Pandangan Sejumlah Tokoh Nasional

Soal Politik Identitas: Inkonstitusionalkah dalam Kampanye Politik?

Minggu, 09/10/2022 12:33 WIB
Soal Politik Identitas: Inkonstitusionalkah dalam Kampanye Politik? (Istimewa).

Soal Politik Identitas: Inkonstitusionalkah dalam Kampanye Politik? (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Menurut Prof. Din Syamsuddin, M.A., Ph.D, penyebutan politik identitas seperti metode pendekatan dan memiting lawan secara tidak bertanggung jawab, dan sekarang berkembang sebagai phobia oleh pihak lain.

Rasa ketakutan terhadap yang lain adalah bentuk dari inferioritas. Akan tetapi, politik identitas sekadar suatu bentuk kepentingan pada saat menjelang pemilu dan akan hilang seiring waktu.

Sayangnya di Indonesia, politik identitas kerap dituduhkan kepada umat islam.

Identitas adalah sesuatu yang melekat pada diri manusia. Manusia memiliki identitas, baik skala individu maupun kelompok, dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).

Pada Orde Baru, politik identitas dikenal sebagai politik aliran. Politik aliran dikenalkan oleh Clifford Gertz, yakni dikotomi antara santri dan abangan.

Abangan dikenal sebagai parpol nasionalis atau parpol yang tidak menggunakan simbol agama secara formalistik, dan santri berafiliasi dengan parpol bernuansa Islam. Seiring waktu, santri menyebar ke berbagai parpol.

Bahwa yang menuduh pihak lain menggunakan politik identitas, justru merekalah yang menggunakan politik identitas. Mereka yang melakukan tuduhan, menganggap identitas yang berlainan adalah musuhnya.

Akan tetapi, Politik identitas ada yang termanifes dan ada yang laten. Ini terkait modus ekspresi.

Politik identitas dianggap sebagai kegagapan wacana global yang mengidentifikasi pasca WTC 9/11. Akan tetapi, penggunaan politik identitas ini dianggap dapat menggerakkan sel-sel yang laten dan membuat Pemerintah AS mengubahnya strateginya menjadi ‘war on terror.’

Keterpilihan Obama sebagai Presiden AS, membuat islamophobia menurun di AS.

Politik identitas beriirisan dengan isu yang mendiskreditkan islam. Jika islam disudutkan maka tidak baik bagi Indonesia, dan berdampak buruk bagi umat yang moderat.

Disisi lain, Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H menyatakan bahwa secara sunatullah, kita tidak dapat memisahkan orang Indonesia dengan identitasnya dan menghilangkan identitasnya. Bangsa Indonesia merdeka berkat politik identitas.

Politik identitas adalah sebuah pengakuan dan identitas adalah sebuah given.

Relasi agama dan negara telah diselesaiakan dengan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Piagam Jakarta adalah sebuah kesepakatan.

Perbedaan antara Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD, hanya berbeda 7 kalimat saja. Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai tsb.

Justru orang-orang yang menyebarkan isu politik identias berniat menyebarkan disharmoni dan tidak bersesuaian dengan isi Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.

Peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 mulai dikembangkan narasi bahwa jika umat islam tidak memilih Ahok akan dicap sebagai politik identitas. Akan tetapi, persoalan pemilihan Ahok bukan saja terkait politik identitas, melainkan rekam jejaknya.

Di India kuat dengan politik identitasnya. Akan tetapi, tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut. Setiap orang diperkenankan menggunakan identitasnya sebagai inspirasi dan sumber nilai untuk memperjuangkan yang dipercayainya.

Jangan sampai politik identias sebagai alasan untuk menutupi kebusukan politisi yang bekuasa.

Pandangan Prof. Dr. H. Ichsanuddin Noorsy, B.Sc., S.H., M.Si, identitas adalah nilai, ucapan, dan tindakan, yang melekat pada seseorang, kelompok, golongan, atau suatu bangsa, yang dikenal melalui agama, suku, profesi, yang dikenal lain, sehingga memberi persepsi tertentu.

Identitas terjadi secara alami, pilihan, pemberian, ataupun capaian, yang merupakan tanda pengenal. Bahwa identitas berarti soal adaptasi, oposisi, atau mengambil cara. Bahkan identitas merupakan suatu perlawanan.

Identitas bukan suatu kedirian, tetapi suatu identitas sosial. Ada orang yang memiliki identitas di dalam ingroup, tetapi posisinya berada di outgroup, karena dia adalah mata-mata.

Ada orang yang memiliki identitas outgroup, tetapi posisinya berada di dalam ingroup, karena memiliki tujuan atau cita-cita yang sama.

Oleh AS politik identitas diidentifikasikan sebagai ‘with us’ atau ‘against us.’ Bahwa di dalam Islam dibagi menjadi empa, berasal dari kata ‘sami`na wa atho`na.’ Sami’na artinya sistem, atho’na berarti pelaku.

a. Munafik, dia mendengar tetapi dia tidak melaksanakan/melawan.
b. Mukmin, dia mendengar dan dia melaksanakan.
c. Muslim, dia tidak mendengar dan dia melaksanakan.
d. Kafir, dia tidak mendengar dan dia tidak melaksanakan.

Identitas ada sejak Adam diciptakan. Kemudian terjadilah penyebaran manusia di berbagai muka bumi, muncullah perbedaan warna kulit, agama, dan mata pencaharian, dan terbentuknya elit budaya dan pemikiran.

Politik identitas di Indonesia adalah agama, jika merujuk pada UUD 1945. Jika merujuk kepada abad 20, maka politik identitas pada suku dan ekonomi.

Identitas di kepemimpinan ada 4 yakni: janitor, operator, fighter, leader.

Oleh sebab itu, dia berkesimpulan sebagai berikut:

a. Negara Indonesia adalah negara beragama, itu artinya beridentitas.
b. Identitas agama diakui dan dihormati.
c. Resistensi politik identitas agama karena ahistoris.
d. Bahwa penggunaan istilah yang merendahkan berupa ‘politik identitas’ adalagh bentuk ketakutan pada bayang-bayang sendiri
e. Menikmati kuasa dengan karakter transaksional. Tahta untuk harta, harta untuk tahta.

Dr. Mulyadi menyatakan bahwa ketika imperialisme atau kolonialisme masuk ke nusantara, maka yang pertama kali dilakukan adalah memecah warga negara.

Orang islam yang taat beragama dan melawan kolonialisme disebut dengan Islam kanan, radikal, ekstrimis. Dan, yang tidak taat disebut islam kiri. Yang menerima kolonialisme disebut Islam modern.

Situasi saat ini di Indonesia tentang politik identitas sebenarnya adalah preferensi politik. Identitas politik adalah identitas yang memiliki power dan otoritas.

Ir. H. Sayuti Asyathri menganggap Politik identitas merupakan anugerah dari Allah SWT. Bukan hal yang buruk sebenarnya.

Menurut Francis Fukuyama, ada lompatan, ada sesuatu yang disembunyikan oleh argumen politik identitas. Politik identitas berkembang seiring gagalnya demokrasi liberal di Amerika Serikat. Kemudian, timbul suatu identitas yang dianggapnya bermasalah, yakni permasalahan perkawinan lgbt/perkawinan sejenis.

Pada statement berikutnya, Fukuyama menggunakan alasan bahwa ada suara yang tidak didengar yakni suara yang berasal dari kalangan islam, yang merasa suara mereka tidak didengar, maka muncullah ISIS.

Oleh karena itu, bahwa ada suara-suara innerself yang perlu didengar, maka marilah kita gunakan kesempatan concern public untuk menggali hal-hal yang perlu didengar dan disampaikan.

Konsolidasi kekuatan politik yang dilakukan oleh Sukarno merupakan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi, kemudian Sukarno mengeksekusi orang-orang yang berbeda.

Dalam hal ini, Sukarno sebenarnya menolak orang-orang yang beridentitas lain, hal ini karena tujuan satu partai tunggal. Liga demokrasi, adalah bentuk penentangan dari gagasan Sukarno atas partai tunggal.

Sukarno yang ingin menyingkirkan identitas lain menemui kegagalan, karena pekerjaan terbesar dari gerakan yang menolak identitas Islam/Islam nasionalis, terlalu banyak ditemui penolakan.

Konstitusi UUD Pasal 28, menghargai atas hak asasi manusia, yang isinya merupakan penguatan identitas. UU no 2 tahun 2008, asas parpol tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, ayat kedua, parpol dapat mencantumkan identitas tertentu yang mencerminkan parpol.

Pandangan Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, MA, politik identitas tidak serta merta disebut inkonstitusional dalam kampanye politik. Tetapi jika identitasnya yang dilarang oleh uu, yakni identitas tetang komunis atau marxis.

Tetapi ada phobia dengan identitas islam, justru membenarkan identitas komunisme, dikatakannya sebagai style. Di sisi lain ada yang mengenakan kaos Habib Rizieq ditangkap.

Bahwa kita semua memiliki identitas, dan aneh jika kita menanggalkannya dan membuat aksioma baru. Hal ini tidak sesuai dengan jati diri kita sebagai bangsa dan sebagai umat.

Sultan Hamengkubowono ketika membuka Kongres Umat Islam ke tujuh, menyampaikan bahwa Jamiatul Khair di tahun 1903 menyatakan membebaskan diri dari penjajahan Belanda merupakan hukum yang wajib.

Identitas ini menegaskan bahwa ini menjadi bingkai dasar tentang kemerdekaan Indonesia. Jong Islamic Bond yang melibatkan diri ke dalam Sumpah Pemuda, kian memperkuat bahwa identitas Islam memiliki pengaruh dalam kemerdekaan.

Ketika identitas menyatukan justu jangan sampai menjadikan alat pembelahan.

Seharusnya identitas menjadi solusi, menjadi warna, menjadi arah ke depan yang lebih baik, dan menghadirkan masyarakat madani.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar