Ini Pasal yang Lebih `Ngeri` dari Pasal Zina & Kumpul Kebo di UU KUHP

Kamis, 15/12/2022 06:12 WIB
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (bahasa Belanda: Wetboek van Stafrecht, umum dikenal sebagai KUH Pidana atau KUHP) adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia. (Edarabia)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (bahasa Belanda: Wetboek van Stafrecht, umum dikenal sebagai KUH Pidana atau KUHP) adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia. (Edarabia)

Jakarta, law-justice.co - Hingga saat ini, Pasal 411 dan 412 dalam RKUHP yang baru disahkan DPR menjadi UU pada Selasa (6/12) lalu menjadi sorotan.

Kedua pasal yang mengatur larangan perzinaan dan kumpul kebo itu menuai polemik.

Pada UU yang akan berlaku 2025 ini, seseorang yang melakukan seks di luar pernikahan bisa terancam satu tahun penjara dan enam bulan penjara bagi mereka yang melakukan kumpul kebo.

Aturan ini dinilai membuat turis asing cemas datang bersama pasangannya saat pelesiran ke Bali.

Australia menyoroti undang-undang baru ini. Negara tersebut memang merupakan salah satu penyumbang turis terbesar di Pulau Dewata.

Jika asing fokus menyoroti pasal soal seks, sejumlah elemen di dalam negeri membeberkan pasal-pasal yang tak kalah atau lebih mengerikan dan kontroversial.

Berikut daftarnya Seperti melansir BBC:

1. Unjuk Rasa/Pawai Tanpa Pemberitahuan: Pidana 6 Bulan Bui

Pasal 256 menyebut, orang yang melakukan demonstrasi, unjuk rasa, maupun pawai di jalan dapat dipidana 6 bulan penjara. Pasal tersebut dinilai sejumlah pihak bisa mengancam demokrasi.

2. Penghinaan Terhadap Presiden hingga Lembaga Negara: Pidana 3 Tahun Bui

KUHP terbaru turut memuat pasal penghinaan terhadap pemerintah, yakni presiden, wapres, menteri, MA, MK, MPR, DPR, dan DPD. Dalam Pasal 240, setiap orang yang menghina pemerintah terancam 1 tahun 6 bulan pidana.

Sementara dalam Pasal 241, penghinaan terhadap pemerintah melalui medsos dapat terancam 3 tahun bui. Pasal delik aduan tersebut juga dapat mengancam kebebasan berpendapat.

Batas antara kritik dan penghinaan disebut kurang jelas hingga menimbulkan kontroversi meski sudah ada penjelasan sedikit di dalamnya.

Ahli hukum pidana lulusan UGM Fathillah Akbar menyebut ada perbedaan dari keduanya.

“Sebenarnya, kan, itu sudah termasuk kemajuan. Karena sebelumnya Pasal 240 itu ada Pasal 350 juga, 351, ya tentang penghinaan terhadap kekuasaan yang umum. Setelah masukan masyarakat ditampung tuh, Pasal 240, 350 itu digabung, jadi penghinaan terhadap pemerintahan dan kekuasaan lembaga yang sah aja,” jelasnya.

Apa makna penghinaan itu?

“(Dalam pasal itu) Yang dimaksud penghinaan berdasarkan yang memang menjatuhkan martabat,” ujar Fathillah.
Lantas, apa bedanya dengan kritik?

Kalau kritik itu berdasarkan riset, berdasarkan opini, dan sebagainya, tidak bisa dijerat,” ungkap Fathillah.

Sementara menurut ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar, pasal ini masih perlu ditinjau ulang. Sebab, lembaga kenegaraan berperan untuk melayani masyarakat.

“Nah, waktu 3 tahun saya kira cukup untuk melakukan upaya hukum ya apakah itu perbaikan, maupun itu judicial (review) ke Mahkamah Konstitusi,” kata Abdul Fickar.

3. Menyerang Harkat Martabat Presiden dan Wapres: Pidana 4 Tahun Bui

Serangan terhadap pribadi presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 218 dan 219. Setiap orang yang menyerang harkat dan martabat presiden serta wapres dapat dipidana 3 tahun penjara.

Hukuman jadi lebih berat jika serangan melalui medsos, yakni 4 tahun. Sama seperti aturan di sebelumnya, hukuman ini dinilai bisa mengancam kebebasan berpendapat atau demokrasi.

4. Hukuman Mati

Dalam KUHP versi terbaru, aturan terkait hukuman mati tercantum dalam Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, serta Pasal 102. Aturan ini ditolak banyak pihak karena mengancam HAM. Pasal tersebut juga mengatur soal masa percobaan.

Menurut Hotman Paris, pasal ini bisa menjadi celah permainan oleh kepala lapas/penjara.

“Aduh, masa saya baca di KUHP yang baru ini, gue pusing, nalar hukumnya di mana ini orang-orang yang buat UU. Pasal 100 ini disebutkan, seseorang terdakwa yang dijatuhkan hukuman mati, enggak bisa langsung dihukum mati, harus dikasih kesempatan 10 tahun apakah dia berubah berkelakuan baik,” kata Hotman Paris dalam video yang diunggah di Instagramnya, Kamis (8/12). (kumparan sudah menghubungi Hotman untuk mengutip IG-nya).

Hotman menilai, ini menjadi celah bagi para kepala lapas untuk bermain-main dengan surat kelakuan baik.

Hotman menyindir orang-orang yang menyusun RKUHP mayoritas bukan praktisi hukum, tapi politikus. Pengacara kondang itu meminta RKUHP juga dibatalkan pengesahannya oleh Presiden Jokowi.

Penolakan juga datang dari pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referendum. Dia menyebut aturan hukuman mati sangat berbahaya karena merampas hak hidup manusia yang tidak bisa dikurangi ataupun dicabut oleh siapa pun.

5. Penyebaran Berita Bohong: Pidana 6 Tahun Bui

Pasal 263 menyebut setiap orang yang menyebarkan berita yang patut diduga berita bohong dapat dipidana hingga 6 tahun penjara. Sementara orang yang menyebarkan berita yang tidak pasti dan berlebih-lebihan dapat terancam 2 tahun bui. Aturan tersebut dinilai dapat digunakan untuk mengkriminalisasi dan membungkam kebebasan pers.

6. Tindak Pidana Agama: Pidana 3 Tahun Bui

Menurut LBH Jakarta, Pasal 300 terkait agama sangat mencampuri urusan kepercayaan masyarakat. Hal yang harusnya jadi urusan individu menjadi urusan publik.

7. Hukum Adat: Mudahnya Kriminalisasi

Pasal 2 dalam KUHP terbaru mengatur bahwa seseorang dapat dihukum sesuai hukum adat bila aturannya tak dimuat dalam RKUHP. LBH Jakarta dan sejumlah pihak menilai pasal tersebut akan membuat banyak orang jadi mudah dikriminalisasi.

Disahkannya pasal ini akan membuat kriminalisasi akan semakin mudah dan mengikuti keinginan penguasa daerah. Selain itu, aturan bisa merugikan masyarakat adat, perempuan, dan anak.

8. Pasal Korupsi Lebih Ringan dari UU Tipikor: Pidana 2 Tahun Penjara

Hukuman pidana korupsi diatur dalam Pasal 603 dan 604—yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 UU Tipikor. Koruptor menerima hukuman penjara paling sedikit 2 tahun dan maksimal 20 tahun.

Hukuman di RKUHP ini lebih rendah dari Pasal 2 UU Tipikor yang menyebut sanksi pidana koruptor minimal 4 tahun dan paling lama 20 tahun.

Pada KUHP, koruptor dikenakan denda paling sedikit kategori II atau Rp 10 juta dan paling banyak kategori VI atau Rp 2 miliar.

Sementara pada Pasal 2 UU Tipikor sebelumnya, denda koruptor dalam KUHP paling sedikit Rp 200 juta paling banyak 1 miliar.

Lantas, dengan banyaknya protes usai disahkannya KUHP, bisakah publik meraih kemenangan jika menggugat KUHP ini ke MK?

Fathillah Akbar menyebut bahwa poin pentingnya ada pada bagaimana MK memandang undang-undang tersebut. Perlu melihat judicial review terlebih dahulu

“Pandangan MK terhadap KUHP ini seperti apa itu yang paling penting, jadi memang yang jadi perdebatan. Tentang apakah MK bisa diharapkan, contoh kayak Aswanto kemarin menolak (UU Omnibus Law) Cipta Kerja kemudian dia diberhentikan juga dan sebagainya,” kata Fathillah, Kamis (8/12).

MK harus melihat UU secara jernih. Tak ada unsur politis.

“Kali ini ada yang masuk duluan terhadap KUHP itu akan menjadi pembelajaran. ‘Oh ternyata MK menerima nih, oh ternyata MK menolak, nih’. Nah itu yang menjadi poin pentingnya apakah kira-kira kita bisa berharap dengan MK,” jelasnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar