Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Kado Pahit di Hari Lingkungan Hidup Sedunia,Pasir Laut Boleh Ditambang

Senin, 05/06/2023 05:30 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (Ist).

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (Ist).

Jakarta, law-justice.co - Setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini juga dilaksanakan di Indonesia setiap tahunnya. Peringatan Hari Lingkungan HIdup Sedunia  bertujuan untuk meningkatkan kesadaran agar manusia mau melindungi lingkungan menjadi penopang kehidupannya.  PBB pertama kali menetapkan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada tahun 1972.

Perayaan hari lingkungan hidup di Indonesia dilakukan dengan berbagai macam cara mulai dari mengadakan seminar, perlombaan, kunjungan dan lainnya. Namun peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di tahun 2023 ini terasa menyesakkan dada. Pasalnya muncul kebijakan pemerintah yang melegalkan ekspor pasir laut ke mancanegara.

Kebijakan Pemerintah untuk ekspor pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.Tentu saja diperbolehkannya penambangan kembali pasir laut dimana salah satunya untuk kebutuhan ekspor yang sudah distop selama 20 tahun ini menimbulkan pro dan kontra.

Apa sesungguhnya dampak positif dan negatif penambangan pasir laut itu pada kondisi lingkungan hidup kita ?. Munculnya kembali kebijakan ekspor pasir laut itu sebenarnya menjadi berkah atau petaka ?. Benarkah kebijakan ekspor pasir laut ini sebagai “upaya tipu tipu” kampanye citra peduli lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah yang sekarang berkuasa ?

Positif dan Negatif

Menurut Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2002, pasir laut merupakan bahan galian pasir yang terdapat di seluruh pesisir dan perairan laut Indonesia, yang tidak digolongkan menjadi bahan galian golongan A dan/atau B menurut segi ekonomisnya.

Baru baru ini Presiden Jokowi menerbitkan PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut sebagai bagian dari kebijakan  terintegrasi meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan dan pengawasan terhadap sedimentasi di laut. Menurut pemerintah melalui Keppres Nomor 26 Tahun 2023, pemerintah memperbolehkan kembali aktivitas penambangan pasir laut yang merupakan hasil sedimentasi di laut karena adanya beberapa manfaat yang bisa di petik diantaranya:

Pertama, menjaga fungsi alur agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya karena dengan adanya sedimentasi pasir laut akan membuat terganggunya aktifitas pelayaran yang menyulitkan dan merugikan para panggunanya.

Kedua, hasil dari penambangan pasir laut bisa digunakan untuk proyek reklamasi dalam negeri dan bisa juga digunakan untuk membantu pembangunan infrastruktur yang akhir akhir ini sedang digalakkan oleh pemerintah selain untuk pembangunan sarana dan prasarana dalam negeri oleh pelaku usaha

Ketiga, dengan penambangan pasir laut akan mampu menjaga keterpeliharaan daya dukung ekosistem laut dan mengurangi dampak negative terhadap ekosistem pesisir sehingga ekosistem pesisir memiliki kemampuan untuk menyerap karbon lebih baik dibandingkan dengan eksostim darat

Ke empat, bisa meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat terutama dengan keikutsertaan mereka sebagai tenaga kerja maupun usaha sampingan lainnya yang ikut terbuka dengan adanya aktifitas penambangan pasir laut di wilayahnya

Kelima, sebagai komoditas untuk diekspor ke mancanegara yang akan mendatangkan devisa bagi negara dengan catatan asal kebutuhan di dalam negeri sudah terpenuhi sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.

Meskipun ada nilai positifnya, namun pengerukan pasir laut dinilai lebih banyak dampak negatifnya. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut efek negatif dari penambangan pasir laut bagi ekonomi dan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam (SDA).

Pertama, bisa merusak terumbu karang dan habitat ikan karena kegiatan mengambil pasir laut mampu merenggut habitat karang-karang yang menjadi rumah bagi berbagai spesies ikan yang hidup didalamnya.Selain itu dapat menyebabkan rusaknya wilayah pemijahan ikan, terutama di kawasan hutan mangrove, serta terumbu karang dan lamun yang bergantung dengan intensitas penetrasi cahaya.Akibatnya hasil tangkapan Ikan nelayan bisa berkurang karena dengan adanya aktivitas pengerukan yang merusak zona tangkap sumber daya laut yang rata-rata didominasi oleh nelayan skala kecil yang terbatas sumberdayanya.

Kedua, menimbulkan dampak lingkungan yang parah diantaranya terjadinya potensi abrasi dan erosi pesisir pantai,pencemaran pantai, meningkatkan peluang pencemaran pantai, penurunan kualitas air laut, termasuk menyebabkan peningkatan tingkat kekeruhan air dan juga menimbulkan  turbulensi sehingga menambah kadar padatan terlarut di dasar laut sehinga menambah intensitas banjir rob dan sebagainya.

Ketiga,dapat menimbulkan konflik sosial antara masyarakat yang pro lingkungan dengan para penambang pasir laut yang biasanya datang dari luar wilayah yang menjadi sengketa. Konflik ini bisa memicu ketidakstabilan keamanan wiayah sehingga mengganggu keamanan masyarakat yang ada disana.

Perihal dampak negative penambangan pasir laur ini juga diungkapkan oleh Profesor Fisika Teoretik FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar, Tasrief Surungan seperti dikutip oleh media. Menurutnya penambangan pasir laut akan memberi peluangsangat besar bagi hilangnya pulau-pulau kecil di Nusantara. Dan jika itu terjadi, sesungguhnya merupakan ancaman bukan hanya terhadap biota laut, tetapi termasuk pula ancaman bagi keutuhan NKRI."Hemat saya, aturan yang baru saja dibuat oleh Pemerintah harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi, sedemikian legalisasi itu dicabut," katanya.

Tasrief berujar, melegalkan ekspor pasir laut, sebenarnya menurunkan harkat dan martabat Bangsa. Kenapa? Sebab memberi peluang bagi hilangnya pulau-pulau kecil di sekitarnya.Padahal, keberadaan pulau kecil merupakan bagian integral dari keutuhan wilayah Nusantara alias negara kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Tasrief Surungan, fungsi pulau pulau kecil juga luar biasa vital, selain untuk keberlangsungan kehidupan biota laut di sekitar pulau-pulau kecil, juga menjadi perisai pantai bagi pulau-pulau besar di sekitarnya.Contohnya, gugusan Pulau Spermonde, yang jumlahnya ratusan di sekitar perairan Makassar dan Kabupaten Pangkep. Gugusan pulau ini merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya.

Untuk diketahui bahwa ekspor pasir laut  pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1997 hingga 2002 di mana Indonesia menjadi pemasok utama pasir laut ke Singapura guna perluasan lahan disana. Saat itu Indonesia telah mengirimkan 53 juta ton per tahunnya.Hasil 5 tahun Indonesia melakukan ekspor pasir laut adalah Pemerintah 1997-2022 dianggap bertanggungjawab atas hilangnya pulau-pulau Indonesia dan keanekaragaman hayatinya.

Perihal dampak negatif pengerukan pasir laut terhadap lingkungan ini sebenarnya juga diakui oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diman pengambilan pasir laut pada masa lalu memang merusak lingkungan, sehingga dilarang untuk diekspor sejak 2003.

"Pengambilan pasir laut terdahulu terjadi kerusakan lingkungan antara lain karena pengambilannya tidak diatur dan menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan, sehingga melalui PP ini tata cara atau tata kelola pemanfaatan sedimentasi di laut dan alat yang ramah lingkungan itu diatur," ujarnya seperti dikutip pers, Senin (29/5/2023).

Karena dampaknya yang membahayakan lingkungan itulah maka penambangan pasir di laut pernah dilarang untuk dilakukan di laut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 dan direvisi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pasal 35 ayat 1, melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

Berkah atau Petaka ?

Kebijakan pencabutan larangan ekspor pasir laut termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dimana dalam pasal 9 ayat Bab IV butir 2, dinyatakan bahwa pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

Jokowi juga mengizinkan kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut dan memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk membersihkannya.

Dengan adanya ketentuan tersebut tentunya merupakan berkah bagi pihak pihak yang terlibat didalamnya terutama para pengusaha yang mempunyai modal / oligarki yang banyak uangnya. Mereka bisa menanamkan investasi untuk penambangan pasir laut yang sudah lama mengendap tidak dioptimalkan pemanfaatannya.

Yang juga mendapatkan berkah adalah negara tetangga kita Singapura. Karena pencabutan larangan ekspor pasir melalui PP 26/2023 ini sejalan dengan akan dilakukannya proyek perluasan lahan di negaranya. Untuk sekedar diketahui, Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia.  Selama dua decade, Singapura telah mengimpor 517 juta ton pasir laut dari negara tetangganya khususnya Malaysia. Malaysia adalah pemasok terbesar pasir laut ke Singapura namun pada tahun 2019 yang lalu Malaysia telah menghentikan ekspor pasirnya mungkin karena dampak lingkungan yang ditimbulkannya.

Kini dengan dibukanya kembali kran ekspor pasir laut ke mancanegara, apakah karena pemerintah kita melihat peluang mendapatkan banyak dana karena ekspor pasir laut yang akan dilakukannya ?. Dengan mengabaikan dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya ?.

Terbukti bahwa peraturan yang melegalkan ekspor pasir laut, terkesan hanya memperhitungkan pemecahan masalah, terutama masalah ekonomi dan sama sekali tidak memperhatikan bahwa itu justru akan menimbulkan beragam masalah baru ke depannya.

Jika Presiden Joko Widodo mengeluarkan izin ekspor pasir laut dengan dalih mengurangi sedimentasi laut maka sesunggguhnya hal itu merupakan langkah yang salah kaprah, karena pengurangan sedimentasi air laut bisa dilakukan tanpa harus mengekspor pasir laut ke mancanegara.Bila benar ada sedimentasi yang merugikan ekosistem laut dan menganggu alur pelayaran, maka seharusnya sedimentasi itu cukup dibersihkan dan tidak perlu dijual atau mengekspornya.

Lagi pula tidak semua sedimentasi merugikan, ada juga sesungguhnya sedimentasi laut bermanfaat bagi ketahanan nasional, bagi ekosistem laut dan bagi batas wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).Bahkan sedimentasi di Pulau-pulau terluar batas wilayah NKRI malah akan menguntungkan NKRI karena batas wilayah menjadi semakin luas sehingga ZEE  (Zona Ekonomi Ekslusif) Indonesia bertambah luasannya. Bertambahnya ZEE akan menambah potensi Indonesia memanfaaat kekayaan laut di dalamnya.

Dengan mempertimbangkan adanya dampak positif serta negatifnya, nampaknya terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut bukanya sebuah berkah bagi bangsa Indonesia tetapi lebih merupakan sebuah petaka. Itulah sebabnya Lembaga Lembaga yang bergerak di bidang lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Greenpeace tegas tegas menolaknya.

Dalam hal ini WALHI dan Greenpeace membeberkan lima alasan penolakan mereka terhadap Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2023.Pertama, Greenpeace dan Walhi tidak menemukan adanya data ataupun fakta bahwa sedimentasi pasir laut mengganggu aktivitas pelayaran.Kedua, Greenpeace dan Walhi juga tidak melihat ada alasan valid mengapa pengerukan pasir laut harus dilakukan. Ketiga, keduanya menilai kebijakan beleid ini hanya akan merusak lingkungan laut dan merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan yang diambil pasirnya

Keempat, Greenpeace dan Walhi khawatir kebijakan tersebut akan menghilangkan pulau-pulau kecil dan Kelima, sanksi yang diberikan dalam aturan tersebut tidak membuat jera dan justru menguntungkan segelintir pihak saja

"Jadi kami tegaskan kembali posisi Greenpeace dari awal menolak PP tersebut dan turunan UU Ciptaker dan Minerba atau apapun yang memberikan karpet merah ke beberapa pihak," kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdilah seperti dikutip media.

Dengan demikian, petaka dengan diberlakukannya PP tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut ini selain akan membahayakan lingkungan juga karena hasil dan lokasi sedimentasi itu sifatnya absurb atau tidak jelas definisinya. Di sisi implementasi ketentuan tersebut akan rawan manipulasi dan pelanggaran karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukumnya.

“Upaya Memoles Citra ?”

Kebijakan pemerintah yang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut mengandung misi pencitraan untuk penyelamatan lingkungan meskipun hal ini sebenarnya (mungkin) bukan menjadi tujuannya. Tetapi kebijakan yang bernuansa pencitraan ini penting untuk mengurangi derasnya tantangan penolakan terhadap kebijakan yang dikeluarkanya.

Sebuah kebijakan yang bernuansa pencitraan ini biasa disebut dengan Greenwashing yaitu  suatu strategi yang biasanya dilakukan oleh perusahaan dengan kesan memberikan citra peduli lingkungan, tetapi sesungguhnya tidak berdampak bagi kelestarian lingkungan yang dikampanyekannya.

Narasi yang bernuansa Greenwashing dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut terlihat misalnya dalam Pasal 6 beleid tersebut, dimana Pemerintah dalam ketentuan itu akan memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi yang ada. Dengan alasan mengendalikan sedimentasi itu, Pemerintah  memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk membersihkannya.

Sementara itu dalam Pasal 8 beleid itu, Pemerintah mengatur sarana yang bisa digunakan untuk membersihkan sedimentasi itu adalah kapal isap. Kapal isap itu diutamakan berbendera Indonesia. Kalau tidak tersedia, Jokowi mengizinkan kapal isap asing untuk mengeruk pasir di Indonesia.

Nampaknya dalam hal ini Pemerintah kembali bermain dengan narasi yang seakan akan mengedepankan semangat pemulihan lingkungan yang berkelanjutan meskipun sangat diragukan realisasinya.

Sangat diragukan karena aroma pengambilan kebijakan yang terkesan asal asalan hanya untuk menempuh pintas guna meningkatkan pendapatan negara. Praktek seperti ini  sudah biasa dilakukan meskipun ada pelanggaran hukum didalamnya. Apalagi terkait dengan kebijakan pengerukan pasir laut ini dilakukan tanpa kajian yang matang serta mengabaikan aspek ekologis dan hak asasi manusia sehingga sangat kental nuansa kalapnya. Kebijakan yang muncul karena ketidakmampuannya dalam mengelola sumber daya laut dan potensi yang ada didalamnya.

Alhasil adanya pembukaan kembali kran kebijakan penambangan pasir laut yang sudah distop selama 20 tahun lamannya memang menimbulkan tanda tanya. Ada ancaman kerusakan lingkungan hidup disana sehingga semakin menambah daftar panjang kerusakan lingkungan yang selama ini sudah begitu nampak dimana mana.

Itulah sebabnya ditengah tengah momen peringatan hari lingkungan hidup sedunia, lahirnya kebijakan pemerintah untuk menambang pasir laut dengan dalih untuk membersihkan sedimentasi agar agar jalur pelayaran tidak terganggu akan menjadi  kado yang pahit karena bukan berkah yang nantinya bisa didapatkan melainkan potensi petaka yang bakal diterima. Apakah memang begitu kenyataannya ?

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar