Thomas Ch Syufi, Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR)

Aksi Protes Diplomatik untuk Fiji dan Dialog Jakarta-Papua (2/2)

Kamis, 16/03/2023 14:15 WIB
PM Fiji, Sitiveni Rabuka bertemu dengan Benny Wenda (Net)

PM Fiji, Sitiveni Rabuka bertemu dengan Benny Wenda (Net)

Jakarta, law-justice.co - Jakarta terus mengeksploitasi berbagai sumber daya alam di Papua, mulai dari tambang emas di PT Freeport (Timika), minyak bumi (Sorong), gas (Teluk Bintuni), pencurian kayu, perampasan lahan-lahan milik masyarakat adat Papua demi perusahan kelapa sawit atau perkebunan jagung milik para elite dan konglomerat Indonesia, dengan mengatasnamakan pembangunan nasional, seperti, proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke.

Bahkan, pemerintah secara sepihak dan memaksa untuk memecah-belah orang Papua melalui pemekaran menjadi enam provinsi, tanpa berkonsultasi dan persetujuan orang Papua.

Ketika orang Papua mempersoalkan kebijakan-kebijakan nonpopulis tersebut, baik menolak perpanjangan otonomi khusus (otsus) dan pemekaran wilayah, melalui sejumlah kegiatan, seperti, seminar, diskusi, debat akademik, atau demonstrasi damai. Namun, kesemua itu dijawab dengan kekerasan oleh aparat keamanan, yang berakhir dengan pertumpahan darah dan kematian orang Papua.

Misalnya, pada 23 Februari 2023 terjadi kerusuhan di Sinakma, Wamena, Jayawijaya yang berakhir dengan 10 warga Papua tewas tertembak oleh aparat keamanan (Kompas.com, Kamis, 23 Februari 2023).

Aparat keamanan menangkap dan memenjarakan Viktor Yeimo, aktivis terpandang pro-HAM dan demokrasi Papua, atas keterlibatannya dalam orasi damai saat demonstrasi anti-rasisme di Jayapura, Papua, 2019 silam, dan proses hukum yang tengah berlangsung tanpa mempertimbangkan kondisi kesehatan Yeimo yang makin memburuk dan sekarat di tahanan.

Bahkan rentetan kekerasan dan pelanggaran HAM oleh militer Indonesia sebagian besar tidak diproses hukum. Justru aktor kejahatan kemanusiaan memperoleh impunitas (kebal hukum) dan mendapat promosi jabatan. Meski ada sejumlah pelanggar HAM Papua yang diadili, pengadilan akhirnya memutus bebas, hingga dianggap semua proses peradilan terhadap penjahat kemanusiaan di Papua itu, hanyalah sebuah peradilan sesat (miscarriage of justice) yang penuh dengan kamuflase dan rekayasa politik. Atau proyek pencitraan pemerintah di mata masyarakat internasional maupun orang Papua.

Realitas dan dinamika HAM di Papua terus terpuruk dan mengenaskan lebih dari setengah abad Papua menjadi bagian dari Indonesia. Hingga kerap menarik keprihatinan masyarakat global, termasuk empati masyarakat dan para pemimpin di negara-negara Pasifik.

Para pemimpin Pasifik tentu merasa bahwa kemelut kemanusiaan di Tanah Papua merupakan krisis kemanusiaan untuk semua orang Pasifik dan Melanesia, sekaligus menjadi moral obligation (tanggung jawab moral) untuk menerapkannya pada level regional Pasifik—yang terhimpun dalam wadah MSG, PIF atau ACP (African, Caribbean, and Pacific), Uni Eropa, maupun di aras PBB.

Jadi, kepercayaan orang Papua terhadap pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua, termasuk berbagai persoalan ketidakadilan lainnya, sudah pupus dan pada titik nadir. Karena itu, mereka menginginkan agar semua pelanggaran HAM dan ketidakadilan di Tanah Papua harus dibawa ke forum yang lebih independen, adil, jujur, dan objektif di Pasifik dan PBB.

Pelanggaran HAM di Papua tidak bisa disogok atau ditebus dengan uang triliunan rupiah, pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, otonomi khusus (otsus), pemekaran daerah, banyaknya kunjungan presiden, mengirimkan bantuan ke negara-negara peduli HAM Papua, mengusir diplomat negara-negara peduli HAM Papua, termasuk mengirim nota protes terhadap Fiji.

Akan tetapi, pemerintah Indonesia harus arif dan bijak dalam mencari jalan terbaik untuk penyelesaian konflik Papua, karena Papua akan terus bergejolak. Dan pelanggaran HAM akan marak terjadi, hingga menyedot perhatian masyarakat internasional, termasuk para pemimpin Pasifik, untuk menyoroti Indonesia.

Eskalasi konflik antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia, termasuk konflik bersenjata antara TPNPB-OPM versus TNI-Polri bakal sukar dibendung, sehingga berpotensi merugikan semua pihak, baik masyarakat sipil, maupun TNI-Polri dan TPNPB-OPM. Juga merusak reputasi Indonesia di mata dunia internasional, sekaligus mengancam perdamaian Papua dan Indonesia.

Jika konflik semakin larut dan tak usai, maka akan menghambat segala upaya pembangunan yang terus digenjot pemerintah Indonesia di Papua—yang menjadi salah satu syarat mendukung visi Indonesia menjadi negara pada tahun 2045.

Sebenarnya, dukungan negara-negara Pasifik–termasuk Fiji untuk ULMWP diterima sebagai anggota penuh MSG–menjadi momentum kontemplasi dan proyeksi bagi pemerintah Indonesia ke depan, untuk memperbaiki situasi HAM di Papua yang terus memburuk, dengan berbagai aksi kekerasan aparat keamanan.

Jadi, nota protes diplomatik pemerintah Indonesia terhadap Fiji, tidak signifikan bagi Indonesia, kecuali pemerintah Indonesia berikhtiar untuk mengakhiri kekerasan di Tanah Papua.

Dukungan Fiji terhadap Papua tidak hanya berpijak pada aspek kultural atau antropologis semata, sebagai sesama satu ras atau rumpun Melanesia, tapi juga karena ada hukum kausalitas, yakni kekecewaan historis rakyat Papua atas penyatuan Papua ke dalam NKRI tahun 1960-an yang masih digugat oleh mayoritas rakyat Papua, dan belum diklarifikasi oleh pemerintah Indonesia di hadapan rakyat Papua dan pelanggaran HAM berkepanjangan di Tanah Papua.

Oleh karena itu, nota protes diplomatik pemerintah Indonesia untuk Fiji, merupakan tindakan emosional yang akan merusak lalu lintas hubungan bilateral (resiproksitas) Indonesia-Fiji di masa depan. Sebab nota protes diplomatik hanya merupakan suatu seruan normatif atau sekadar pernyataan politik di atas kertas dan irasional, serta tak dapat mengubah skandal keadilan dan kemanusiaan di Tanah Papua menjadi lebih baik. Ibarat kata, menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.

Indonesia harus menyadari bahwa dukungan Fiji, bahkan beberapa negara Pasifik terhadap isu HAM dan perdamaian di Papua, merupakan masalah universal yang menjadi tanggung jawab semua negara di dunia.

Bahkan hal tersebut juga telah dilegalkan oleh berbagai instrumen hukum internasional, termasuk diatur dalam hukum nasional masing-masing negara, sebagaimana juga diatur dalam Pembukaan UUD 1945—yang menghendaki Indonesia melawan penjajahan Belanda, terus mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina, memberi protes terhadap kudeta militer di Myanmar, dan invasi Rusia ke Ukraina.

Indonesia menggunakan hak protes terhadap Fiji kecuali ada pelanggaran terhadap norma atau hukum internasional. Misalnya, Fiji secara sengaja mencaplok atau mengklaim sebagian atau seluruh wilayah kedaulatan Indonesia, termasuk melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Akan tetapi, dukungan Fiji untuk Papua merupakan sebuah persoalan demokrasi dan HAM yang harus dihormati dan diterima oleh pemerintah Indonesia, untuk memperbaiki situasi HAM dan demokrasi di Tanah Papua ke depan. Bukan sebaliknya Indonesia menunjukkan sikap resisten, dengan melayangkan nota protes diplomatik seperti ini.

Oleh karena itu, untuk mengakhiri semua konflik di Tanah Papua, termasuk kasus pelanggaran HAM selama 60-an tahun di Tanah Papua, serta agar mengelak dari sorotan masyarakat internasional, pemerintah Indonesia harus arif dan berani membuka ruang dialog yang adil, jujur, terbuka, dan bermartabat dengan rakyat Papua yang diwakili oleh ULMWP, dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan disepakati kedua pihak, yaitu, Papua – Jakarta!

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar