IHSG Anjlok 8,73 Persen Sepekan, Ini Penyebabnya

Sabtu, 14/05/2022 13:02 WIB
IHSG anjlok 8,73 persen sepekan (Tribun)

IHSG anjlok 8,73 persen sepekan (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Dalam sepekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun bebas setelah mengalami koreksi signifikan. Amblesnya harga saham sejumlah emiten kakap (big cap) dan keluarnya dana asing menjadi faktor penyebab merosotnya IHSG.

Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG anjlok 8,73% dalam sepekan ke posisi 6.597,99. Kini, kinerja IHSG sepanjang tahun hanya tinggal tersisa apresiasi tipis 0,25% saja yang artinya reli IHSG selama 4 bulan awal tahun 2022 (ytd) sudah hampir tersapu habis.

Kendati demikian, mengacu data BEI, saat ini kinerja IHSG masih berada di posisi kedua terbaik secara ytd di kawasan Asia-Pasifik, berada di bawah indeks Straits Times (Singapura) yang masih menguat 1,82% ytd.

Sepanjang perdagangan jelang akhir pekan ini, investor asing tercatat melakukan penjualan saham sebesar Rp 9,11 triliun. Pada pasar reguler, penjualan bersih yang dilakukan investor asing mencapai Rp 8,41 triliun.

Rata-rata volume transaksi harian bursa turun sebesar 11,56% menjadi 21,57 miliar saham dari 24,39 miliar saham pada penutupan pekan sebelumnya. Kemudian, rata-rata nilai transaksi harian bursa pekan ini juga berkurang sebesar 14,63% menjadi Rp 20,45 triliun dari Rp23,95 triliun pada penutupan pekan yang lalu.

Saham-saham emiten jumbo, seperti kuartet perbankan menjadi `bulan-bulanan` aksi jual atawa net sell asing selama sepekan ini. Investor asing tampaknya memanfaatkan momentum penurunan ini sebagai aksi `tarik cuan`. Maklum, saham-saham perbankan sudah naik tinggi sepanjang 2022.

Saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), misalnya terkena aksi jual asing sebesar Rp 3,4 triliun dan ambles 9,85%. Praktis, penurunan ini membuat kenaikan saham BBCA ytd tinggal sebesar 0,34%.

Setali tiga uang, saham emiten bank BUMN PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) anjlok 12,73% hanya dalam waktu sepekan dengan net sell Rp 1,6 triliun. Sejak awal tahun, kenaikan saham BBRI menjadi `hanya` sebesar 3,41%.

Saham duo bank pelat merah lainnya, PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) juga mencatatkan net sell masing-masing Rp 709,5 miliar dan Rp 366,4 miliar dalam sepekan. Kedua saham ini turun secara berturut-turut sebesar 12,85% dan 10,57% selama minggu ini.

Saham kakap lainnya, emiten telekomunikasi BUMN PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan Grup Astra PT Astra International Tbk (ASII) juga merosot 7,79% dan 5,94% selama sepekan. Net sell asing terhadap keduanya masing-masing mencapai Rp 732,6 miliar dan Rp 393,6 miliar.

Selain itu, laju IHSG makin berat setelah saham emiten `anak baru` raksasa ride-hailing & e-commerce PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) terjungkal hingga minus 28,68% ke Rp 194/unit dalam sepekan.

Saham GOTO sudah ambles selama 9 hari perdagangan beruntun, dengan 7 kali turun hingga lebih dari 6%. Kendati harganya turun signifikan, asing masih memborong saham GOTO sebesar Rp 11,75 miliar selama sepekan ini.

Asal tahu saja, GOTO melantai di bursa pada 11 April lalu di harga penawaran Rp 338/unit.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) alias Wall Street yang menjadi kiblat dunia juga terkena tekanan jual dalam sepekan. Dow Jones turun 2,14%, S&P 500 melemah 2,41% dan Nasdaq turun 2,80%.

Hanya saja, ketiga indeks acuan tersebut kompak rebound pada perdagangan Jumat (13/5) waktu AS, dengan Nasdaq menjadi yang tertinggi sebesar 3,82%.

Dari sisi eksternal, sentimen yang dominan masih seputar inflasi dan kenaikan suku bunga acuan.

Inflasi yang tinggi di AS memang menimbulkan kekhawatiran bahwa ekonomi akan kembali jatuh ke dalam jurang resesi. Beberapa leading indicator seperti pembalikan kurva imbal hasil treasury AS semakin membuat pasar panik.

Bank sentral AS alias The Fed yang agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya membuat pasar panik. Aset berisiko seperti saham dan kripto pun dilanda tekanan jual yang tinggi.

Sebagai informasi, awal bulan ini The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps, paling agresif sejak tahun 2000, dengan Bank Indonesia diperkirakan akan segera menaikkan suku bunga acuannya.

Selain itu juga ada konflik Rusia dan Ukraina yang belum mencapai titik temu.

Pasar komoditas juga bergerak dengan volatilitas tinggi. Pergerakan harga minyak dengan fluktuasi yang tinggi mencerminkan risiko bagi ekonomi dan pasar keuangan.

(Gisella Putri\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar