Akibat Inflasi dan Perang Ekonomi RI Terancam Jatuh, ini Alasannya

Rabu, 27/04/2022 13:40 WIB
Pakar Kebijakan Publik dan CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat MPP (Net)

Pakar Kebijakan Publik dan CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat MPP (Net)

Jakarta, law-justice.co - Gejolak ekonomi dunia yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19 yang belum berakhir ditambah dengan meningkatnya inflasi di negara-negara besar dunia akibat eskalasi perang antara Rusia dan Ukraina dapat berdampak yang cukup besar bagi perekonomian Indonesia.

Pakar Kebijakan Publik dan CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat MPP menyebut jika melihat dari asumsi makro APBN 2022 terdapat ketimpangan yang terjadi di harga minyak. Dimana dalam asumsi tersebut harga minyak di tetapkan berada di level 63 Dollar AS per barel sedangkan saat ini sudah menyentuh di level 100 Dollar per barel.

"Pertanyaannya adalah asumsi dan target pertumbuhan 2022 ini kredibel? Ternyata tidak tidak kredibel, asumsinya jauh sekali dari realisasi," ujar Hidayat dikutip Rabu (27/4/2022)

Hidayat mengatakan, selain melihat daripada asumsi makro APBN 2022 terdapat data menarik lainya yang dipublikasikan oleh Bloomberg tentang dikondisi perang Rusia dan Ukraina yang berdampak terhadap ekonomi dunia.

Dimana pada data tersebut, disebutkan bahwa Turki dan Mesir berada pada urutan pertama dan kedua dari daftar negara-negara yang terkena dampak perang Rusia dan Ukraina. Dan Indonesia berada pada urutan ke-18.

"Sebetulnya yang ditulis Bloomberg ini tidak sepenuhnya mewakili resiko karena yang diukur hanya resiko Capital Flight, ekspor energi dan ekspor gandum serta perdagangan langsung dengan Rusia," ujarnya.

Hidayat menyebut ada beberapa hal yang luput dari perhitungan Bloomberg. Dimana jika perang akan berlangsung lebih lama atau katakanlah 6 bulan, maka hal ini akan menyasar ke beberapa wilayah lain termasuk didalamnya adalah Uni Eropa.

Bukan hanya itu, dampak Geopolitik tidak diukur, seperti kemungkinan China berpihak kepada Rusia secara membabi buta sehingga menciptakan ketegangan baru seperti polemik di laut China Selatan, ataupun resiko aneksasi kepada Taiwan.

"Dan hal-hal ini tidak dihitung. Jika dihitung terutama dampaknya terhadap China, Indonesia termasuk negara," ungkapnya.

Lanjutnya, Hidayat menyebut bahwa Indonesia adalah negara yang paling rentan karena Indonesia dibangun ekonominya melalui utang, utang negara biasanya menggunakan dolar tapi utang swasta selain USD juga dengan mata uang lain seperti mata uang China.

"Neraca perdagangan kita negatif. Impor kita lebih banyak daripada ekspor. Manakala harga-harga impor naik maka inflasi di domestik juga berbanding lurus dengan kenaikan harga impor," ujar Hidayat.

Kondisi tersebut akan sangat terpengaruh oleh fluktuasi pasar. Ia menyebut manakala harga-harga impor sudah tidak terkendali maka akan mengacaukan situasi ekonomi di Indonesia dimana neraca perdagangan kita akan semakin terpuruk.

"Jika bahan pangan terutama makanan pokok yang menjadi komoditi yang diimpor maka ancaman terburuk adalah akan terjadinya kekurangan pangan," tutupnya.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar