Ini Alasan Macron Tak Kompromi-Tetap Larang Abaya di Sekolah Perancis

Minggu, 03/09/2023 11:33 WIB
Presiden Prancis Emmanuel Macron. (Schengen Visa).

Presiden Prancis Emmanuel Macron. (Schengen Visa).

Jakarta, law-justice.co - Presiden Perancis, Emmanuel Macron menegaskan bahwa bakal tetap menerapkan larangan penggunaan abaya oleh perempuan Musim di lingkungan sekolah.

Dia pun menegaskan tidak akan kompromi untuk itu, meski ada protes dari sebagian masyarakat soal larangan abaya itu.

Hal tersebut disampaikan langsung Macron ke wartawan usai mengunjungi salah satu sekolah di wilayah Vaucluse, Perancis Selatan, pada Jumat (1/9) kemarin.

"Sekolah di negara kita bersifat sekuler, gratis, dan wajib. Tapi mereka sekuler. Karena kondisi inilah yang memungkinkan adanya kewarganegaraan dan oleh karena itu simbol-simbol agama apa pun tidak mempunyai tempat di dalamnya," ujarnya dikutip dari cnnindonesia.com, Sabtu (2/9).

Lebih lanjut, Macron mengatakan para guru dan kepala sekolah di Perancis juga tidak akan dibiarkan sendirian untuk melaksanakan aturan tersebut. Macron mengaku akan mengerahkan aparat hukum pula untuk memastikan penegakan aturan larangan abaya di tempat pendidikan itu.

"Dan di sekolah menengah atau perguruan tinggi yang paling sensitif, staf khusus akan dikirim bersama kepala sekolah dan guru untuk mendukung mereka dan untuk terlibat dalam dialog yang diperlukan dengan keluarga dan siswa," kata Macron.

Sebagai informasi, sebelumnya Perancis telah menerapkan berbagai larangan dan pembatasan kontroversial terhadap pakaian Muslim. Tak jarang kebijakan tersebut memicu kemarahan negara-negara Muslim dan badan-badan internasional.

Tahun lalu, anggota parlemen Perancis mendukung larangan mengenakan jilbab dan `simbol agama yang mencolok` lainnya dalam kompetisi olahraga.

Amendemen tersebut diusulkan partai sayap kanan Les Républicains, yang berpendapat hijab dapat membahayakan keselamatan atlet yang memakainya saat berolahraga.

Kemudian, Komite Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2018 menilai larangan penggunaan niqab atau cadar yang diterapkan Perancis sebelumnya telah melanggar hak asasi manusia yang memakainya.

Menteri Pendidikan Perancis Gabriel Attal dalam konferensi pers peka lalu, menegaskan negara sekuler itu telah mencoba menekan simbol keagamaan ada di lembaga pendidikan sejak 2004 silam.

Gerakan menekankan sekularisme itu dalam bahasa lokal disebut dengan laicite.

Politikus dari kubu konservatif pun menyambut keputusan itu. Pemimpin Partai Les Republicains, Erick Ciatti, menyambut keputusan Macro itu.

Serikat kepala sekolah, THE SNPDEN-UNSAmeminta pemerintah memperjelas dengan jernih soal aturan larangan tersebut.

"Apa yang kami ingin dari menteri adalah: `Yes or no?`,` ujar Sekretaris Nasional THE SNPDEN-UNSA, Didier Georges.

Ada juga yang mengkritisi kebijakan Macron itu. Salah satunya anggota parlemen dari sayap kiri Insoumise, Clementin Auatain.

Sejumlah akademisi pun setuju dengan kritik terhadap pemerintahan Macron itu. Pelarangan Abaya, menurut mereka kontraproduktif. Seharusnya itu bisa dilihat sebagai busana atau identitas ketimbang hanya soal agama.

"Ini akan menyakiti umat Islam secara umum. Mereka akan, sekali lagi, merasa distigmatisasi. Ini sangat memalukan karena orang-orang akan menghukum gadis muda ini, ketika itu [abaya] adalah ekspresi remaja tanpa konsekuensi," ujar sosiolog Agnes De Feoyang penelitiannya tentang niqabdi kalangan perempuan Perancis selama beberapa dekade lalu.`

Djennat (22), yang berabaya di rumah mengaku tak mengerti mengapa busana itu dilarang.

"Ini adalah sebuah baju panjang, cukup halus, ini hanyalah garmen bisa. Tidak ada simbol agama melekat padanya." kata dia yang sedang mengikuti pelatihan menjadi guru.

Daoud Riff, seorang pengajar kajian Islam di Insitut Ilmu Politik Lille setuju dengan keluhan Djennat.

"Pada hakikatnya, tidak ada yang namanya busana Islam. Kita perlu menantang mitos tersebut," katanya.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar