Pengawasan Lemah BUMN Infrakstruktur

Dana Pembangunan Infrastruktur Jadi Bancakan, Siapa Bermain?

Sabtu, 09/07/2022 13:44 WIB
Mantan Kepala Divisi I PT Waskita Karya periode 2008-2012 Adi Wibowo (tengah) berjalan keluar usai menjalani pemeriksaan (Antara/Aprilio Akbar)

Mantan Kepala Divisi I PT Waskita Karya periode 2008-2012 Adi Wibowo (tengah) berjalan keluar usai menjalani pemeriksaan (Antara/Aprilio Akbar)

Jakarta, law-justice.co - LSM pemantau korupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan fakta, bahwa pada 2020 lalu pemenang proyek infrastruktur terbesar di Indonesia, didominasi oleh perusahaan plat merah, atau BUMN.

Di mana saat itu, pemerintah Indonesia membuka sekitar 36,8 ribu tender atau lelang proyek infrastruktur dengan nilai total Rp180,07 triliun. Kemudian daftar tender dengan nilai kontrak tertinggi mayoritasnya dimenangkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Hal ini diungkapkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan bertajuk Indonesia dan Tender Infrastruktur 2020 yang dirilis 1 Juni 2022.

DAlam laporan itu disebutkan, ada 10 vendor atau pemenang tender proyek infrastruktur dengan nilai kontrak tertinggi pada 2020 lalu, yakni:

1. Sino Road and Bridge Group Co. Ltd: Rp4,58 triliun
2. PT Brantas Abipraya (Persero): Rp3,12 triliun
3. PT Pembangunan Perumahan Tbk (Persero): Rp2,72 triliun
4. PT Waskita Karya Tbk (Persero): Rp2,66 triliun
5. PT Adhi Karya Tbk (Persero): Rp2,41 triliun
6. PT Adhi Karya Tbk (Persero): Rp2,35 triliun
7. PT Nindya Karya Tbk (Persero): Rp2,07 triliun
8. PT Wijaya Karya Tbk (Persero): Rp1,66 triliun
9. PT Len Industri (Persero): Rp1,62 triliun
10. PT PP Tbk (Persero): Rp1,5 triliun

Dari daftar di atas, hanya ada satu pemenang tender dari pihak swasta, yakni Sino Road and Bridge Group Co. Ltd. Sedangkan sisanya berstatus sebagai BUMN.

"Di pasar infrastruktur, mayoritas penyedia adalah BUMN. Dari kesiapan administrasi selama masa prakualifikasi, jumlah aset yang dimiliki dijadikan jaminan, alat dan perlengkapan menjadi salah satu alasan mengapa BUMN menjadi pemenang untuk sebagian besar proyek konstruksi publik," jelas ICW dalam laporan tersebut.

Peneliti ICW, Kes Tuturoong mengatakan, ada banyak faktor yang membuat pada akhirnya perusahaan BUMN yang mendapatkan proyek infrastruktur itu. Salah satunya, ia memperkirakan, akses BUMN untuk masuk dalam proyek tender lebih mudah dibanding pihak swasta.

Hal ini terlihat dari adanya sejumlah keluhan dari pihak swasta ketika mengikuti proses tender, seperti pungutan liar, masalah perizinan dan lain sebagainya.

"Tapi bukan berarti tidak ada perusahaan swasta yang bermain dalam tender tetap ada tapi proporsinya kemudian banyak yang lebih masuk ke BUMN," ujar Kes kepada law-justice.co.

Kes menambahkan, ini seperti "jeruk makan jeruk". Namun ia belum sampai pada kesimpulan apakah munculnya lebih banyak BUMN dalam proyek infrastruktur tersebut adalah murni dari hasil proses tender atau ada kongkalikong di balik itu semua.

Namun untuk menjawab hal tersebut, Kes mengajak masyarakat untuk melihat rekam jejak sejumlah nama besar BUMN yang menjadi pemenang tender infrastruktur pada 2020 lalu.

Menurut dia, masing-masing BUMN tersebut memiliki rekam jejak di dunia korupsi, baik itu sebagai tersangka, atau minimal namanya pernah disebut di pengadilan sebagai saksi.

Diantaranya adalah Waskita Karya yang tersandung kasus puluhan proyek fiktif hingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp202.29 miliar. Kini kasusnya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lima mantan petingginya telah divonis 4-7 tahun penjara.

Adapun para pejabat Waskita Karya itu adalah mantan Kepala Divisi Sipil/Divisi III/ Divisi II Waskita Karya periode 2008-2011 Desi Arryani, mantan Kepala Proyek Pembangunan Kanal Timur-Paket 22 PT Waskita Karya Fathor Rachman.

Kemudian mantan Kepala Bagian Pengendalian II Divisi II PT Waskita Karya Jarot Subana, mantan Kepala Proyek Normalisasi Kali Bekasi Hilir Fakih Usman. Terakhir adalah mantan Kepala Bagian Keuangan Divisi Sipil III PT Waskita Karya Yuly Ariandi Siregar.

Selain itu ada juga nama PT Adhi Karya, dimana anak perusahaannya, yakni PT Adhi Persada Realti, tersandung perkara dugaan korupsi pembelian tanah pada kurun waktu 2012-2013. Kini kasusnya tengah ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Penyebab BUMN Terperosok ke Dalam Korupsi
Mendominasinya BUMN dalam tender infrastruktur terbesar di Indonesia, bukanlah sebuah hal buruk, menurut Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja BUMN, Ahmad Yunus.

Menurut dia hal itu malah bagus, karena BUMN menjalankan fungsinya dalam bekerja untuk membangun bangsa.

Lantas bagaimana dengan sejumlah BUMN yang terseret kasus korupsi dan berakhir di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung?

Menurut Ahmad Yunus, tak selamanya kebobrokan BUMN disebabkan oleh orang BUMN itu sendiri. Dengan tegas, ia malah mengatakan, kebobrokan BUMN terjadi karena adanya pengaruh swasta yang masuk ke dalam tubuh perusahaan plat merah tersebut.

Pengaruh swasta yang ia maksud adalah masuknya orang-orang dari luar BUMN yang kemudian langsung duduk di posisi strategis, seperti direksi atau komisaris.

Menurut Ahmad Yunus, dua posisi tersebut rentan diisi oleh orang-orang yang memiliki latar belakang politik yang sudah barang tentu akan bekerja sesuai dengan kepentingan politiknya.

Ia menambahkan, direksi yang berasal dari model seperti ini biasanya memiliki jaringan perusahaan swasta di luar, baik itu milik sendiri atau milik rekanannya.

Dan ketika BUMN tersebut mendapatkan proyek, maka direksi tersebut dapat membawa perusahaan swasta itu untuk menggarap proyek itu.

"Direksi BUMN karya hampir semuanya dari swasta dan ketika itu dari swasta khawatir akan membentuk gurita bisnis dari tempat dia sebelumnya, tapi sekarang kembali lagi bahwa jabatan direksi itu adalah jabatan politis," ujar Ahmad Yunus ketika dihubungi law-justice.co.

Dari sinilah awal mula penggerogotan BUMN terjadi. Menurut Ahmad Yunus, masuknya unsur swasta dalam BUMN telah memberikan dampak negatif. Salah satunya adaah merusak sejumlah tatanan dalam BUMN, diantaranya adalah good corporate governance (GCG).


Laporan Keuangan dan Utang 10 BUMN (Dok.KEMENKEU)

Inilah kemudian yang membuka peluang terjadinya korupsi di tubuh BUMN, dimana orientasi pengelolaan sebuah BUMN bisa berubah dari membangun bangsa menjadi ajang cari untung dengan beragam cara.

Terlebih dengan adanya latar belakang politik dari pada direksi dan komisaris, yang semakin membuat tata kelola BUMN semakin carut marut.

Dan ketika sudah tersandung kasus korupsi dan terciduk oleh KPK atau Kejaksaan Agung, maka publik akan menilai buruk BUMM tersebut, dengan berbagai stigma, seperti diantaranya BUMN sebagai sarang korupsi.

"Ketika mereka masuk dan menjadi kasus di KPK seolah-olah itu (ulah) BUMN-nya, padahal itu (ulah) oknum-oknum yang lahir dan besar dari swasta, yang memang cara kerjanya biasa seperti itu," ungkap Ahmad Yunus.

Menurut dia, seorang pegawai BUMN yang memang suda meniti karir sejak dari bawah dan selama puluhan tahun, tidak akan mungkin melakukan penyelewengan, apalagi dalam bentuk korupsi.

Hal ini disebabkan, dalam diri seorang pegawai karir BUMN, telah tertanam nilai-nilai kerja yang berbasiskan good corporate governance, yang suda melekat pada dirinya masing-masing.

Ahmad Yunus melihat hal tersebut tidak terlihat pada pegawai non-karir, terlebih yang tiba-tiba masuk ke dalam sebuah BUMN lalu langsung menduduki posisi strategis, seperti direksi atau komisaris.

"Swastanisasi itu tidak hanya terjadi saham atau penjualan saham tapi bagaimana orang swasta masuk ke BUMN, saya pikir itu menjadi bagian dari men-swasta-kan BUMN secara dengan cara mengacak acak corporate value BUMN," sambungnya.

Itulah mengapa Ahmad Yunus justru khawatir jika proyek-proyek negara, terlebih yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, tidak dipegang oleh BUMN.

Potansi munculnya lebih banyak penyimpangan dalam tataran teknis akan semakin besar, termasuk potensi terjadinya tindak pidana korupsi.

Karena itu, ia meminta secara khusus kepada pemerintah, utamanya Kementerian BUMN untuk membenahi masalah ini, dengan cara melakukan assesment yang transparan untuk posisi level atas, seperti direksi dan komisaris.

Transparansi ini penting, agar pemerintah tak asal comot orang dari luar BUMN dan diberikan jabatan strategis disana, hanya karena adanya latar belakang kesamaan politik atau politik balas jasa.

Hal ini tentunya juga membuka peluang setiap pegawai di BUMN untuk bisa meraih posisi puncak di perusahaan tersebut, lewat mekanisme yang fair dan persaingan yang sehat.

"Salah memilih direksi jangan harap ada perubahan, jadi itu harus clear dulu masalah transparansi, kalau sudah memang tidak perform ya sudah selesai," tegas Ahmad Yunus.

Kami telah berupaya menghubungi sejumlah pejabat di Kementerian BUMN untuk diwawancara, mulai dari setingkat wakil menteri hingga deputi. Namun hingga laporan ini ditulis, tak satupun dari mereka yang membalas pesan WhatsApp dan menjawab pangggilan telepon kami.

Saham BUMN Infrakstruktur Sering Terkoreksi
Dalam beberapa pekan terakhir ini seluruh saham emiten BUMN konstruksi anjlok sepanjang hari ini, meskipun secara fundamental bisnis konstruksi cenderung lebih baik tahun 2022, dibandingkan realisasi tahun 2021.

Padahal pertumbuhan bisnis konstruksi didukung atas ekspektasi ekonomi lebih baik, seiring terkendalinya kasus Covid-19 di Indonesia.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham PT Waskita Karya Tbk (WSKT) turun Rp 40 (6,35%) menjadi Rp 590, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) turun Rp 60 (6,74%) menjadi Rp 830, PT PP (Persero) Tbk (PTPP) melemah Rp 70 (7%) menjadi Rp 930, dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) anjlok Rp 75 (6,64%) menjadi Rp 1.055.

Penurunan dalam tersebut juga merembet kepada sejumlah anak usaha BUMN konstruksi, seperti PT PP Presisi Tbk (PPRE) turun Rp 6 (3,75%) menjadi Rp 154 dan PT PP Properti Tbk (PPRO) ditutup stagnan di level Rp 56. PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) ditutup melemah Rp 6 (5,45%) menjadi Rp 104 dan saham PT Wjaya Karya Beton Tbk (WTON) melemah Rp 8 (3,39%) menjadi Rp 228.

Dalam laporannya, Bursa Efek Indonesia (BEI) sendiri sudah menetapkan ada lebih dari 100 saham yang berada dalam pemantauan khusus hingga 31 Mei 2022. Tiga di antaranya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak usahanya.

Ketiga perusahaan publik tersebut adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), anak usahanya yaitu PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI) dan anak usaha emiten pelat merah konstruksi yaitu PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) yang merupakan anak usaha dari BUMN PT Waskita Karya Tbk (WSKT).

Berdasarkan pada pengumuman resmi BEI, GIAA mendapatkan status pemantauan khusus karena memenuhi beberapa kriteria jika mengacu pada Peraturan Nomor II-S tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas Dalam Pemantauan Khusus.


Ya Ampun! Anak Usaha BUMN PT. Waskita Karya Digugat Pailit. (Tribun).

Anak perusahaan konstruksi pelat merah PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yakni WSBP yang juga masuk radar BEI dan memenuhi kriteria nomor 5 yang berarti memiliki nilai ekuitas negatif.

Berdasarkan laporan keuangan WSBP kuartal I-2022 yang tidak diaudit, perseroan mencatatkan defisiensi modal senilai Rp 3,06 triliun. Nilai tersebut bengkak dari kuartal IV-2021 yang mencapai Rp 2,78 triliun.

WSBP juga mengalami gagal bayar atas Obligasi Berkelanjutan tahun 2019 senilai Rp 2 triliun. Oleh sebab itu lembaga rating Pefindo langsung memangkas peringkat surat utang tersebut dari BBB- menjadi D alias default.

Atas kejadian gagal bayar tersebut, pihak BEI juga memutuskan untuk menggembok perdagangan saham WSBP sejak 31 Januari 2022 hingga sekarang.

Bahkan baik GIAA dan WSBP juga terlempar dari papan utama perdagangan BEI. Dua perusahaan tersebut saat ini sama-sama mengalami permasalahan serupa yaitu terlilit utang besar.

Berkaca dari kasus dua perusahaan itu, Bursa Efek Indonesia seharusnya lebih ketat mengeluarkan daftar nama perusahaan bumn terutama bidang kontruksi yang memiliki kinerja keuangan buruk dan terlilit hutang.

Seperti di bursa saham asing, otoritas bursa mendepak perusahan itu dari perdagangan bursa karena kinerja keuangan buruk dan tersandung kasus. Namun di Indonesia, hal itu nampaknya masih belum bisa dilakukan karena ada beberapa pertimbangan stabilitas bursa saham.

Banyak Dapat Proyek, Banyak Tersandung Kasus
Pengadaan tender infrastruktur yang dilaksanakan pemerintah Indonesia sebagian besar dimenangkan oleh Perusahaan BUMN.

Nama-nama seperti Waskita Karya, WIKA, Adhi Karya, Nindya Karya hingga LEN Industri masuk dalam 10 teratas perusahaan pemenang tender.

Namun meski begitu, penugasan BUMN ini akhirnya memunculkan risiko beban utang yang harus ditanggung oleh BUMN.

Risiko lain adalah soal korupsi dan inefisiensi. Ditambah masih tingginya korupsi di sektor konstruksi menjadikan pembangunan infrastruktur tidak efisien.

Saat ini mitigasi risiko sangat dibutuhkan daripada pujian dan deretan apresiasi seperti yang disampaikan dalam artikel-artikel tentang infrastruktur tersebut.

Sekjen Transparansi Internasional Indonesia Danang Widoyoko mengatakan untuk membangun infrastruktur pemerintahan Jokowi tidak hanya memberikan tambahan modal untuk BUMN infrastruktur, tetapi juga menyediakan sumber pendanaan lain.

Bank-bank BUMN dikerahkan pemerintah untuk memberikan kredit bagi pembangunan infrastruktur.

"Selain itu, pemerintah juga memberikan dukungan melalui lembaga-lembaga keuangan seperti PT Sarana Multi Infrastruktur yang memberikan jaminan keuangan bagi pembangunan infrastruktur," kata Danang kepada Law-Justice.

Danang menuturkan bila pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan BUMN mampu menyelesaikan proyek dengan cepat.

Namun tentu ada risiko yang harus ditanggung, yakni membengkaknya utang BUMN infrastruktur.

"Salah satu BUMN yang kini terbeban dengan utang besar adalah PT Waskita Karya," tuturnya.

Seperti diketahui, Waskita Bersama Jasa Marga mendapat tugas dari pemerintah untuk menuntaskan pembangunan tol Jawa selain beberapa proyek infrastruktur strategis lainnya.

Danang menyebut bila rencana awalnya, begitu tol Jawa selesai dibangun dan tersambung, beberapa ruas akan dilepas oleh Waskita untuk menutup utang tetapi divestasi aset dengan menjual ruas tol tidak berjalan sesuai rencana.

"Akibatnya, WSKT harus menanggung beban utang yang cukup besar. Pada 2015, pada awal pemerintahan Jokowi, rasio utang terhadap modal atau Debt to Equity Ratio (DER) WSKT hanya 2,12, di bawah batas aman DER 3. Tetapi pada 2020, DER WSKT telah mencapai 5,37, jauh melampaui batas aman. Besarnya beban utang ini akhirnya memaksa WSKT dan anak-anak perusahaannya merestrukturisasi utang-utangnya," ujarnya.

Danang memaparkan risiko beban utang BUMN infrastruktur juga akan berdampak pada bank-bank milik pemerintah.

Salah satu contohnya adalah pembangunan kereta ringan atau LRT Jabodebek. Seperti diketahui bila pemerintah tidak hanya menugaskan PT Adhi Karya untuk membangun jaringan LRT yang menghubungkan Bekasi dan Cibubur dengan pusat kota Jakarta.

Pemerintah juga menugaskan bank BUMN untuk menyediakan pembiayaan bagi Adhi Karya.

"Jika Adhi Karya tidak bisa melunasi utangnya, dampaknya bukan hanya pada ADHI tetapi bank pemerintah dan sistem keuangan di Indonesia," ucapnya.

Danang menyebut bila Adhi Karya berpotensi menghadapi situasi seperti yang dialami WSKT pada saat ini.

Danang menyebut bila besarnya beban utang BUMN juga bisa dilihat dari rencana sejumlah BUMN yang menawarkan proyek infrastruktur untuk dibeli oleh LPI.

Tetapi sejauh mana dan sebesar apa kapasitas LPI untuk menanggung utang-utang BUMN masih menjadi tanda tanya.

"Pada akhirnya, negara akan menanggung beban utang pembangunan infrastruktur tentu beban utang negara akan semakin berat," ucapnya.


Ilustrasi Logo Kementerian BUMN (Foto: Istimewa)

"Negara harus menaikkan defisit dan menambah utang untuk pembiayaan APBN dan beban utang semakin bertambah di masa depan jika negara harus turut menanggung beban utang BUMN," sambungnya.

Pengawasan Internal Lemah?

Seperti diketahui bila sektor konstruksi masih menjadi sektor yang rawan terjadi korupsi. Sulit mengharapkan BUMN konstruksi yang menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur menyelesaikan proyek dengan efisien.

Danang menyebut berbagai ongkos harus ditanggung oleh tingginya korupsi di sektor konstruksi. Beberapa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK memberikan konfirmasi.

"Di antaranya kasus korupsi subkontraktor fiktif yang melibatkan sejumlah top level manager Waskita. Kasus ini memberikan bukti kuat, salah satu BUMN andalan Presiden Jokowi dalam membangun infrastruktur ternyata memiliki persoalan dalam tata kelola," ujarnya.

Danang menyatakan bila risiko korupsi dan efisiensi semakin besar dengan model pembangunan infrastruktur seperti sekarang ini.

Dengan menggunakan skema penugasan untuk BUMN, pemerintah bisa menghemat waktu untuk memilih kontraktor dan proyek bisa segera dikerjakan dan diselesaikan secepatnya.

"Tetapi model penugasan juga membawa risiko lain. Tanpa tender kompetitif, pemerintah tidak bisa mendapatkan berapa ongkos yang paling efisien untuk menyelesaikan proyek infrastruktur padahal dengan membuka pintu bagi swasta, banyak kontraktor swasta yang mau mengikuti tender. Melalui tender yang kompetitif, pemerintah akan mendapatkan harga termurah dan kontraktor terbaik," paparnya.

Law-Justice mencoba untuk mengkonfirmasi kepada perusahaan BUMN terkait tender proyek infrastruktur.

Namun, hingga berita ini diturunkan perusahaan perusahaan tersebut belum memberikan jawaban.

Ugal-ugalan Tata Kelola BUMN Infrastruktur
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak memberikan peringatan kepada pemerintah terkait pembangunan infrastruktur.

Amin mengaku heran dengan sikap pemerintah yang gemar menambah utang BUMN hingga menggunung.

Seperti diketahui, pada saat yang sama pengelolaan infrastruktur oleh BUMN terkesan ugal-ugalan.

Sebagian BUMN berutang jumbo akibat penugasan yang dilakukan tanpa perencanaan matang, seperti halnya proyek infrastruktur.

Musabab lainnya, terjadi inefisiensi organisasi di tubuh BUMN yang berakibat kesulitan keuangan serius yang jika dibiarkan berujung pada kebangkrutan.

“Pemerintah tidak bisa membangun infrastruktur secara ugal-ugalan. Tetap harus memiliki perencanaan yang matang dan menetapkan skala prioritas,” kata Amin kepada Law-Justice.

Politisi PKS itu menuturkan ambisi besar tanpa perencanaan matang hanya akan membebani keuangan negara.

Hal tersebut maka bisa berdampak pada rendahnya kualitas hasil pembangunan yang dilakukan.

Bagaimanapun, ujar Amin kesulitan yang dialami BUMN Karya akibat dibebani dengan pembangunan infrastruktur yang sebenarnya tidak layak secara ekonomi.

"Sesuai UU BUMN Pasal 66, pemerintah wajib menambahkan dan membantu menutupi kerugian," tuturnya.

Amin menilai dengan besarnya kebutuhan biaya infrastruktur, semestinya mengandalkan dana pihak ketiga seperti Perbankan.

Namun, pihak perbankan juga punya batasan atau plafon maksimal dana yang dipinjamkan, termasuk tenggat waktu pelunasan.

“Dengan tingkat kelayakan ekonomi yang rendah, tidak mudah untuk memperoleh pembiayaan dari pihak ketiga,” ujarnya.

Sementara obligasi, medium term notes (MTN) dan sejenisnya biasanya menerapkan bunga yang lebih tinggi.

Amin juga menyoroti pengelola sebagian BUMN yang masih kental dengan perilaku moral hazard, termasuk aksi korupsi terselubung.

"Sebaik apapun aturan dibuat, kalau perilakunya bermasalah dan tidak diberikan sanksi maka keberadaan pengelola menjadi bagian dari masalah BUMN," ungkapnya.

Sedangkan, Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah meminta kepada Anggota DPR untuk mengawasi secara ketat proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah.

Menurutnya, DPR perlu mengawasi secara ketat dan memberikan catatan-catatan khusus.

Bahkan bila perlu sering melakukan sidak di daerah pemilihan dari para wakil rakyat (Dapil), itu yang terpenting.

“Hal itu harus dilakukan agar ada peningkatan kualitas bangunan sama pengawasannya. Jadi, kualitas bangunannya itu tidak sesuai speknya sering kali bermasalah karena potensi-potensi korupsi di situ, seperti kejadian di beberapa tempat,” kata Trubus kepada Law-Justice.

Trubus mengatakan masih banyak kebijakan yang lebih memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesaat saja.

Jadi, dalam membuat program-programnya itu tidak berpikir jangka panjang, yang penting sekedar melaksanakan dan menghabiskan anggaran.

“Sehingga kualitasnya jadi jelek, para kontraktornya sering nakal juga. Ini jadi problem di kita,"

Trubus menyatakan bila infrastruktur yang dibangun pada tingkat nasional menjadi sebuah pertanyaan besar.

Pasalnya, tidak sedikit infrastruktur yang dibangun juga cepat rusak dan itu Berbeda dengan dibangun oleh orang luar negeri.

“Ternyata, banyak akal-akalnya tidak sesuai kesepakatannya, jadinya kualitas buruk,” tutupnya.

Laporan BPK
Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan, salah satunya menyoroti perusahaan BUMN Infrastruktur Waskita Karya. Dalam laporan audit tahun 2016-2017 didapati beberapa dugaan penyimpangan yang tidak sesuai aturan.

Misalnya adalah data soal usulan perubahan biaya investasi atas tiga ruas jalan tol dilakukan setelah pembangunan konstruksi dimulai, tidak sesuai ketentuan.

Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis moneter yang mengakibatkan pembangunan proyek-proyek infrastruktur termasuk jalan tol dihentikan sementara.
Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah melakukan evaluasi untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur tersebut, termasuk pengusahaan jalan tol yang tertunda.

Hasilnya, adalah peraturan dan kebijakan antara lain, Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 2002 yang bertujuan melaksanakan kembali proyek-proyek infrastruktur,
disahkannya Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan, serta terbentuknya Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) pada tanggal 29 Juni 2005 untuk menggantikan peran
PT Jasa Marga, yang berfungsi sebagai regulator jalan tol.

BPJT memiliki kewenangan atas Pengaturan, Pengusahaan, dan Pengawasan Jalan Tol, dan hal tersebut digunakan pemerintah untuk mendorong program penerusan pembangunan infrastruktur termasuk pengusahaan jalan tol yang sempat terhenti.

Salah satu unit kerja di BPJT adalah Bidang Investasi yang menyelenggarakan fungsi antara lain penyusunan perjanjian pengusahaan jalan tol dan pelelangan pengusahaan
jalan tol, serta pelaksanaan evaluasi investasi terhadap perubahan ruang lingkup pengusahaan jalan tol. Untuk memudahkan pengendalian atas biaya investasi oleh BUJT,
Bidang Investasi telah menetapkan klausul dalam PPJT yang mengatur antara lain bahwa, biaya investasi akan direviu dan disepakati oleh BPJT dan BUJT sebelum
pembangunan konstruksi dimulai.

Hal ini bertujuan untuk mengawasi dan mengendalikan biaya konstruksi yang merupakan nilai terbesar dalam investasi. Hasil pemeriksaan atas dokumen PPJT diketahui bahwa terdapat minimal tiga BUJT yang melakukan usulan perubahan nilai investasi kepada BPJT pada saat pembangunan konstruksi telah dimulai dan sedang berjalan, dengan uraian sebagai berikut.

a. Kenaikan Biaya Konstruksi Jalan Tol Becakayu Seksi I dan Seksi II Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol Ruas Becakayu dilakukan antara PT KKDM
dengan BPJT pada tanggal 22 Februari 2007 dengan perjanjian No. 04/PPJT/II/Mn/2007. Tol ini direncanakan sepanjang 21,042 Km, dan pembangunannya menggunakan skema pembiayaan Kerjasama Pemerintah dengan Swasta (KPS) atau yang saat ini dikenal sebagai Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Berdasarkan rencana pembangunan, ruas tol dibagi menjadi dua seksi yaitu Seksi I sepanjang 11 Km menghubungkan Casablanca-Jaka Sampurna, dan Seksi II sepanjang 10,042 Km menghubungkan Jaka SampurnaDuren Jaya Kota Bekasi. PT KKDM dan Panitia Evaluasi Persiapan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol Departemen PU, menyepakati rencana bisnis Jalan Tol
tersebut dalam Berita Acara Nomor 24/PAN-EVPPPJT/I/2007 tanggal 3 Januari 2007 yang isinya memuat antara lain:

1) Nilai investasi pengusahaan jalan tol sebesar Rp6.184.658.000.000,00; LHP PDTT PT Waskita Karya (Persero), Tbk.. Tahun 2018 BAB III - 71
2) Pembangunan konstruksi tol sebesar Rp3.423.636.000.000,00;
3) Masa Konsesi 40 tahun.

Namun dengan adanya permasalahan antara lain rendahnya realisasi pembebasan lahan untuk pembangunan konstruksi yang menjadi kewajiban pemerintah, pembangunan konstruksi Becakayu belum dapat dilaksanakan sesuai rencana.

Belum lagi soal masalah akuisisi jalan tol oleh BUMN Waskita Karya. Terkait hal itu, BPK merekomendasikan kepada Direksi PT Waskita Karya agar:

a. Melaporkan kepada Menteri BUMN atas proses akuisisi tiga ruas tol yang tidak sesuai
ketentuan, serta atas nilai wajar PT SMR, PT PPTR, PT KKDM, dan PT PBTR setelah beroperasi;
b. Melaporkan KJPP STH kepada Asosiasi Penilai untuk dievaluasi kinerjanya terkait valuasi PPTR dan SMR;
c. Meminta Direksi PT WTR melakukan kajian risiko investasi dan risiko bisnis setelah akuisisi PT PPTR, PT SMR, PT KKDM, dan PT PBTR.

Sedangkan terkait kondisi keuangan Waskita Karya, laporan BPK itu menyebut ada beberapa rekomendasi kepada Direksi PT Waskita Karya agar menginstruksikan
Direksi PT WTR untuk:

a. Melakukan langkah-langkah penyelamatan dalam mengamankan arus kas perusahaan, dan risiko likuiditas;
b. Melaporkan kepada Menteri BUMN terhadap risiko yang akan ditanggung oleh perusahaan HP PDTT PT Waskita Karya (Persero), Tbk.
c. Menyempurnakan prosedur investasi/ pengembangan usaha jalan tol, dengan memasukkan skema pendanaan beserta sumber pendanaan, dan penilaian risiko,
sebagai tahapan prosedur investasi jalan tol; dan
d. Memerintahkan unit kerja manajemen risiko PT WTR untuk menyusun kajian strategis atas pengembangan investasi bisnis jalan tol secara komprehensif, termasuk
mengenai kesiapan sumber daya dalam rangka pengembangan bisnis di bidang pengusahaan jalan tol.

Kontribusi Laporan : Rio Rizalino dan Ghivary Apriman

 

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar