Radhar Tribaskoro, Aktivis Pergerakan Pro-Demokrasi

Esensi Kebohongan Sebagai Kebenaran Baru

Kamis, 13/07/2023 13:51 WIB
Radhar Tribaskoro. (Istimewa)

Radhar Tribaskoro. (Istimewa)

law-justice.co - Beberapa waktu lalu viral pidato Dahlan Iskan (DI) di suatu universitas. Pada pidatonya itu DI meringkaskan apa yang terjadi di belahan barat dunia.

Di sana, katanya, sejumlah orang telah mengembangkan suatu paham baru bernama “kebenaran baru” (New Truth). Paham ini memahami kebenaran sebagai “opini dominan”. Bukan sebagai “fakta objektif” sebagaimana kita mengenalnya sejauh ini.

Saya ingin mengupas perihal New Truth ini karena sangat besar mempengaruhi dunia politik Indonesia. Rejim Jokowi dapat dikatakan telah menjadikan New Truth sebagai “agama” baru yang menentukan kebijakan dan tindakan pemerintah.

New truth menjelaskan mengapa kejujuran, moral dan integritas diabaikan oleh rejim Jokowi. Untuk menunjukkan bahwa rejim tetap memiliki dukungan publik yang kuat maka diproduksi “survei kepuasan publik” dan “survei elektabilitas” dengan hasil yang “mengagumkan”.

New Truth dan Post-Truth

Istilah “new truth” sering digunakan dalam konteks politik “post-truth”, yang merupakan fenomena di mana kebenaran berdasar akal-sehat tidak terlalu penting dibandingkan dengan menarik emosi dan keyakinan orang.

Munculnya fenomena pasca-kebenaran (post-truth) merujuk pada pergeseran masyarakat di mana fakta dan bukti obyektif memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam membentuk opini dan kepercayaan publik.

Fenomena ini menjadi terkenal di awal abad ke-21, didorong oleh penyebaran informasi yang cepat melalui platform digital dan munculnya media sosial.

Wacana pasca-kebenaran sering kali memprioritaskan daya tarik emosional, keyakinan pribadi, dan opini subjektif di atas fakta-fakta yang dapat diverifikasi. Pergeseran ini difasilitasi oleh meningkatnya polarisasi ideologi politik dan sosial, serta prevalensi (persebaran) ruang gema dan gelembung filter yang memperkuat bias yang ada.

Fenomena pasca-kebenaran telah diamati di berbagai ranah, termasuk politik, media, dan wacana publik, yang mengarah pada meningkatnya skeptisisme terhadap sumber-sumber otoritas dan keahlian konvensional.

Memahami kemunculan post-truth sangat penting untuk memahami faktor-faktor dan efek selanjutnya yang berkontribusi dan dihasilkan dari fenomena ini. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap fenomena post-truth dapat dikaitkan dengan beberapa elemen kunci.

Pertama, munculnya media sosial dan internet telah menyediakan platform untuk penyebaran informasi yang cepat, seringkali tanpa pengecekan fakta atau verifikasi yang tepat. Hal ini menyebabkan banyaknya informasi yang salah dan mengaburkan batas antara fakta dan opini.

Kedua, efek ruang gema, di mana individu terpapar terutama pada informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, yang semakin memperkuat penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan.

Ketiga, erosi kepercayaan terhadap media dan institusi tradisional telah menciptakan ruang hampa di mana narasi alternatif dapat berkembang. Selain itu, meningkatnya polarisasi masyarakat dan prevalensi bias konfirmasi berkontribusi pada penerimaan dan penyebaran klaim pasca-kebenaran.

Terakhir, motivasi politik dan penggunaan informasi untuk kepentingan pribadi atau ideologis telah memainkan peran penting dalam penyebaran narasi pascakebenaran.

Faktor-faktor di atas, jika digabungkan, telah menciptakan lingkungan di mana pasca-kebenaran telah mendapatkan daya tarik dan pengaruh di masyarakat.

Dampak dari fenomena pasca-kebenaran terhadap masyarakat sangat signifikan dan luas. Salah satu konsekuensi utamanya adalah erosi kepercayaan terhadap institusi dan sumber informasi tradisional.

Dalam masyarakat pasca-kebenaran, fakta dan bukti dikalahkan oleh emosi dan keyakinan pribadi, yang mengarah pada berkurangnya kepercayaan pada kebenaran yang objektif.

Hal ini dapat mengakibatkan penyebaran informasi yang salah dan berkembangnya teori konspirasi, yang dapat berdampak serius pada wacana publik dan proses pengambilan keputusan.

Selain itu, persebaran post-truth memiliki potensi untuk merusak proses demokrasi, karena warga negara dapat mendasarkan pendapat dan keputusan pemungutan suara mereka pada informasi yang salah atau menyesatkan.

Selain itu, dampak pasca-kebenaran terhadap kohesi sosial juga tidak dapat diabaikan, karena hal ini dapat meningkatkan polarisasi dan perpecahan di masyarakat.

Dalam iklim seperti ini, menjadi semakin sulit untuk terlibat dalam dialog yang bermakna dan menemukan titik temu. Secara keseluruhan, dampak dari fenomena pasca-kebenaran terhadap masyarakat sangat luas dan menuntut pertimbangan serta tanggapan yang cermat.

Sementara itu konsep New Truth (Kebenaran Baru) merupakan dampak dari fenomena pasca-kebenaran. Ketika prevalensi informasi yang salah semakin meningkat dan batas antara fakta dan opini semakin kabur, terdapat celah bahwa dukungan publik dapat diraih dengan mengabaikan fakta dan objektivitas asalkan bisa memproduksi dukungan atas opini dan subjektivitas.

Inilah konsep Kebenaran Baru itu. Dan ada segudang trik dalam ilmu komunikasi untuk memasuki persepsi dan pengalaman individu, untuk memenangkan Kebenaran Baru itu.

New Truth dalam Politik Elektoral di Inggris dan Amerika

Munculnya fenomena Kebenaran Baru merujuk pada munculnya berbagai bentuk misinformasi, disinformasi, dan teori konspirasi di era digital. Dengan munculnya internet dan platform media sosial, penyebaran informasi menjadi lebih mudah diakses dan tersebar luas.

Fenomena Kebenaran Baru mencakup berbagai narasi yang menyesatkan atau salah yang sering menyebar dengan cepat dan mendapatkan daya tarik di antara segmen populasi tertentu.

Fenomena ini dapat berupa rumor viral, artikel berita palsu, gambar atau video yang dimanipulasi, dan ruang gema online yang memperkuat dan memperkuat keyakinan tertentu.

Penyebaran fenomena Kebenaran Baru telah difasilitasi oleh kemudahan berbagi informasi secara online, kurangnya penjaga gerbang, dan algoritme yang memprioritaskan keterlibatan daripada akurasi.

Konsekuensi dari fenomena ini cukup signifikan, karena dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga, mendistorsi wacana publik, dan berdampak besar pada politik elektoral.

New Truth menimbulkan dampak signifikan dalam politik seperti terbukti pada tahun 2016, dalam perhelatan referendum Inggris yang memutuskan meninggalkan Uni Eropa (Brexit) dan dalam pemilu presiden Amerika Serikat yang memenangkan Donald Trump.

Di kedua pemilu tersebut New Truth menunjukkan dampak mendalam terhadap proses demokrasi. Tepatnya: penggunaan taktik "kebenaran baru" telah dipergunakan untuk merusak fondasi demokrasi.

New Truth dirancang untuk menipu dan mempengaruhi opini publik dengan tujuan tertentu, seperti mempengaruhi pemilihan umum, menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi, atau mempromosikan agenda politik atau ideologi tertentu.

New Truth seringkali sulit dibedakan dari berita yang sebenarnya karena menggunakan strategi manipulatif seperti penggunaan judul yang menarik, gambar yang menyesatkan, atau sumber yang tidak dapat dipercaya.

Ciri-ciri New Truth

New Truth dapat ditandai dari taktik komunikasi yang dipergunakan, antara lain:

1. Menyebarkan informasi dan propaganda yang salah di media sosial. Trump dan kampanyenya memanfaatkan media sosial secara ekstensif untuk menyebarkan informasi yang salah dan propaganda tentang lawannya, Hillary Clinton. Hal ini termasuk klaim-klaim palsu mengenai kesehatan Clinton, email-emailnya, dan keterlibatannya dalam serangan Benghazi. Klaim-klaim ini sering diulang oleh Trump sendiri, dan diperkuat oleh para pendukungnya di media sosial.

2. Memancing emosi. Kampanye Trump sangat efektif dalam menarik emosi para pemilih. Mereka menggunakan rasa takut, marah, dan kebencian untuk memotivasi para pemilih agar memilih Trump. Mereka juga menggunakan seruan patriotisme dan nasionalisme untuk memanfaatkan rasa kebanggaan pemilih terhadap Amerika.

3. Menggunakan slogan-slogan yang sederhana dan menarik. Kampanye Trump menggunakan sejumlah slogan sederhana dan menarik yang mudah diingat dan diulang-ulang. Slogan-slogan ini, seperti "Make America Great Again" dan "Lock Her Up", membantu menyederhanakan isu-isu yang kompleks dan membuatnya lebih menarik bagi para pemilih.

Taktik-taktik di atas efektif dalam membantu Trump memenangkan pemilu. Taktik itu menciptakan rasa keraguan dan ketidakpastian tentang Clinton, dan memotivasi para pendukung Trump untuk keluar dan memberikan suara.

Sementara itu di Inggris, taktik yang sama juga dilakukan oleh para pendukung Leave (tinggalkan UE). Mereka menyebarkan propaganda dan informasi palsu bahwa “rakyat Inggris menghemat $350 juta/minggu bila meninggalkan EU”. Mereka juga menyerukan slogan “Take Back Control” untuk mengangkat rasa nasionalisme Inggris yang terluka karena harus mengikuti banyak aturan Uni Eropa.

Salah satu aturan UE yang dipersoalkan adalah tentang kebijakan imigrasi. Para pendukung Leave menuduh kaum imigran telah merampas pekerjaan bagi warga Inggris dan membebani rakyat Inggris dengan biaya pendidikan dan kesehatan.

Pendukung Brexit dengan sengaja melupakan fakta bahwa para imigran pada umumnya mengambil pekerjaan yang dihindari oleh warga Inggris. Para imigran juga menyumbang cukup signifikan terhadap ekonomi Inggris, termasuk pemasukan pajaknya.

Praktek New Truth di Indonesia

Politik post-truth dan eksesnya, komunikasi new truth, telah diadopsi sepenuhnya oleh rejim Jokowi. Propaganda menyesatkan tidak terjadi saat pemilu saja, namun terus berjalan di sepanjang pemerintahan.

Propaganda atau janji-janji palsu berkembang bukan lagi sebagai taktik pemilu tetapi menjadi metoda. Politikus Fadli Zon mencatat bahwa setidaknya Jokowi telah meluncurkan 100 janji yang semuanya palsu.

Strategi komunikasi New Truth rejim Widodo setidaknya didasarkan kepada dua aspek, yaitu buzzer dan surveyor. Buzzer berbiaya negara memiliki tugas membuat propaganda untuk mengupgrade kebijakan dan tindakan pemerintah dan mendowngrade oposisinya.

Sementara surveyor memproduksi survei “kepuasan publik” dan “elektabilitas” untuk menunjukkan bahwa terdapat dukungan luar biasa dari publik kepada rejim penguasa.

Pelaku buzzer dan surveyor sebagian adalah profesional dan akademisi. Mereka memproduksi “new truth” tanpa merasa bersalah, karena menganggapnya sebagai trend baru dan memperoleh pembenaran dari filsafat post-truth yang dianggap kontemporer.

Fenomena New Truth di Indonesia pertama kali dijumpai pada pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Pada pemilihan tersebut gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama, menggunakan buzzer untuk menyebarkan pesan dan menyerang lawan-lawan mereka.

Pada pilpres 2014 orang masih ingat propaganda Joko Widodo tentang “Mobil Esemka” yang dikatakan sebagai mobil asli buatan pelajar sekolah menengah kejuruan dan telah dipesan 7000 unit. Mobil itu ternyata 100% diimpor dari Cina, tidak ada pesanan 7000 unit, bahkan sampai sekarang tidak ada pabriknya berdiri di Indonesia.

Penggunaan buzzer menjadi semakin umum dalam pemilihan umum di Indonesia sejak saat itu. Mereka biasanya disewa oleh partai politik atau kandidat untuk menyebarkan pesan mereka di media sosial. Mereka sering menggunakan akun palsu atau anonim untuk memposting pesan.

Mereka juga menggunakan bot dan troll untuk memperkuat pesan mereka dan mengganggu percakapan online. Pada pemilihan umum 2014, buzzer digunakan oleh capres Joko Widodo. Dan pada pemilihan umum 2019, buzzer digunakan oleh kedua capres yang bersaing.

Pemerintahan Jokowi seakan-akan ingin mengatasi berita palsu (hoax), kebohongan, dan kebencian yang marak di media sosial. Pada tahun 2019, pemerintah mengesahkan undang-undang yang melarang penyebaran berita palsu di media sosial.

Namun, undang-undang tersebut justru dimanfaatkan untuk menindas oposisi. Para buzzer yang berdiri di pihak rejim hampir tidak tersentuh.

Survei atau polling adalah senjata New Truth yang khas Indonesia. Di negara lain tidak banyak akademisi dan profesional yang mau menggadaikan integritasnya untuk memproduksi survei yang direkayasa, namun di Indonesia melimpah.

Hampir semua surveyor dan pollster mau melakukan engineered and coordinated polling. Hal itu terjadi pada pemilihan presiden 2019, hampir semua surveyor dan pollster disewa dan diorkestrasi oleh pihak yang sama untuk menghasilkan informasi yang sama.

Hasil polling yang direkayasa dapat dikategorikan sebagai propaganda sesat. Oleh karena itu, maraknya engineered polling tidak dapat dilepaskan dari kuatnya pengaruh filosofi Post-Truth dan komunikasi New Truth.

Selain itu kerusakan moral di lingkungan penyelenggara polling tidak bisa diabaikan. Pada umumnya mereka merangkap kerja pollster dengan konsultan politik. Di sini muncul masalah etis.

Sebagai konsultan mereka tentu mengusulkan cara-cara untuk menang, usulan tersebut secara otomatis ditantang oleh hasil polling mereka sendiri. Apakah mereka akan menyajikan hasil polling yang searah dengan usulan kampanye mereka atau, sebaliknya, mengarahkan hasil polling agar searah.

Dengan kata lain, lembaga-lembaga polling mengalami conflict of interest. Itu sebabnya hasil polling mereka diremehkan bahkan diabaikan oleh publik.

Seperti kebanyakan pelaku New Truth lain, lembaga polling sebetulnya telah tersesat dalam efek ruang gema (echo chamber effect), yaitu fenomena di mana seseorang hanya terpapar pada pandangan atau opini yang sama dengan dirinya sendiri dan tidak terbuka terhadap pandangan atau opini yang berbeda.

Fenomena inilah yang menyebabkan terjadinya polarisasi sosial. Ketika pemerintah melalui buzzer dan pollsternya memproduksi efek ruang gema, mereka melakukan perkuatan kepada diri sendiri dengan mengabaikan pihak yang dianggap lawan.

Garis batas yang dibentuk antara cebong dan kadrun adalah polarisasi yang sesungguhnya. Isu intoleransi, radikalisme dan politik identitas hanya kambing hitam saja, semata alasan untuk melakukan penindasan.

KESIMPULAN

Terakhir, saya akan menyimpulkan bahwa fenomena Post-Truth maupun New Truth hanya fenomena sementara. Seperti paham fasisme dan nazisme, paham Post-truth adalah respon yang keliru terhadap kompleksitas kehidupan sosial politik.

Post-truth keliru menilai hakikat kebangkitan virtual reality dari kemajuan teknologi digital. Bahwa pertukaran informasi telah berlangsung sangat masif dan cepat tidak menjadikan kebenaran objektif ditinggalkan sama sekali.

Pada awalnya memang orang terperangah oleh kemenangan New Truth pada Brexit dan pilpres AS 2016. Namun keseimbangan cepat kembali. Donald Trump telah dikalahkankan oleh Anthony Biden pada pilpres 2020. Rakyat Inggris pun mulai menyesalkan keputusan mereka untuk Brexit.

Survei terakhir oleh Omnisis yang dilakukan pada 29-30 Juni 2023 menemukan bahwa 47% orang berpikir bahwa Brexit salah, sementara hanya 32% yang berpikir bahwa Brexit adalah keputusan yang benar.

Jajak pendapat lain oleh Deltapoll yang dilakukan pada 16-19 Juni 2023 menemukan bahwa 47% orang ingin bergabung kembali dengan Uni Eropa, sementara hanya 37% yang ingin tetap keluar.

Perubahan yang sama akan terjadi di Indonesia, paham Post-truth akan runtuh bersama dengan rejim penguasa yang memujanya. Pada Pilpres 2024, Indonesia akan menyaksikan kembalinya standar moral dan nilai-nilai kebenaran kepada kedudukannya yang mulia sebagai pengendali kehidupan sosial politik kita.

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar