Pembunuhan Brigadir Josua, Catatan Hitam Polri

Kasus Sambo Berpotensi Menguap, Siapa Para Aktornya?

Sabtu, 17/09/2022 13:31 WIB
Susi ART Ferdy Sambo jadi saksi kunci pembunuhan brigadir J (Net)

Susi ART Ferdy Sambo jadi saksi kunci pembunuhan brigadir J (Net)

Jakarta, law-justice.co - Kasus Pembunuhan Brigadir J kini terus menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Kasus ini seharusnya sudah selesai dalam waktu 90 hari. Namun, hingga kini kasus itu belum juga sampai ke persidangan dengan alasan ada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang tidak lengkap. Sehingga memunculkan ada dugaan rekayasa agar para tersangka lolos dari hukuman berat.

Pengacara Keluarga Korban Johnson Panjaitan mengatakan bila kasus ini ada potensi bila para tersangka mengubah Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Johnson juga menyatakan tersangka utama Ferdy Sambo masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkup kepolisian.

Johnson menyebut Ferdy Sambo masih memiliki loyalis yang terbilang masih banyak di instansi kepolisian.

Selain itu, saat menjalani pemeriksaan beberapa waktu lalu konon pemeriksaan tersebut dilakukan dengan penjagaan sekelompok Brimob.

"Saya jujur udah gak heran ini pasti berpolemik dan anggota Brimob yang berjaga juga membawa senjata dan diarahkan ke bawah," kata Johnson kepada Law-Justice.

Johnson mengakui bila ia memang sudah berkali-kali datang ke Mabes Polri namun terasa perbedaan dari yang biasanya.

Menurutnya, ia selaku kuasa hukum juga menemukan banyak sekali polemik dalam mengusut kasus ini.

"Saya biasa datang ke mabes Polri tapi sekarang penjagaannya beda dari biasanya dengan penjagaan senjata lengkap itu membuat saya kaget," ucapnya.

Situasi tersebut tentu membuat Johnson penasaran terhadap apa yang terjadi di dalam instansi tersebut karena perbedaan yang sangat kentara.

Polisi di Mabes Polri ucap Johnson rupanya malah menunjukkan "ketakutan" mereka selama proses pemeriksaan kasus penembakan Brigadir J.

Iapun mengakui sampai menanyakan kepada petugas kepolisian terhadap situasi yang terjadi di instansi kepolisian.

Ternyata memang Johnson menyatakan pihak kepolisian sendiri ternyata memang sedang berada dalam kondisi yang bahaya.

Bahkan polisi tersebut blak blakan meminta kepada Johnson untuk berbicara tidak terlalu vokal dan yang terpenting kasus sambo ini sedang berjalan untuk ditindaklanjuti.

"Bisa dibayangkan, polisi di Mabes begitu, bagaimana kita yang sipil, yang datang dari luar," ucapnya.

Selain itu, Pengacara yang mempunyai latar belakang seorang Aktivis ini turut menyoroti langkah penyidik Mabes Polri yang melakukan tes uji kebohongan kepada lima tersangka.

Menurutnya, semua pihak sudah mengetahui kebohongan yang dilakukan oleh Ferdy Sambo dan Putri Candrawati.

Karena sudah masuk pro justicia, Johnson Panjaitan mengatakan seharusnya tidak diperlukan lagi tes kebohongan.

Dia lantas menyinggung, apakah hasil dari pengakuan yang diolah oleh mesin akan mengungkap kejujuran.

"Sudah pro justicia, tidak perlu pakai mesin. Katanya pakai mesin jujur gitu?” kata Johnson Panjaitan.

Seharusnya yang terpenting berkas kasus tersebut diberikan pada pengadilan supaya kasus ini tidak berlarut-larut.

Ia bahkan menyebut bila kasus ini seakan jalan ditempat dan otak pelaku kasus ini merupakan seorang mafia.

“Kalau jujur mah berkasnya cepat ke pengadilan. Tapi, ini pemainnya mengerikan dan bau busuk, mafia," ungkapnya.

Johnson Panjaitan juga menyatakan bila jaringan pembela istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi terhitung profesional dalam keterlibatan masing-masing.

Mereka yang diduga terlibat mulai dari psikolog, aktivis, kuasa hukum. Dikatakannya, jaringan ini bukan orang sembarangan dan ada di lembaga yang solid.

Dalam kasus dugaan pelecehan ini kata Johnson Panjaitan, tidak ada yang melapor, tapi sudah keluar SP3.

"Anda bisa bayangkan. Yang laporan pro justicia, yang dibuat, SP3 dan inikan tidak ada pelaporannya, tiba-tiba muncul skenario itu. Lewat rekonstruksi dan lewat Komnas HAM dan Komnas Perempuan," sebutnya.

Menurutnya, pembelaan bagi istri Ferdy Sambo ini sangat terorganisasi. Hal itu yang tidak terungkap teknik pengorganisasiannya.

Johnson menyayangkan kliennya yang sudah meninggal dunia, namun masih terus-menerus dituduh sebagai pelaku pelecehan seksual.

"Dari sisi hukum sudah jelas tuduhan tidak bakal masuk ke penuntutan," ungkapnya.

PC Ikut Kelola Dana Satgasus?
Satgasus Polri yang diketuai oleh Ferdy Sambo kini memang telah dibubarkan oleh Kapolri usai tragedi Duren Tiga.

Namun, yang kini menjadi pertanyaan Johnson dan publik adalah terkait dugaan peran Putri Candrawathi dalam Satgasus Polri.

Putri Candrawathi memang meminjam nama Bripka RR dan Brigadir J, untuk membuat rekening khusus.

“Putri Candrawathi ini telah menunjukkan bagaimana kelasnya dia kemudian memunculkan lagi isu pelecehan seksual," ungkap Johnson.

Secara praktek tentu publik juga sudah mengetahui bila Kadiv Propam adalah Ferdy Sambo.

Namun, menurutnya yang mengontrol segala macam terkait hal rumah tangga adalah Putri Candrawathi itu sendiri.

“Tapi yang mengontrol semua apa segala macamnya rumah tangga, uang, termasuk Ajudan dan lain sebagainya kan juga Putri Candrawathi," katanya.

Johnson menyatakan ini menjadi simpang siur saat ini dan ini tentu harus diungkap secara tuntas.

"Ini juga harus ditelusuri seperti apa kan pasti semua ada korelasinya," imbuhnya.

Law-Justice mencoba menghubungi pengacara Putri Candrawathi Arman Hanis terkait rekening bripka RR dan Brigadir J.

Hanis menuturkan bila memang benar ada rekening yang dibuat atas nama Bripka RR dan Brigadir J.

Menurutnya, rekening tersebut dibuat tentu berdasarkan dengan tugas masing-masing dari rekening tersebut.

"Ya memang ada dan itu dibuat untuk tugas masing-masing," kata Hanis kepada Law-Justice.

Hanis menuturkan bila pembuatan rekening tersebut dibuat untuk keperluan rumah tangga Ferdy Sambo.

Dijelaskan, Bripka RR menggunakan rekening khusus itu untuk keperluan rumah tangga di Magelang.

Sedangkan, rekening khusus Brigadir J itu dipakai pada keperluan di Jakarta.

“Jadi untuk rekening Bripka RR itu keperluan di Magelang sedangkan Brigadir J di Jakarta," tuturnya.

Namun, ketika ditanya lebih jauh mengenai hal tersebut Arman Hanis tidak memberikan jawaban kepada Law-Justice.

Bripka RR Balik Melawan Ferdy Sambo
Kita ketahui bersama bahwa, kini Bripka RR alias Ricky Rizal telah berbalik lawan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.

Hal itu, tak lepas dari peran penting keluarga dan istri Bripka RR alias Ricky Rizal.

Anggota Kuasa Hukum Bripka RR, Zena Dinda Defega mengklaim kliennya telah berkata jujur mengenai insiden yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Zena mengatakan Bripka Ricky telah mengubah keterangan awal dan tak lagi mengikuti skenario Ferdy Sambo.

Zena menyatakan bila Bripka Ricky putar haluan setelah bertemu sang istri di Rutan Bareskrim Polri.

Lebih lanjut Zena mengatakan istri Bripka Ricky menangis dan meminta suaminya berkata yang sebenarnya.

"Jadi pihak keluarganya menangis dan meminta dia jujur," kata Zena kepada Law-Justice.

Pengacara muda itu juga menyebut bila Istri Bripka RR juga mendesak supaya Bripka RR mengingat keluarga dan anaknya yang masih kecil.

"Ingat keluarga, masih ada keluarga, anaknya juga masih kecil. Istrinya meminta Brigadir RR untuk terus terang karena masih ada keluarga yang dia miliki," kata Zena.

Bripka Ricky Rizal telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua alias Brigadir J.

Lebih lanjut Zena mengungkap bila kliennya memiliki niat menurunkan Brigadir J sepulang dari rumah Ferdy Sambo di Magelang.

Zena mengatakan Bripka RR mengakui akan menyelamatkan Brigadir J jika mengetahui adanya rencana pembunuhan yang digagas Ferdy Sambo usai heboh klaim pelecehan seksual.

"Bahkan dia sempat berkata jikalau Bripka RR tahu bakal ada perencanaan seperti itu, apalagi kan di mobil (dari Magelang ke Jakarta) Bripka RR dan Brigadir J di mobil berdua," ungkapnya.

"Kalau dia (Bripka RR) sudah tahu sejak di Magelang (bakal ada peristiwa penembakan), dia bakal berhenti di rest area dan menurunkan Brigadir J agar tidak terjadi peristiwa tersebut," sambungnya.

Atas pengakuan dari Bripka RR, Zena menilai kliennya lebih pantas dijadikan saksi alih-alih tersangka bersama empat orang lainnya, yakni Ferdy Sambo, Bharada E, Ma`ruf Kuat, dan Putri Candrawathi.

Terlebih, Bripka RR juga sempat menolak tawaran Ferdy Sambo dalam peristiwa penembakan Brigadir J.

Namun sayang, Bripka RR ikut dijadikan tersangka karena dianggap bersekongkol untuk menghabisi nyawa Brigadir J.

Oleh karena kasus yang menjeratnya ini, Bripka RR mengaku putus asa karena kariernya sebagai anggota kepolisian tidak bisa dipertahankan.

"Ada rasa putus asa tidak bisa berkarir lagi di Kepolisian Republik Indonesia. Beliau hanya pasrah, berharap perkara beliau berjalan dengan baik," ucap Zena.

Kejaksaan Akan Maksimalkan Penuntutan
Muncul dugaan pencabutan seluruh BAP (Berita Acara Pemeriksaan) oleh Ferdy Sambo Cs di Pengadilan.

Hal ini dikhawatirkan membuat kasus tewasnya Brigadir Yosua menjadi mentah kembali. Kejagung (Kejaksaan Agung) RI lantas buka suara tentang hal ini.

Kapuspenkum (Ketua Pusat Penerangan Hukum) Kejagung RI Ketut Sumadana mengatakan, tidak bia menjawab adanya kemungkinan Sambo Cs mencabut atau menolak BAP di persidangan.

“Apa yang disampaikan oleh terdakwa di persidangan, kalau statusnya terdakwa ya, itu bebas mereka membuat suatu pernyataan, sikap, apapun, itu bebas ya. Karena berlaku hanya bagi dirinya sendiri. Itu menurut aturan KUHAP,” kata Ketut, sapaannya, pada tim Law-Justice.co, Rabu (14/09/2022) di kantornya.

Menurutnya, terdakwa bebas menyampaikan apapun dan memiliki hak untuk mengingkari, yaitu mencabut atau menambahkan keterangan.

“Jadi, nggak ada masalah dengan kita karena yang membuktikan itu bukan hanya keterangan terdakwa. Tapi, saksi-saksi, alat bukti lain, petunjuk, sebagainya itu sudah menjadi alat bukti kita kalau perkara ini sampai ke persidangan,” ujarnya.

Sementara itu, Ketut belum bisa memastikan kapan berkas-berkas Sambo Cs dilimpahkan ke pengadilan.

“Kita masih nunggu dari penyidik,” kata Ketut.

Setelah berkas dilimpahkan ke Kejagung, berkas itu akan mereka teliti apakah telah memenuhi syarat formil dan materiil. Jika layak, Kejagung akan menyusun surat dakwaan dan melimpahkannya ke pengadilan.

Ketut Sumedana juga bilang pihaknya akan meneliti berkas perkara yang sudah masuk dan melakukan koordinasi dengan kepolisian agar bisa masuk ke pengadilan. Namun untuk jalannya perkara di pengadilan semuanya di serahkan kepada majelis hakim untuk memutuskan perkara ini.

" Sekarang dalam proses penelitian berkas perkara, karena baru kita terima dua satu hari kemarin. Kita nggak boleh berandai-andai, yang jelas seluruh berkas perkara yang kita terima sampai saat ini dalam proses penelitiandan pnyidik-penuntut umum telah melakukan koordinasi secara etik dan intership. Mudah-mudahan nggak ada pengembalian berkas lagi. Terus kalau nanti misalnya diterima, itu adalah kewenangan Penuntut Umum," ungkapnya.

Dia juga meminta publik agar mengikuti persidangan dan tidak banyak polemik soal adanya pencabutan berkas perkara dari tersangka akan mempengaruhi hukuman.

"Nggak mungkin lah. Nggak ada itu. Jangan bicara mungkin-mungkin. Kita bicara kepastian di sini, yang pasti-pasti saya sampaikan," ujarnya.

Polri Buka Suara
Wakil Ketua Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Rahmat Pamudji mengatakan bila pihak kepolisian terus menggelar sidang untuk para polisi terkait kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat (Josua) yang diotaki eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo.

Rahmat menyebut bila Sejauh ini sembilan polisi sudah menjalani sidang etik dan dijatuhi sanksi.

Mereka dianggap melakukan pelanggaran etik profesi hingga perintangan penyidikan (obstruction of justice). Untuk diketahui, ada tujuh orang yang ditetapkan sebagai tersangka obstruction of justice.

Ada sembilan polisi yang sudah menjalani sidang dan sudah diberi sanksi. Sanksi yang dijatuhkan majelis mulai penempatan di tempat khusus (patsus) hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PDTH).

"Di antara mereka ada yang menyatakan menerima atas sanksi yang dijatuhkan dan ada juga yang menyatakan banding," kata Rahmat saat dikonfirmasi.

Sembilan orang itu terdiri atas empat orang tersangka kasus obstruction of justice dan lima orang diduga melanggar kode etik.

Kesembilan polisi yang sudah menjalani sidang etik ialah:
1. Eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo;
2. Eks PS Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri, Kompol Chuck Putranto;
3. Eks PS Kasubbagriksa Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri, Kompol Baiquni Wibowo;
4. Eks Kaden A Biropaminal Divisi Propam Polri, Kombes Agus Nurpatria;
5. Paurlog Bagrenmin Divisi Propam Polri Divisi Propam Polri, AKP Dyah Candrawati;
6. Eks Kasubdit Renakta Polda Metro Jaya, AKBP Pujiyarto;
7. Eks Wadirkrimum Polda Metro Jaya, AKBP Jerry Raymond Siagian;
8. Ajudan Sambo, Bharada Sadam; dan
9. Eks BA Roprovos Divpropam, Brigadir Frillyan Fitri Rosadi.

Berikut rincian sanksi kepada 9 polisi di halaman selanjutnya.

Sanksi Patsus
1. Eks Kasubdit Renakta Polda Metro Jaya AKBP Pujiyarto dikenai sanksi dengan ditempatkan di patsus selama 28 hari. Dia dinilai terbukti melanggar etika lantaran tidak profesional dalam menangani laporan terkait pelecehan kepada istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.

Sanksi Demosi
1. AKP Dyah Candrawati juga telah disidang etik pekan lalu. AKP Dyah selaku Paurlog Bagrenmin Divisi Propam Polri. AKP Dyah dijatuhi sanksi demosi atau penurunan jabatan selama 1 tahun.

2. Eks sopir Irjen Ferdy Sambo, Bharada Sadam, telah selesai menjalani sidang etik dan sanksi demosi 1 tahun. Bharada Sadam melakukan intimidasi terhadap dua wartawan dengan melakukan penghapusan foto serta video di handphone milik kedua wartawan itu saat meliput di rumah Irjen Ferdy Sambo.

3. Mantan BA Roprovos Divpropam Brigadir Frillyan Fitri Rosadi dikenai sanksi demosi selama dua tahun. Brigadir Frillyan disebut terbukti melakukan perbuatan tercela. Ia juga diwajibkan untuk meminta maaf secara lisan dihadapan sidang komisi kode etik dan secara tertulis ke pimpinan Polri.

Sanksi PDTH

1. Irjen Ferdy Sambo disanksi PDTH terkait kasus pembunuhan Brigadir J. Sambo juga ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana dan perintangan penyidikan kematian Brigadir J. Sambo mengajukan banding atas sanksi PDTH.

2. Kompol Chuck Putranto dalam kasus ini sebagai tersangka kasus dugaan merintangi penyidikan kasus Brigadir J. Kompol Chuck telah disidang pada Kamis (1/9). Hasilnya, Chuck dijatuhi sanksi PTDH. Dia mengajukan banding.

3. Kompol Baiquni Wibowo telah juga telah melaksanakan sidang etik pada Jumat (2/9). Kompol Baiquni diberhentikan tidak dengan hormat dari Polri karena dinilai telah melakukan perbuatan tercela. Baiquni juga mengajukan banding.

4. Mantan Kaden A Biropaminal Divisi Propam Polri Kombes Agus Nurpatria selaku juga diberhentikan dari Polri karena ditetapkan sebagai tersangka obstruction of justice kasus pembunuhan Brigadir J. Kombes Agus disebut membuat permufakatan dalam melakukan penghalangan penyidikan ini.

5. Eks Wadirkrimum Polda Metro Jaya AKBP Jerry Raymond Siagian juga telah menjalani sidang kode etik karena dinilai tidak profesional dalam penanganan kasus terkait Brigadir J. AKBP Jerry dihukum PTDH dari Polri. Dia juga mengajukan banding.

IPW Sebut Ada Dugaan Rekayasa Kasus FS
Kasus Brigadir J (Yosua) dan FS (Ferdy Sambo) belum selesai juga. IPW (Indonesia Police Watch) terus memantau perkembangan kasus ini.

“Kasus sudah berjalan on the track, meskipun ada catatan kenapa PC (Putri Candrawati) nggak ditahan,” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso, ketika dihubungi law-justice.co hari ini 15 September 2022.

Menurutnya, tim penyidik harus segera memenuhi permintaan jaksa untuk melengkapi alat bukti. Hal ini supaya penyidikan bisa cepat selesai.

Selain itu, ia meminta anggota polisi yang melanggar kode etik dalam kasus ini harus segera diproses.

“Dari 35 itu kan sembilan sudah ditetapkan jadi tersangka. IPW berharap hal ini segera diproses,” ujar Sugeng, sapaannnya.

Dugaan rekayasa kasus Brigadir J dan FS muncul karena kasus tidak kunjung usai. Ketua IPW lantas buka suara terkait hal ini.

“Kalau rekayasa kasus tidak ada, memang penyidikan itu ada prosesnya supaya tidak sembarangan dan dapat dipertanggungjawabkan. 13 Juli dibentuk timsus menurut saya masih wajar,” ujar Sugeng.

Menurut dia, batasnya adalah 120 hari setelah tersangka ditahan. Sedangkan per hari ini belum genap 60 hari. Namun, ia berharap supaya kasus segera selesai sebelum 90 hari agar tidak diperpanjang lagi.

Mandeknya Perkembangan Kasus Judi Online
Pada proses penyelidikan kasus Brigadir J dan FS, ditemukan dugaan ‘Konsorsium 303’ yang melindungi berbagai bisnis ilegal, termasuk judi online. Skema Konsorsium 303 sempat menghebohkan dunia maya beberapa waktu lalu.

Banyak pihak menuntut supaya hal tersebut diusut tuntas. Kapolri (Kepala Kepolisian RI) Jenderal Listyo Sigit Purnomo sudah berjanji.

“Saya sudah minta usut sampai ke atas, begitu didapatkan nama, red notice atau cekal. Kemudian, dari situ kita ungkap apakah ada anggota yang terlibat atau tidak,” ujarnya dalam program Satu Meja Kompas TV, Rabu (7/9/2022) lalu.

Meski Kapolri sudah berjanji mengusut tuntas kasus ini, IPW berpendapat hal itu tidak cukup. Selain berjanji mengusut, Kapolri harusnya menyampaikan perkembangan kasusnya.

“Sampai sekarang bandar judinya belum tertangkap. Nah, ini kan kita pertanyakan. Apakah ada perlindungan?” ujar Sugeng.

Isu Kekerasan Seksual PC adalah Alibi?
Sementara itu, muncul dugaan kekerasan seksual PC oleh Brigadir J. Menurut Ketua IPW, pelecehal istri Ferdy Sambo itu tidak masuk akal.

“Cerita PC mengalami kekerasan seksual adalah alibi pembelaan FS dan PC, supaya mereka bebas dari hukuman mati,” komentar Sugeng.

Hal ini dibenarkan oleh Mantan Hakim Agung 2011-2018 Gayus Lumbuun. Menurutnya, dugaan kekerasan seksual yang dialami PC bisa meringankan hukuman yang akan diterima oleh FS.

Ini karena penilaian hakim mungkin berbeda. Hakim mungkin menilai FS melakukan pembunuhan secara spontan, bukan direncanakan.

Citra Kepolisian Belum Ada Perbaikan

Tragedi pembunuhan yang direncanakan Ferdy Sambo kepada Brigadir J membuat citra kepolisian mengalami penurunan.

Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto menyatakan saat ini tentu Kapolri Listyo Sigit Prabowo perlu untuk terus berbenah dan menjadi momentum untuk melakukan bersih-bersih.

Ia menyatakan bila pihak kepolisian memang pada dasarnya sudah bekerja untuk mengusut kasus Brigadir J namun tentu perlu segera dituntaskan.

"Ia menurut saya Kapolri perlu untuk segera menyelesaikan kasus ini," kata Bambang saat dihubungi Law-Justice.

Bambang juga menyatakan bila ditengah kondisi masyarakat kini ada pesimisme terhadap kinerja kepolisian.

Ditambah dengan adanya kasus Ferdy Sambo ini semakin membenarkan bila pesimisme masyarakat semakin nyata dan kepolisian itu diasumsikan seperti sebelum sebelumnya karena pesimis memang itu ulah oknum.

"Ini momentum untuk kepolisian untuk bisa bangkit dan memang ada peningkatan kepercayaan setelah penetapan tersangka tapi itu saja tidak cukup," paparnya.

Bambang menyatakan masih banyak kasus lain yang menjadi Pekerjaan Rumah dan kepolisian harus bekerja lebih keras.

Bambang menegaskan untuk saat ini kinerja kepolisian masih belum stabil kemudian masih cenderung naik turun.

"Bila tidak segera diselesaikan akan membuat masyarakat jadi tidak percaya," tegasnya.

Ia juga menyebut harapan masyarakat kepada komitmen kapolri untuk tuntaskan kasus ini sangat besar.

Namun, kinerja kapolri saat ini masih maju mundur dan Kapolri beserta jajaran harus memperbaiki citra kepolisian.

"Misal salah satu yang menjadi polemik adalah penetapan PC sebagai tersangka tapi tidak ditahan dan kebijakan polri ini terkesan tidak konsisten," imbuhnya.

Bambang menyatakan kritik publik kepada kapolri ini menjadi bentuk dukungan kepada kinerja Kapolri dari Presiden, TNI hingga Komisi III DPR.

Tentu itu untuk menjaga stabilitas keamanan negara dan sekarang tergantung Polrinya untuk bisa memberi bukti konkrit.

"Terutama Kapolri idealnya harus memberikan Legacy yang terbaik untuk korps bhayangkara," tutupnya.

Dugaan Rekayasa untuk Lepas Hukuman
Mantan Kepala Kabais Soleman Ponto mengatakan bahwa kasus pembunuhan Brigadir J ini akan memasuki babak baru setelah berkas masuk ke Kejaksaan dan Pengadilan.

Soleman juga bilang penanganan kasus Brigadir J di Mabes Polri menurutnya tidak maksimal dan ada dugaan rekayasa dengan tujuan mengurangi keterlibatan jaringan Sambo agar tidak mendapatkan hukuman berat.

Hal itulah yang membuat berkas para tersangka mondar-mandir dari Polri ke Kejaksaan.

"Memang inilah salah satu akibat kalau penyidikan dan penuntutan terpisah. Kan gitu, sehingga yang nuntut juga tidak mau yang didakwa itu lepas, sehingga dia membutuhkan kejelasan. Nah, ini yang belum sinkron ini dia berdua ini. Khusus Sambo ya. Jadi, memang karena belum sinkron biasa itu memang penyakitnya jaksa dan polisi ya gitu tuh. Lama siknronya," ungkapnya.

"Nggak nggak, nggak juga. Karena saya tahu betul. Ini kan nggak terjadi hanya di kasus Sambo, dalam beberapa kasus yang lain juga, kasus penangkapan akrtel misalnya ya. Itu juga begitu, antara polisi dan jaksa bolak-balik bolak-balik. Tapi, walaupun bolak- balik kan bukan berarti tidak akan masuk pengadilan? Tetap akan masuk," tambahnya.

Hal itu terlihat dari tidak detilnya polisi dalam melakukan pemeriksaan dan pemberkasan sehingga terkesan terburu-buru dan tidak lengkap.

"Hanya memang waktunya. Memang kalau lihat polisinya cepet-cepetan. Kalau saya melihat polisinya cepet-cepetan, sehingga kesannya jadi-jadian. Iya. Nah, sedangkan Jaksa yang nanti menuntut kalau yang disampaikan itu tidak detail, itu dibela oleh pembelanya bisa lepas itu. Ya memang. Itu gara-gara dari awal sudah ada rekayasa, ya beginilah jadinya. Mana yang bener? Nggak tahu kan," ujar Soleman Ponto kepada Law-Justice.co.

"Jadi, kalau dia memang nanti semua lepas ini di sana, tergantung hakim nanti. Memang bisa saja itu yang terjadi, yang disampaikan Pak Mahfud, karena dari awal mereka itu sudah tidak jujur, sudah ada rekayasa. Kan saya beberapa kali bicara kalau di Intelijen kita, kalau sudah direkayasa ya susah. Apapun mereka bilang ini bener, mau percaya susah, wong itu dari awal rekayasa," tambahnya.

Dia juga bilang soal adanya perdebatan apakah Ferdy Sambo ikut menembak atau tidak menurut sebagai bagian dari mengalihkan agar Ferdy Sambo bisa lolos dari jeratan hukuman berat.

" Soal Sambo atau Brigadir E. Itu kan sempat ada perdebatan juga. Ya memang, pelurunya itu Sambo atau E ya tergantung. Makanya sekarang tergantung hakim, mau percaya mana. Misalkan kasus Mirna, nggak ada yang melihat Jessica itu masukkan eh apa. Ya kan gitu. Sama dengan ini, ada yang menembak. Kalau tidak menembak, ya paling tidak Sambo itu merancang kan? Karena menembak dengan merancang, lebih berat merancang hukumannya daripada menembaknya. Merekayasa, iya itu kan lebih berat hukumannya itu. Pembunuhan berencana, dia merencanakan, itu kan lebih berat.

" Ya kalau Kejaksaan itu sudah pasti, sudah biasa dia lempar-lemparan. Polrinya ini yang betul-betul, sudahlah nggak usah merekayasa lagi. Betul-betul laksanakanlah sesuai fakta yang ditemukan, yang dilihat, yang didengar. Jangan direkayasa lagi karena Polri pun tidak merekayasa. Jangan karena untuk membela yang nggak bener, seluruh institusi Polri bisa menerima akibatnya menjadi jelek. Sudahlah yang udah jelek udah, buang aja! Gitu kan. Jadi, laksanakanlah dengan sebaik-baiknya, sehingga itu tidak menyulitkan kejaksaan. Gitu ya," pungkasnya.

Aturan Kapolri Jadi Celah Lolosnya Pelaku?

Dalam sebuah acara diskusi terbuka, bekas Panglima TNI Gatot Nurmantyo menjelaskan Satgassus Merah Putih sudah sangat luar biasa, dia sudah menyiapkan rambu-rambu untuk bisa aman yaitu UU Kepolisian No. 7 tahun 2020, yang dibentuk sekitar satu tahun setelah Satgassus Merah Putih.

“Tapi intinya saya melihat adalah ada pertempuran, karena adanya Polisi yang ditembak, di intern Polisi, antara Polisi yang bajingan, penghianat, pembunuhan, mengkoordinir judi, tidak manusiawi, nggak masuk akal, anak buahnya sendiri dibunuh dengan penuh kesadaran, ujar Gatot Nurmantyo, dalam diskusi yang bertema “BBM Naik, Rakyat Tercekik” pada Rabu siang, 14/9/2022, di Sekretariat KAMI, Jakarta Pusat.

Walaupun menurut Gatot ada dua teori orang seperti itu, semua orang adalah penakut, yang berani adalah orang gila atau orang OD (over dosis) atau sakau, dan ini juga delik hukum.

“Jadi sedang terjadi pertempuran dalam institusi Polisi, yaitu kelompok polisi yang tadi saya sebutkan dengan Polisi yang profesional, bermoral, yang akan menegakkan jati dirinya sebagai pelindung rakyat, menegakkan ketertiban, dan penegak keadilan,” terang mantan Panglima TNI.

Dua kelompok tersebut menurut Gatot, bahwa saat ini sedang bertempur, taruhannya sangat berbahaya, dalam teori, yang kalah maka akan ikut yang menang, Jika yang menang adalah kelompok yang jahat, maka semua akan mengikuti yang jahat.

Oleh karena itu GN menghimbau kepada masyarakat agar memberi kesempatan kepada Kapolri, untuk membersihkan Polisi-polisi yang jahat itu. Kita jangan ganggu, kalau tak bisa membantu, minimal kita doakan, agar polisi yang baik menang.

GN pun menyoroti Peraturan Kapolri (Perkap) tentang Keputusan Kode Etik Polisi (KKEP) No.7 tahun 2022 soal aturan banding. Bahwa pelaku yang dijatuhi sanksi KKEP dapat ajukan banding, 3 hari setelah sidang KKEP dan selambatnya 21 hari kerja.

Dalam Perkap tersebut dijelaskan bahwa apabila pemohon dalam sidang banding tetap dinyatakan melanggar KKEP, pemohon dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Kapolri berwenang melakukan Peninjauan Kembali atas KKEP yang telah diputuskan. Proses ini dapat dilakukan selambatnya 3 tahun setelah KKEP ditetapkan.

“Saya sudah menghimbau kepada Presiden dan Menkopolhukam untuk meninjau ulang aturan Perkap tersebut,” jelas Gatot Nurmantyo.

Secara etika GN sebut bahwa aturan hukum tersebut kurang ajar, karena Perwira Tinggi yang aturannya diberhentikan oleh Presiden, namun dalam Perkap, Kapolri bisa meninjau ulang (meralat) keputusan Presiden. Seolah-olah keputusan Presiden tidak dianggap.

Maka saya himbau kita sama-sama saksikan proses ini, dan kita lihat saja nanti siapa yang menang?, tambah Gatot.

“Kita harus bersatu support polisi yang baik, agar polisi yang buruk tidak menang,” pungkasnya

 

Kontribusi Laporan Tim Investigasi

 

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar