Survei Upah Layak AJI Jakarta

Jurnalis DKI Jakarta Seharusnya Digaji Rp8,3 Juta di 2023

Rabu, 12/04/2023 14:00 WIB
AJI Jakarta merilis Survei Upah Layak bagi jurnalis yang di DKI Jakarta, di Tamarin Hotel, Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (11/4/2023) (Devi/ Law-Justice.co)

AJI Jakarta merilis Survei Upah Layak bagi jurnalis yang di DKI Jakarta, di Tamarin Hotel, Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (11/4/2023) (Devi/ Law-Justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta merilis hasil survei upah layak jurnalis di Provinsi DKI Jakarta pada 2023 sebesar Rp8.299.299 juta.

Angka tersebut berdasarkan survei AJI Jakarta selama bulan Februari 2023. “Ini jauh meningkat dibanding kebutuhan upah layah dari tahun 2022, jadi ada peningkatan di tahun ini mengingat juga ada inflasi tahun lalu,” kata Ketua Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Jakarta Irsyan Hasyim, Selasa (11/3/2023).

Penentuan upah ini berdasarkan dengan penyesuaian kebutuhan hidup jurnalis yang didasari oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tahun 2020. AJI Jakarta menerima 97 responden dengan masa kerja jurnalis pemula yaitu 0-3 tahun.

Jurnalis yang berpartisipasi dari 51 media mulai dari tv, cetak, radio, dan online. Temuan AJI Jakarta, masih ada jurnalis yang mendapatkan upah di bawah UMP DKI Jakarta. “Dan paling rendah ada responden yang menyebutkan dalam sebulan itu bawa pulang dua juta ini jauh sekali dari upah UMP.

Paling tinggi yang di bawah tiga tahun (masa kerja) ini ada yang 8 juta,” ujar Irsyan.

AJI Jakarta juga menyoroti masih ada perusahaan media yang mengupah jurnalis berdasarkan pageview. Sementara itu, tiga tahun survei ini berjalan, selalu ada laporan jurnalis yang terkena pemotongan gaji. “Sementara kenaikan gaji jurnalis tiap tahunnya, 30 responden menjawab tidak mendapatkan kenaikan gaji.

Ini harus dicatat juga karena ada aturan mencantumkan kenaikan gaji,” tambah Irsyan. AJI Jakarta juga mencatat sejumlah laporan masalah ketenagakerjaan yang dialami jurnalis. Masalah ini meliputi pemotongan gaji 15 kasus, penundaan gaji 8 media, PHK 17 media, tidak diberikan jaminan kesehatan 16 kasus. “Dan sebanyak 56 kasus tidak disebutkan di atas. Artinya masih banyak yang harus dibereskan,” ujar Irsyan.

Jauh dari Kata `Sejahtera`

Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut mengatakan hasil survei ini perlu dikaji kembali secara serius apakah memang masih terkena residu atau imbas dari pandemi atau tidak. Menurutnya, AMSI juga pernah melakukan survei terkait daya tahan media siber di masa pandemi dan setahun sesudahnya.

Banyak anggota AMSI, kata Wens, yang merupakan media skala kecil, bukan media besar atau korporasi berjejaring yang menggurita sehingga kesulitan membayar upah secara layak atau melakukan pemotongan karena cash flownya terganggu. "Banyak perusahaan, lembaga dan kementerian yang memotong anggaran iklannya. Ada yang iklan, bayarnya baru tiga bulan ke depan. Ini juga kepusingan yang dialami oleh perusahaan media skala kecil hingga menengah,” kata Wens dalam kesempatan yang sama.


Dari hasil riset AMSI itu, kata Wens, media-media skala kecil dan menengah ini, cash flownya untuk bertahan hanya sampai 3 bulan, sementara media besar atau korporasi sekitar 1 tahun-1,5 tahun. Jika bertahan, media-media ini masih dalam tahap pemulihan. Wens yang juga Direktur Konten KLY mengatakan implementasi upah layak sedikit sulit jika profesi jurnalis ini masih dilihat dari sudut pandang UU Ketenagakerjaan.

Program Officer pada Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jakarta Lusiani Julia mengatakan, pekerjaan sebagai jurnalis yang seharusnya membutuhkan pendidikan dan kompetensi seharusnya dibayar dengan layak. ”Namun, dari paparan survei upah yang dilakukan secara regular ini, tentunya jadi bertanya-tanya. Kok, kayaknya jurnalis terpojok menerima upah. Apa tidak ada negoisiasi?” ujar Lusiani.

Lusiani juga menyoroti jam kerja jurnalis yang lebih panjang, tetapi tidak berbanding lurus dengan upah yang diterima. Padahal, pekerja pabrik saja justru mendapat upah yang banyak jika banyak lembur.

Menurut Lusiani, pihaknya tidak hanya melihat kesejahteraan jurnalis yang rendah dari sisi kepentingn pekerja. Yang perlu didorong adalah perundingan bersama dari manajemen perusahaan dan pekerja untuk melihat kemampuan pengupahan. ”Untuk memastikan pekerja media dapat gaji sesuai standar, ILO mengadvokasi kebijakan upah kepada pemerintah yang lebih adil dan membuat kebijakan berdasarkan bukti. Pemerintah bisa menetapkan upah secara lebih empiris,” ujar Lusiani.

Banyak Perusahaan Media Nakal

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, pengupahan jurnalis dan karyawan media sebenarnya mengikuti aturan Dewan Pers sebagai prasyarat lolos administrasi. Perusahaan media sanggup memberikan upah layak bagi pegawai, minimal setara UMP. Ketika perusahaan media diverifikasi, selain punya kantor, harus mampu membayar gaji. Meskipun sudah disepakati untuk media minimal 10 orang, ada saja permintaan untuk mengurangi ketentuan tersebut. Ninik tidak menampik ada perusahaan media yang ”nakal” dan Dewan Pers akan menjatuhkan sanksi.

Menurut Ninik, kalau pengupahan UMP sebenarnya sudah tidak layak. ”Bahkan di daerah, hampir rata-rata tidak sanggup membayar sesuai UMP. Di satu sisi bicara tentang hak, di sisi lain tentang media berkelanjutan,” kata Ninik.

”Tentang upah untuk jurnalis ini, minimal setara UMP. Kami belum berani menetapkan lebih tinggi dari UMP. Sebab, Dewan Pers tidak bisa sendiri dan menyesuaikan juga dengan konstituen,” kata Ninik

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar