Salamuddin Daeng, Ekonom Alternatif

Soal Cara Berhutang Pemerintah Bisa Belajar Pada Dirut PLN

Senin, 25/07/2022 11:27 WIB
Salamuddin Daeng (tribunnews)

Salamuddin Daeng (tribunnews)

Jakarta, law-justice.co - Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan perusahaan BUMN yang paling aktif dalam berhutang. Utang yang besar PLN tersebut digunakan untuk membiayai belanja PLN.

Usaha PLN dalam membangun pembangkit, transmisi dan lain sebagainya telah dibiayai dengan dana utang. PLN telah mampu mencapainya dan membuktikan diri jago cari dana.

Sementara bisnis listrik PLN sendiri mencatat saldo kas PLN sebesar Rp55 triliun pada akhir tahun 2020 cukup untuk memenuhi utang yang jatuh tempo pada tahun 2021 sekitar Rp39 triliun.

Masih ada sisa 11 triliun. Tapi tak cukup buat bayar bunga. Tapi masih lebih baik dari utang Srimul defisit 4,2 persen GDP.

Utang jatuh tempo PLN tersebar ke seluruh penjuru mata angin sampai utang Sukuk, dengan jatuh tempo tahunan di bawah Rp50 triliun.

Sementara PLN akan menghasilkan sekitar Rp60 triliun-65 triliun arus kas tahunan dari operasi mulai tahun 2022, masih belum cukup untuk biaya bunga. Kecuali memainkan kegiatan spekulasi mata uang dolar yang lebih besar.

Oleh karena itu PLN bergantung pada pendanaan eksternal untuk rencana belanja modal tahunannya yang besar. Dengan belanja modal 78 triliun PLN bisa membuat oligarki kaya raya.

Belanja BUMN sebesar PLN ini adalah modal penting bagi legitimasi Jokowi dihadapan bankir nasional dan internasional.

Memang PLN katanya dapat memperoleh pendanaan yang memadai karena hubungannya yang erat dengan penguasa.

Bisa carikan uang haji, uang jamsostek, uang asabri bisa carikan yang bank yang banyak. Masalah bayar tergantung situasi ke depan.

Jika diamati, dalam hal cara cari uang dengan melakukan berbagai kegiatan keuangan, spekulasi mata yang asing, BI dan Srimulyani perlu belajar bagaimana mendapatkan keuntungan dari megang dolar Amerika atau megang mata uang asing

Kemampuan PLN mencari uang teruma dari sumber utang sepenuhnya digunakan untuk membiayai capex atau proyek proyek PLN sebagaimana yang diminta oleh pemerintah.

Proyek proyek tersebut masih terfokus pada pembangunan pembangkit batubara dan fosil lainnya serta pembangunan transmisi.

Belanja PLN senilai Rp. 75 triliun per tahun dari tahun 2022 untuk mendukung rencana penambahan kapasitas pembangkit nasional dan transisi energi terbarukan. Semua akan didanai oleh utang.

Usaha mencari pendanaan ini kemungkinan akan menjaga leverage bersih PLN tetap tinggi selama beberapa tahun ke depan.

Namun PLN tetap akan berencana meningkatkan kapasitas pembangkitan dan memperkuat infrastruktur transmisi dan distribusi, selain itu diharapkan produsen listrik independen cenderung memiliki bagian yang lebih tinggi dalam kapasitas pembangkit tambahan.

Walau ini tetap tidak bisa terjadi dan tetap mengandalkan dana PLN. Karena proyek proyek ini merupakan sumber utama untuk memastikan ada mega proyek besar sampai dengan 2024 nanti.

Patut diacungi jempol adalah kemampuan PLN untuk memobilisaai dana, di tengah resiko keuangan yang sangat dinamis belakangan ini.

Bahkan PLN telah memberi contoh bahwa perusahaan ini sanggup mendapatkan untung besar dari volatilitas mata uang dolar sepanjang tahun 2021, sehingga keuntungan kurs perusahaan ini meningkat fantastis.

Pemeirntah terutama SMI perlu belajar, inilah cara menciptakan mega proyek yang besar.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar