Devi P Wihardjo, Pemerhati Isu Sosial

Isu Perempuan dan LGBT, Camilan Legit Politisi Jelang Pemilu

Rabu, 18/01/2023 16:20 WIB
Kotak Suara (Law-Justice/Robinsar Nainggolan)

Kotak Suara (Law-Justice/Robinsar Nainggolan)

Jakarta, law-justice.co - Selain perempuan sebagai korban kekerasan seksual (KS), Belakangan pemberitaan kerap menampilkan kebengisan, kejahilan dan kejahatan perempuan. Tengoklah ramai diberitakan Putri Candrawathi istri Ferdy Sambo yang diduga selingkuh dengan Yosua ajudannya yang sudah tewas dibunuh oleh suaminya. Meskipun pada akhirnya kasus perselingkuhan itu dibantah oleh keluarga Yosua.


Muncul juga Aktor dan vokalis Dikta yang tiba-tiba heboh mengalami pelecehan oleh penggemar perempuan, seorang istri yang selingkuh dengan pak Kades dan di pergoki beramai-ramai. Atau segala macam Tindakan amoral dan kriminalitas yang dilakukan perempuan.


Belakangan juga ramai pemimpin daerah yang tiba-tiba melarang Lesbian Guy Biseksual dan Transgender (LGBT) di daerahnya dengan mengatasnamakan adat dan dianggap melanggar moralitas. Meski belakangan diketahui para pemimpin daerah itu sebenarnya sedang merangkul suara mayoritas yaitu kaum konservatif agama dan etnis.


Isu perempuan dan LGBT memang legit, karena menang masih dianggap inferior. Alih-alih dijadikan isu, perempuan dan LGBT bahkan tak punya tempat seimbang dengan laki-laki. Jangankan seimbang, diberi tempatpun tidak.


Pada jabatan pengawas pemilu misalnya, koordinator Divisi SDM Komisi Pemilihan Umum (KPU) Parsadaan Harahap menyebutkan, dari 304.632 pendaftar Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk gelaran Pemilu 2024 mendatang. Hal itu disampaikan Koordinator Divisi SDM KPU Parsadaan Harahap. 196.747 pelamar berjenis kelamin laki-laki persentase 65 persen dari jumlah total pelamar. Kemudian untuk perempuan se-Indonesia itu 107.856 persentasenya 35 persen. Itupun belum mengalami penyaringan dengan tetek-bengek tes yang membuat kesempatan perempuan menjadi makin sempit.

Belum lagi isu sensasional pejabat berbau asusila, seperti Mischa Hasnaeni Moein alias Hasnaeni yang menjuluki dirinya sebagai Wanita Emas (46) yang mengaku dilecehkan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari atas dugaan pengancaman dan asusila dengan membawa barang bukti foto dan video yang membuat publik yakin bahwa otak pejabat publik di negeri ini masih menganggap perempuan sebagai seonggok sensualitas.

Peran perempuan masih bak berjalan diatas kerikil tajam, perempuan masih menghadapi kendala dan dinamika politik yang terkadang kerap menjadikannya sebagai objek dan deal-deal politik bahkan sebagai objek seksualitas. Bukan soal quota yang belum terpenuhi tapi ternyata memang perempuan masih diperangkap dalam pemikiran-pemikiran patriarki, belum lagi kendala kaum misoginis yang terus saya menggoreng isu perempuan sebagai ‘penyebab kejahatan di muka bumi’

Di Negeri ini, memang ada Puan Maharani menjadi ketua DPR RI, Retno Marsudi sebagai menteri luar negeri, Bu Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, tapi porsi perempuan masih minus dalam politik Indonesia. Sebagai kaum yang dimarjinalkan oleh konstruksi sosial, perempuan Indonesia harusnya menguasai segala sektor bukan sekadar berebut quota yang seolah ogah-ogahan di serahkan untuk perempuan.

Dalam budaya politik Indonesia, anggapan perempuan tidak lebih baik dari laki-laki terus saja digaungkan, baik di lingkungan terkecil seperti keluarga sampai ruang lingkup luas seperti media massa khususnya politik.


Persepsi itu sudah saatnya dihilangkan dan dengan berbagai catatan sejarah peranan perempuan di sistem politik Indonesia sudah bisa menjadi bukti nyata bahwa perempuan bukanlah kaum yang hanya bisa dianggap remeh dan dipandang sebelah mata.


Begitupun LGBT, dalam masyarakat konservatif, LGBT masih dianggap penyakit, kutu atau semacam kerasukan dan harus diobati dengan rukiah atau ahli penyakit kejiwaan. Tapi kenyataannya LGBT juga dijadikan objek politisi untuk meraih suara kaum konservatif yang menentang legalisasi LGBT bahkan menormalisasi persekusi terhadap LGBT. Meski nyatanya, LGBT menjadi minoritas yang bergerak dan terus membesar akibat desakan politik dan diskriminasi dari para politisi yang haus suara mayoritas dalam pemilu 2024.


Perempuan dan LGBT masih jadi objek ‘drama’ politisi meski keberadaan pergerakan perempuan dan diskriminasi LGBT sudah tak lagi dianggap berperikemanusiaan. Politisi kerap menjadikan perempuan dan LGBT sebagai ‘Tumbal’ politik yang paling empuk, dan ‘Mangsa’ akan haus kekuasaan.

Perempuan dan LGBT: Makanan Legit Polisi

Hingga menyambut pemilu 2024, ternyata isu perempuan dan LGBT tak habis-habisnya jadi objek utama politisi. Mereka menutup mata akan perjuangan perempuan dan LGBT alih-alih menyimpan nafsu mendapat suara mayoritas. Perempuan masih dijadikan objek seks dan bahan candaan seksual akibat dari dominasi nalar maskulinitas yang uzur.


Padahal, dalam sejarahnya, perempuan sebelum abad 20 ditutup matanya oleh kontruksi sosial yang disebut patriarki berbalut adat dan agama. Perempuan dibuat merem dan dijadikan makhluk kedua selama berabad-abad di tanah air kita. Kemudian datang masa melek pengetahuan dan akhirnya berjuang melawan adat dan dogma agama.


Pada tahun 900-an, sebagai tanda awalnya nasionalisme di Asia, kebijakan etis membuka sekolah perempuan modern yang tersebar di daerah, dekat dengan lahan perkebunan kolonial, seperti Minahasa, Sumatera, Medan dan Jawa.


Di belahan dunia lain di abad yang sama yaitu abad 20, di Amerika perempuan sudah akrab dengan feminisme setelah berabad-abad berjuang melawan sistem. Kondisi kehidupan yang tertekan dapat menumbuhkan kesadaran perempuan terhadap kemampuannya.


Kesadaran akan kemampuan perempuan tidaklah berbeda dengan laki-laki mulai muncul pada tahun 1940. Hal ini juga tidak bisa dipisahkan dari terjadinya Perang Dunia II. Selama perang tersebut, lebih dari 6 juta perempuan harus bekerja diberbagai sektor yang selama ini di kerjakan oleh laki-laki. Momen ini membuat mereka menyadari bahwa mereka juga mampu bekerja diberbagai sektor yang selama ini didominasi oleh laki-laki.


Dalam percaturan politik Indonesia, perempuan juga masih dijadikan warga kelas dua, hambatan dan rintangan bakal dihadapi perempuan ketika masuk dunia politik, dari sisi internal misalnya seperti kasus kekerasan yang dialami oleh artis dan politisi Venna Melinda yang dibuat trauma oleh aktor Ferry Irawan sebagai suami yang menganggap menolak berhubungan badan kalau suami meminta itu sebuah dosa. Sehingga membuat Venna Melinda harus menerima paksaan demi paksaan berhubungan badan oleh suaminya yang baru dinikahi 9 bulan pasca menjanda 9 tahun. Hal ini juga sebuah alarm yang menciptakan hambatan bagi perempuan untuk maju dalam perpolitikan negeri ini.


Dari sisi ekternal, perempuan menghadapi banyak hambatan dan rintangan ketika perempuan berniat terjun ke politik praktis. Politik praktis kadung dianggap sebagai wilayah maskulin yang tabu dimasuki oleh perempuan. Ladang politik dibuat bercorak maskulinitas dan sulit sekali dijalani karena beban ganda yang harus diemban juga dalam rumah tangga. Konsekwensi dari semua itu, partisipasi politik perempuan menjadi rendah dan mengakibatkan kurang terakomodasi kepentingan perempuan dalam pembentukan Undang-undang dan keputusan politik. Kebijakan diambil nyaris diambil dan dikuasai oleh sudut pandang laki-laki dan melarat perspektif gender.


Sementara itu, di Indonesia, LGBT sama sekali tidak punya tempat, keberadaan UU Perkawinan No 1/1974 sebagai dasar perkawinan semua manusia Indonesia, yaitu antara laki-laki dan perempuan. UU tersebut terindikasi dibuat oleh politisi bercorak konservatif di parlemen sehingga LGBT tak punya ruang bahkan sekecil lubang semut.


LGBT sudah sangat tertindas di negeri ini, mereka tak punya payung hukum meski sudah diperjuangkan oleh aktivis yang tak lelah membela dan mendesak parlemen untuk memberi ruang juga untuk LGBT. Kuatnya paradigma agama dan hukum yang menyatakan bahwa pernikahan sesama jenis, membuat kekuatan hukum tidak pernah digubris. Perjuangan LGBT tak akan pernah berhasil karena dianggap menentang agama dan norma hukum, komunitas LGBT juga dianggap menyimpang adat lokal sehingga kerap di persekusi dan dibuat seolah sampah masyarakat.


Meskipun fenomena LGBT adalah sebuah keniscayaan yang sudah ada sejak manusia menumpang di bumi ini. LGBT seolah dijadikan Isu politik meski didalamnya ada manusia yang bernyawa dan punya hak hidup, LGBT masih dianggap objek hujatan dan makian para politisi. Sebagai negara mayoritas muslim seperti Indonesia komunitas LGBT memang keras dilarang. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan stempel sesat dan menyimpang bagi komunitas ini.


Padahal jika dipikirkan secara waras, isu ini bukanlah isu baru, LGBT merupakan isu lintas zaman yang pro dan kontranya menjadi perdebatan seisi bumi. Dalam konteks sejarah, perjuangan LGBT identik dengan legalisasi dan pengakuan. Gerakan LGBT berubah menjadi terencana dan sistematis akibat dari desakan politik itu sendiri.
Padahal jika mengacu pada perpolitikan global, LGBT sangat kental dengan gerakan politik, LGBT di beberapa negara menjadi kekuatan politik, di Barat, partai berhaluan liberal mendorong pemerintah untuk legalisasi dan penghentian diskriminasi terhadap LGBT.


Di Inggris, LGBT menjadi salah satu bagian dari sayap partai Liberal Demokrat. Sedangkan di Amerika, gerakan LGBT terafiliasi dengan Partai Demokrat. LGBT hebat dalam hal ide dan semangat berontak dari diskriminasi sehingga mereka mampu mendorong Undang-undang.


Di Amerika Serikat, jelang Barack Obama lengser, politisi LGBT akhirnya mengesahkan pernikahan sesama jenis pada 26 Juni 2015. Kalangan LGBT maupun liberal bersorak sebab Amerika berhasil ditaklukan. Di sisi lain, sorak sorai LGBT malah memanaskan tungku perlawanan white, anglo-saxon atau kaum konservatif melalui partai Republik.


Namun pada akhirnya, ketika partai Republik berkuasa, LGBT kembali terdiskriminasi, sorak soray itu hanya berlangsung setahun (2015-2016). Ini menggambarkan peta perpolitikan yang kerap menjadikan sebuah isu untuk memisahkan dua kubu kekuatan politik.


Sebagai pembaca yang cerdas, menurut anda, masihkah anda ingin terus terjerat pada kontruksi yang dibuat oleh pada pemain politik di negeri ini? Jawabannya ada di benak anda dan logika berfikir anda yang rasional.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar