Terus Berulang Mafia Korupsi Dana Pendidikan

Program Merdeka Belajar Jadi Bancakan, Siapa Terjerat?

Sabtu, 02/07/2022 13:54 WIB
Program Merdeka Belajar Kemendikbud

Program Merdeka Belajar Kemendikbud

Jakarta, law-justice.co - Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Pendidikan, memberikan rapor merah kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim.

Menurut koalisi tersebut, selama tiga tahun memimpin Kemendikbudristek, Nadiem Makarim telah meluncurkan berbagai kebijakan yang dikemas dalam Program Merdeka Belajar.

Program tersebut diluncurkan pada Maret 2020, dan saat ini terdapat 17 kebijakan yang mencakup semua jenjang dan jenis pendidikan non-formal dan pendidikan khusus.

17 kebijakan dalam Program Merdeka Belajar tersebut yakni

1. Merdeka Belajar 1: Asesmen Nasional, USBN, RPP dan PPDB
2. Merdeka Belajar 2: Kampus Merdeka
3. Merdeka Belajar 3: Penyaluran dan Penggunaan Dana BOS
4. Merdeka Belajar 4: Program Organisasi Penggerak
5. Merdeka Belajar 5: Guru Penggerak
6. Merdeka Belajar 6: Transformasi Dana Pemerintah untuk Perguruan Tinggi
7. Merdeka Belajar 7: Program Sekolah Penggerak
8. Merdeka Belajar 8: SMK Pusat Keunggulan
9. Merdeka Belajar 9: KIP Kuliah Merdeka
10. Merdeka Belajar 10: Perluasan Program Beasiswa LPDP
11. Merdeka Belajar 11: Kampus Merdeka Vokasi
12. Merdeka Belajar 12: Sekolah Aman Berbelanja dengan SIPLah
13. Merdeka Belajar 13: Merdeka Berbudaya dengan Kanal Indonesiana
14. Merdeka Belajar 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual
15. Merdeka Belajar 15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar
16. Merdeka Belajar 16: Akselerasi dan Peningkatan Pendanaan PAUD dan Pendidikan Kesetaraan
17. Merdeka Belajar 17: Revitalisasi Bahasa Daerah


Dalam RUU Sisdiknas yang Disusun Kemendikbud, Madrasah Menghilang. (PikiranRakyat).

17 program turunan dari Program Merdeka Belajar itu lantas mendapat kritikan dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Pendidikan.

Salah satu LSM yang tergabung dalam koalisi tersebut adalah Indonesia Corruption Watch (ICW).

Peneliti ICW, Dewi Anggraeni mengatakan, selama 3 tahun, menter Nadiem memang telah menghasilkan banyak kebijakan. Namun sayangnya, menurut dia, ada sejumlah kekurangan dalam kebijakan tersebut.

Diantaranya adalah minimnya pelibatan publik. Hal itu kemudian berdampak pada transparansi dan akuntabilitas program, dalam hal ini adalah Program Merdeka Belajar.

"Apalagi dari sisi anggaran, tidak banyak yg diinformasikan ke publik," ujar Dewi kepada law-justice.co.

Lebih lanjut ia mengatakan, minimnya transparansi tersebut meninggalkan banyak pertanyaan dan berpotensi menciptakan kerugian bagi peserta didik, orang tua siswa, masyarakat secara umum, serta negara di masa depan.

Menurut Dewi, salah satu bentuk tidak transparannya Kemendikbudristek dalam mengelola anggaran Program Merdeka Belajar adalah pada Program Organisasi Penggerak (POP).

Menurut data yang dimiliki koalisi, Kemendikbudristek mengalokasikan anggaran sebesar Rp595 miliar setiap tahunnya. Dengan anggaran sebesar itu, Kemendikbudristek menargetkan memberikan pelatihan untuk para guru, sebanyak 20.438 orang.

Namun tidak ada keterangan lebih lanjut seperti apa perincian alokasi dana tersebut.

"Kemendikbudristek belum mempublikasikan siapa saja organisasi atau komunitas penerima dana program ini, berapa anggaran yang diterima oleh masing-masing penerima, dan bagaimana hasil pemantauan serta evaluasi Kemendikbudristek terhadap pelaksanaan, ketercapaian, dan dampak program ini," papar Dewi.

Menurut Dewi, transparansi tersebut menjadi penting, sebab anggaran yang dikelola Kemendikbudristek dalam Program Merdeka Belajar sangat besar.

Ia menyebut sebuah data yang dihimpun oleh koalisi, dimana pada 2021 lalu, Kemendikbudristek mengalokasikan anggaran Rp 56,2 triliun untuk Program Merdeka Belajar. Menurut Dewi, anggaran tersebut baru tersebut baru terserap kurang dari 30 persen pada semester pertama 2021.

Sementara setahun sebelumnya, Kemendikbudristek mendapatkan alokasi anggaran Program Merdeka Belajar sebesar Rp 35,4 triliun dan tercatat realisasi pada 2020 mencapai 90,54% atau sebesar Rp 32,1 triliun.

"Melihat bertambahnya episode dan target program ini, anggaran Program Merdeka Belajar tahun 2022 diyakini mengalami kenaikan," sambungnya.

Dalam konteks yang lebih luas, lanjut Dewi, Kemendikbud juga dinilai kurang transparan dalam pengelolaan angarannya.

Ia lalu memberikan contoh lainnya, yakni program bantuan kuota internet siswa untuk endukung belajar dari rumah selama pandemi Covid-19.

Menurut data yang dimiliki oleh koalisi, kata Dewi, program tersebut diterima oleh 35,725 juta peserta didik dan tenaga pendidik.

Namun tidak jelas berapa anggaran yang dikeluarkan untuk bantuan kuota tersebut. Informasi mengenai hal tersebut tak terlacak, termasuk dalam dokumen resmi Kemendikbudristek.

"Kami tidak bisa menyebutkan apakah itu karena kesengajaan atau memang model publikasi Kemendikbudristek. Yang pasti apapun alasannya, itu tidak transparan dan perlu segera diperbaiki. Karena informasi tersebut merupakan informasi publik dan hak publik untuk tahu," papar Dewi ketika dihubungi law-justice.co.


Mendikbud Nadiem Makarim. (Wikipedia)

Lagi-lagi Dewi mengingatkan, bahwa transparansi adalah hal yang sangat penting. Terlebih anggaran pendidikan yang dikelola Kemendikbudristek terus meningkat setiap tahunnya.

Pada 2019, alokasi anggaran pendidikan sebesar Rp 460,3 triliun. Anggaran pendidikan tahun 2020 dan 2021 tidak jauh berbeda, yakni sebesar Rp 547,8 triliun pada 2020 dan Rp 550 triliun pada 2021. Sedangkan anggaran pendidikan pada 2022 mengalami sedikit penurunan menjadi Rp 542,8 triliun.

Meski begitu, lanjut Dewi, belum diketahui pasti apakah ada tindak pidana korupsi di balik tidak transparannya penggunaan anggaran Program Merdeka belajar tersebut.

Namun potensi tersebut tetap ada, karenanya publik harus mengawasi agar tidak terjadi penyelewengan.

Terlebih sektor pendidikan merupakan salah satu lahan basah yang kerap menjadi sasaran pelaku korupsi.

Data ICW menyebutkan, dalam enam tahun terakhir tercatat sedikitnya ada 240 kasus korupsi di dunia pendidikan, dengan kerugian negara mendapai Rp1,6 triliun.

"Kerugian anggaran ini setara dengan pemberian dana BOS untuk 1,46 juta siswa sekolah dasar atau membangun lebih dari 7 ribu Ruang Kelas Baru (RKB) di wilayah Papua," ungkap Dewi.

Terkait banyaknya catatan yang diberikan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Pendidikan, kami mencoba untuk mengonfirmasi kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Banyak hal yang harus dijawab oleh Kemendikbudristek. Namun hingga laporan ini disusun, permohonan wawancara kami belum juga direspon.

Merdeka Belajar jadi Program Gagal?
Semenjak dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Tahun 2019 lalu, Nadiem Makarim kerap menjadi kontroversi dan sorotan publik.

Misalnya terkait program merdeka belajar yang dinilai tidak memiliki implementasi yang kurang jelas dan sulit dipahami.

Tak jarang banyak sejumlah pengamat, pakar hingga Anggota DPR mengomentari program merdeka belajar.

Pengamat Pendidikan Darmaningtyas bahkan mengatakan bila program merdeka belajar kini menjadi merek dagang.

Ia mengatakan tentu akan berbahaya bila konsep program Merdeka Belajar dikapitalisasi karena itu bisa berdampak pada sanksi hukum.

"Terkait Merdeka Belajar ini jadi merek dagang suatu perusahaan pendidikan swasta nasional, implikasinya pasti ke hukum. Siapapun yang menggunakan istilah tersebut implikasinya ke hukum. Inilah sisi negatif dari kapitalisasi pendidikan,” kata Tyas kepada Law-Justice.

Tyas menuturkan bila suatu pemakaian nama tidak membayar royalti, mungkin itu tidak ada masalah.

Akan tetapi ketika itu berimplikasi misalnya pada royalti yang harus dibayar Negara, dalam hal ini kemendikbud, maka itu jadi masalah karena seperti diketahui kemendikbud juga menggunakan jargon Merdeka Belajar.

"Saya waktu itu berdiskusi dengan teman teman UNJ, bila Mereka konsep Merdeka Belajar, Kampus Merdeka atau Merdeka Kuliah itu ternyata itu sudah digagas Rektor Universitas Terbuka (UT) pertama," tuturnya.


Program Merdeka Belajar dari Kemendikbud (Dok.Kemendikbud)

Menurutnya, Merdeka Belajar merupakan konsep pendidikan yang sudah lama, di era 70-an sampai 80-an.

Tentu setiap program yang berada di lembaga kementerian jangan sampai terjadi kapitalisasi pada program tersebut.

"Persoalan yang terjadi di era Mendikbud Nadiem Makarim ini apakah ada proses kapitalisasi itu. Yang bisa jelaskan itu ya Nadiem sendiri," ucapnya.

Senada dengan Tyas, Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji menilai bahwa perencanaan dan implementasi program dari Kemendikbud belum matang.

Dengan anggaran yang besar, Indra berharap bila Kemendikbud bisa memaksimalkan setiap program yang telah direncanakan.

“Semua program di Kemendikbud itu tidak di desain dengan matang dan perlu banyak pembenahan," ujar Indra kepada Law-Justice.

Bahkan Indra menyebut bila selama ini program yang dijalankan Kemendikbud hanya untuk pencitraan saja.

Selain itu, tidak ada untungnya untuk bangsa dan yang ada hanya menghamburkan uang daripada masyarakat saja.

“Ini kan menunjukkan program nggak jelas, standar tidak jelas, hanya sebatas untuk kepentingan pencitraan aja dan buat bangsa ini nggak ada manfaatnya, hanya untuk kepentingan beberapa orang. Kita butuh negarawan yang ingin membangun bangsa ini,” terangnya.

Bahkan dirinya juga sering meminta DPR RI untuk melakukan evaluasi kebijakan Merdeka Belajar tersebut. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang berarti.

“Saya selalu mendorong DPR untuk stop Merdeka Belajar ini, lihat utuhnya kayak apa. Ini sudah jalan berapa episode nggak jelas," ujarnya.

Dengan anggaran program yang sangat besar, Indra mengatakan tentu harus menghasilkan output yang baik untuk bangsa.

"Itu uang rakyat yang dipake, itu saya sarankan ke DPR. Sekarang semua ini, saya tidak melihat di sisi pemerintahan ini yang punya keinginan membangun bangsa dan negara," katanya.

Sedangkan, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengatakan bila dalam menentukan suatu program Kemendikbud harus perhatikan segala aspek.

Fikri menyebut Salah satunya yang menjadi persoalan adalah terkait teknis yang ada di balik kurikulum merdeka belajar.

Pasalnya, ia menyebut bila kurikulum merdeka belajar ini masih menciptakan polemik di tengah masyarakat.

"Kebijakan mengubah kurikulum butuh evaluasi menyeluruh. Perubahan kurikulum membawa banyak persoalan yang berdampak pada orang tua, guru, dan penyelenggara pendidikan," kata Fikri kepada Law-Justice.

Politisi PKS itu menuturkan dengan adanya perubahan kurikulum, Kemendikbud perlu melihat dari semua aspek.

Pasalnya, sampai saat ini program ini banyak dikeluhkan oleh orang tua siswa terkait hal teknis.

Dengan jumlah anggaran yang besar, Kemendikbud mempunyai tanggung jawab untuk menyiapkan program yang bisa dimengerti oleh masyarakat.

Sehingga, program yang direncanakan dan berjalan tidak akan membuat rugi masyarakat.

"Tentu perlu kehati-hatian ya dan program yang akan direncanakan harus berefleksi dari program yang sudah berjalan," ucapnya.

Law-Justice juga melakukan jajak pendapat terhadap masyarakat melalui media sosial terkait program dan anggaran Kemendikbud.

Salah satunya adalah Eko yang merupakan guru honorer, ia mengatakan bila sudah menjadi guru honorer selama 10 tahun.

Terkait dengan program Kemendikbud sekarang, sebagai guru Eko mengatakan bila dirinya sudah tau tentang program tersebut.

Namun, meski begitu ia belum terlalu memahami terkait program Kemendikbud seperti Merdeka Belajar dan lainnya.


Program Merdeka Belajar Kemendikbud

"Tau sih tau mas cuma ya belum terlalu paham," kata Eko kepada Law-Justice.

Terkait dengan anggaran Kemendikbud, Ia berharap bila anggaran tersebut bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Ia Pun mendorong bila kesejahteraan kepada guru honorer merupakan suatu hal yang wajib diperhatikan.

Pasalnya, profesi guru ini kerap kali dipandang sebelah mata namun memiliki jasa yang besar.

Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan kesejahteraan guru honorer terutama yang sudah mengajar lama.

"Tentu dengan anggaran yang besar, guru honorer wajib diperhatikan oleh pemerintah," imbuhnya.

Law-Justice mencoba untuk meminta konfirmasi kepada BPKP terkait pengawasan terhadap Kemendikbud.

Namun hingga berita ini diturunkan, pihak BPKP belum memberikan konfirmasinya.

Seperti diketahui, bila sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambah alokasi anggaran untuk sektor pendidikan sebesar Rp 78,5 triliun. Saat ini nilainya menjadi Rp 621,3 triliun.

Peningkatan anggaran pendidikan ini terdiri dari tambahan anggaran pendidikan pada belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 30,6 triliun dan tambahan pembiayaan pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun.

Catatan Badan Pemeriksa Keuangan
Sebagaimana telah disinggung oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Pendidikan, alokasi APBN untuk sektor pendidikan nyaris mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Dan setiap tahun, sejak 2019 hingga 2022, Kemendikbudristek mengelola anggaran sektor pendidikan ratusan triliun rupiah.

Pengelolaan dana ini tentunya mendapat perhatian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dan menurut hasil audit BPK, masih ada sejumlah catatan keuangan yang belum tertib.

Diantaranya yang tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2020.

Dalam laporan tersebut BPK menemukan adanya tunggakan pajak yang belum disetor Kemendkbudristek sejak 2016.

Nilainya pun fantastis, yakni Rp472.866.914,00. Dengan adanya temuan tersebut, BPK merekomendasikan sejumlah hal kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Diantaranya adalah menginstruksikan Inspektorat Jenderal menelusuri tunggakan pajak tersebut.

BPK juga merekomendasikan agar Mendikbudristek menjatuhi sanksi kepada pihak-pihak yang terkait dengan adanya tunggakan pajak tersebut.

 

"BPK RI merekomendasikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menginstruksikan Sekretaris Jenderal untuk memproses Surat Keputusan Tanggung Jawab Mutlak atas pajak yang belum disetor tersebut dan memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada pengelola keuangan," demikian bunyi hasil audit tersebut.

Masih terkait pajak, pada laporan yang sama, BPK juga menemukan adanya kewajiban perpajakan dan sisa dana atas pengadaan dana bantuan pemerintah belum disetorkan ke kas negara.

Nilainya sangat fantastis, yakni Rp2.044.777.815,18. Atas temuan itu, BPK lalu memberikan rekomendasi kepada Mendikbud agar memerintahkan Sekretaris Jenderal, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, dan Dirjen Kebudayaan untuk menginstruksikan Pejabat Pembuat Komitmen masing-masing kegiatan untuk menegur pelaksana pekerjaan kegiatan pembangunan.

Sementara yang terkait dengan Program Merdeka Belajar, pada tahun yang sama, BPK menemukan adanya selisih anggaran dalam kegiatan Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar.

Dimana pada kegiatan Kampus Merdeka, dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), tertera anggaran sebesar 52.396.000.000. Sementara pada realisasinya hanya sebesar 51.785.252.584. Ada selisih dana hampir Rp600 juta.

Sementara dalam kegiatan Merdeka Belajar, anggaran yang tertera dalam DIPA adalah 44.832.240.000. Sementara pada realisasinya, dana yang terpakai hanya 44.593.877.600. Ada selisih dana sekitar Rp250 juta rupiah.

Kontribusi Laporan Ghivary Apriman, Rio Rizalino

 

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar