memeluk agama tertentu. Bahkan, keluarga anggota PKC diminta untuk tidak secara publik berpartisipasi dalam kegiatan agama apapun.

"Anggota partai tidak boleh memiliki keyakinan agama, yang merupakan batasan bagi semua anggota...Anggota partai harus menjadi ateis Marxis yang tegas, mematuhi aturan partai dan berpegang teguh pada keyakinan partai, mereka tidak diperbolehkan mencari nilai dan keyakinan pada agama ," kata Wang Zuoan, direktur Administrasi Negara untuk Urusan Agama (SARA), ditulis sebuah artikel dalam Jurnal Qiushi.

Pemerintah juga menerapkan kurikulum pendidikan ateis di sekolah dasar hingga perguruan tinggi untuk memastikan agama lain tidak memengaruhi.

Bagi anggota partai komunis yang ketahuan memiliki agama akan diminta untuk menyerah akan agamanya. Larangan ini berdasarkan atas ketakutan pemimpin partai komunis akan potensi perpecahan karena urusan kepercayaan dan agama.

3. Uskup Katolik harus dipilih dan disetujui Xi Jinping

Tidak hanya mengintervensi agama Islam, Presiden Xi juga ikut campur dalam urusan agama Katolik.

China dilaporkan menunjuk langsung uskup Shen Bin tanpa persetujuan dari Vatikan. Penunjukan sepihak uskup yang tidak sah oleh China melanggar perjanjian bilateral yang dibuat dengan Vatikan pada Tahun 2018.

Bahkan pihak Vatikan mengetahui penunjukan sepihak Uskup Shen menjadi pemimpin gereja Shanghai pada bulan April dari laporan media.

Ini bukan kali pertama China mengambil keputusan sendiri terkait pelantikan uskup. Sebelumnya, China pernah menahbiskan Uskup Giovanni Peng Weizhao secara diam-diam pada Tahun 2014. Sejak Tahun 1950, terjadi konflik antara kelompok bawah tanah yang mendukung paus dan gereja resmi yang didukung oleh negara.

Para kritikus, termasuk Kardinal Joseph Zen, berusia 90 tahun, mantan uskup agung Hong Kong, mengecam kebijakan penunjukan sepihak tersebut karena menawarkan terlalu banyak konsesi kepada Tiongkok.

 

 

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar