Rencana DK PBB Menambah Sanksi untuk Korea Utara Diveto Rusia-China

Jum'at, 27/05/2022 14:38 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping. (AFP Photo/Sputnik/Konstantin Zavrazhin)

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping. (AFP Photo/Sputnik/Konstantin Zavrazhin)

Jakarta, law-justice.co - Imbas peluncuran rudal balistik terbaru, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berencana untuk menerapkan lebih banyak sanksi ke Korea Utara.

Namun, rencana tersebut di veto oleh China dan Rusia pada Kamis, (26/5).

Sebagai informasi, Dewan Keamanan PBB mengadakan pemungutan suara untuk menerapkan resolusi baru usulan Amerika Serikat yang melarang ekspor tembakau dan minyak ke Korut, Kamis (26/5).

Resolusi tersebut juga berencana memasukkan kelompok peretas Lazarus ke daftar hitam. AS sendiri menuding kelompok itu berhubungan dengan Korut.

Sebanyak 13 negara anggota dewan menyetujui resolusi ini, tetapi Rusia dan China menolak.

Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, mendeskripsikan proses pemungutan suara itu merupakan hari yang mengecewakan bagi dewan.

"Dunia berhadapan dengan bahaya yang jelas dan muncul dari DPRK (Korea Utara). Tindakan terbatas dan diam dewan tidak menghapus ataupun mengurangi ancaman. Malah, DPRK menjadi semakin berani," kata Thomas-Greenfield.

Selain itu, ia mengatakan bahwa Korut telah meluncurkan enam rudal balistik antarbenua (ICBM) pada tahun ini dan terus bersiap melangsungkan uji coba nuklir.

Namun, Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia menilai sanksi tersebut tak efektif.

"Pemberian sanksi baru untuk DPRK merupakan jalan buntu. Kami telah menekankan ketidakefektifan dan ketidakmanusiawian dari memperbanyak sanksi ke Pyongyang," ujar Nebenzia seperti melansir cnnindonesia.com.

Pendapat yang serupa juga diutarakan oleh Duta Besar China untuk PBB, Zhang Jun. Menurutnya, sanksi tambahan ke Korut tak bakal menyelesaikan masalah dan berpotensi lebih banyak membawa dampak negatif dan eskalasi konfrontasi.

"Situasi di Semenanjung [Korea] telah berkembang seperti sekarang ini imbas kelabilan kebijakan AS dan kegagalan untuk menerapkan hasil dialog sebelumnya," tutur Zhang.

Sementara itu, pemilihan suara ini diadakan beberapa waktu setelah Korut meluncurkan tiga rudal. Salah satu rudal ini diduga merupakan rudal balistik terbesar negara itu.

Peluncuran ini dilakukan saat Presiden AS Joe Biden berkunjung ke Asia.

Selama 16 tahun terakhir, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat menyetujui penerapan lebih banyak sanksi ke Korut demi menekan pembiayaan program nuklir dan rudal balistik Pyongyang.

PBB terakhir kali memperketat sanksi ke Korut pada 2017.

Walaupun demikian, China dan Rusia mulai menolak penerapan lebih banyak sanksi ke Korut dengan alasan kemanusiaan.

Kedua negara itu dikabarkan sempat memperlama penjatuhan sanksi ke Korut lewat aksi tertutup.

Namun, veto dari China dan Rusia ini merupakan yang pertama kalinya ditunjukkan ke ruang publik dan memecah persatuan Dewan Keamanan PBB.

China sendiri juga sempat mendesak AS untuk mencabut sanksi unilateral demi kembali melangsungkan dialog dengan Pyongyang. Dialog antara Korut dan AS mandek sejak 2019 karena kegagalan pertemuan antara Pemimpin Kim Jong-un dan mantan presiden Donald Trump.

Imbas veto ini, Dewan Keamanan PBB bakal membicarakan masalah Korut dengan 193 anggota badan tersebut dalam dua pekan ke depan.

 

 

 

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar