Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Persempit Definisi & Batasi Kritik

Jum'at, 08/07/2022 13:12 WIB
Pasal penghinaan presiden di RKUHP (Tribun)

Pasal penghinaan presiden di RKUHP (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Pasal Penghinaan Presiden dan wakil presiden muncul kembali dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal itu disebut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bertujuan untuk mempersempit definis dan membatasi kritik dari masyarakat.

Pengacara Publik LBH Jakarta Citra Referandum menyebut hal itu dikarenakan dalam penjelasan Pasal 218 RKUHP memuat definisi kritik yang harus konstruktif dan sedapat mungkin memberikan solusi.

"Menurut kami seharusnya kritik itu tidak boleh didefinisikan secara sempit seperti itu," kata Citra, Jumat (8/7/2022).

Citra menjelaskan kritik terhadap kinerja atau kebijakan pemerintah seharusnya tidak dibatasi. Sebab hal itu dijamin oleh Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Selain itu, ia menilai pasal tersebut cenderung diskriminatif. Ia mengatakan tidak semua warga memahami regulasi.

"Kritik itu seharusnya dimaknai bukan hanya bagi orang-orang yang punya privilese memahami isi regulasi, struktur sistematika regulasi, orang-orang yang kemudian bisa membuat kertas kebijakan," jelas dia.

Terlebih, permasalahan atau keluhan banyak terjadi pada lingkup masyarakat dengan ekonomi rendah. Dengan begitu, menurutnya, normal jika banyak dari mereka yang melontarkan kritik.

"Harusnya ketika menyampaikan kritik itu mereka didengar, lalu kemudian dipertimbangkan pendapatnya. Lalu diberikan penjelasan atas pertimbangan atas pendapat itu," tuturnya.

Citra pun berpandangan bahwa pasal tersebut bisa menimbulkan kriminalisasi berlebihan kepada masyarakat. Menurut dia, tidak seharusnya orang yang melontarkan kritik dipidana.

Apalagi, menurut Citra, pasal ini sudah tidak relevan. Ia menjelaskan pasal penghinaan tersebut merupakan peninggalan kolonial Belanda. Dalam konteks itu, pasal penghinaan ditujukan kepada raja atau ratu, bukan presiden. Sebab, sistem pemerintahan Belanda adalah monarki.

"Kita sistem kita republik demokratis bukan monarkis," kata Citra.

"Over kriminalisasi dan juga pasal kolonial itu dibuat utk melindungi ratu belanda sebetulnya konteksnya monarki," imbuhnya.

Pengacara LBH Jakarta Alif Fauzi Nurwidiastomo pun curiga pasal tersebut dibuat memang hanya untuk membatasi kritik warga. Ia mengatakan pemerintah sengaja menciptakan ketakutan.

"Secara tidak langsung masyarakat mengalami kekhawatiran akan terjerat, karena ada produksi ketakutan dari pemerintah," ucapnya.

Berdasarkan draf RKUHP terbaru, Pasal 218 Ayat (1) mengatur setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil Presiden dipidana penjara paling lama 3,5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Kemudian Pasal 218 Ayat (2) menyatakan, "tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."

Dalam penjelasan Pasal 218 Ayat (2), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan `dilakukan untuk kepentingan umum` adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan wakil presiden.

Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk. Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar