Sunarsip, Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence (IEI)

Cara Mengantisipasi Disrupsi Perumahan

Senin, 18/04/2022 11:23 WIB
Penyaluran KPR Subsidi BTN. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk berhasil menyalurkan KPR FLPP mencapai 13.192 unit sampai akhir Januari 2022, atau jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 2.302 unit. BTN adalah ujung tombak pemerintah dalam program penyediaan rumah rakyat khususnya bagi kelompok masyarakat menengah bawah. Perumahan bersubsidi diantaranya ada didi kompleks perumahan subsidi Griya Srimahi Indah, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dan Perumahan

Penyaluran KPR Subsidi BTN. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk berhasil menyalurkan KPR FLPP mencapai 13.192 unit sampai akhir Januari 2022, atau jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 2.302 unit. BTN adalah ujung tombak pemerintah dalam program penyediaan rumah rakyat khususnya bagi kelompok masyarakat menengah bawah. Perumahan bersubsidi diantaranya ada didi kompleks perumahan subsidi Griya Srimahi Indah, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dan Perumahan

Jakarta, law-justice.co - Disrupsi mata rantai pasokan (supply chain disruption) telah terjadi hampir di sebagian besar komoditas strategis. Itulah kenapa harga-harga komoditas tersebut mengalami kenaikan, dan kenaikannya terjadi secara tiba-tiba. Kenaikan harga secara tiba-tiba tersebut terjadi karena disrupsi terjadinya juga secara tiba-tiba sehingga menimbulkan shock. Tahun lalu, ketika era pengetatan aktivitas mulai dilonggarkan, aktivitas industri langsung melonjak. Akibatnya, kebutuhan energi dan bahan baku pun melonjak. Sayangnya, pemasok (supplier) energi dan bahan baku tidak siap, termasuk ketidaksiapan logistiknya.

Ketidaksiapan tersebut antara lain disebabkan karena keterbatasan modal kerja untuk membiayai pengadaan energi dan bahan baku. Akibatnya, terjadilah disrupsi mata rantai pasokan. Sesuai hukum ekonomi, bila permintaan (demand) melampaui kesiapan pasokan (supply) maka harga-harga akan mengalami kenaikan. Dan terjadilah kenaikan harga-harga seperti minyak mentah, batubara, gas, logam dasar dan komoditas bahan baku lainnya.

Apakah perumahan juga memiliki potensi terjadi disrupsi? Jawabannya, tentu potensi tersebut ada. Bahkan di luar negeri, disrupsi tersebut telah terjadi. Penyebabnya, bukan karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan peningkatan permintaan perumahan untuk tempat tinggal, melainkan terjadi kenaikan permintaan untuk tujuan investasi. Fenomena ini terjadi terutama di negara-negara maju. Selama pandemi Covid-19, likuiditas perbankan melimpah. Kondisi ini mendorong terjadinya penurunan suku bunga simpanan sehingga menurunkan minat pemilik dana menempatkan dananya di perbankan terlalu lama. Di sisi lain, investasi pada instrumen di pasar modal juga berisiko seiring kondisi pasar modal umumnya tertekan (bearish) akibat pandemi.

Kondisi ini lantas mendorong pemilik dana menempatkan dananya pada instrumen non-keuangan. Maka, terjadilah dorongan kenaikan permintaan properti. Terlebih di negara maju, pasar properti sudah sangat likuid seiring dengan pesatnya inovasi produk keuangan berbasis properti. Kini, menjual rumah di sana layaknya menjual saham atau obligasi. Sangat mudah, sehingga masyarakat dapat menikmati keuntungan (capital gain) setiap saat dari kenaikan harga rumah yang terbentuk. Nah, kondisi inilah yang menyebabkan harga rumah di negara-negara maju cenderung meningkat, seolah tidak terpengaruhi dengan krisis akibat pandemi Covid-19.

Kondisi di negara maju tersebut memang berbeda dengan di Indonesia. Saat ini, disrupsi perumahan memang belum terjadi. Hal ini terlihat dari perkembangan harga-harga properti, khususnya rumah tinggal, yang relatif belum bergerak naik. Kenaikan permintaan baru mulai terjadi pada sekitar pertengahan tahun lalu. Di sisi lain, pasokan rumah yang belum terjual masih relatif besar. Bahkan untuk segmen properti komersial, pertumbuhan harganya selama 2020-2021 masih berada di zona negatif.

Namun demikian, potensi terjadinya disrupsi perumahan tetap terbuka di Indonesia. Oleh karena itulah, sejak dini kita perlu mengantisipasi dan mencegahnya. Sebab, bila disrupsi perumahan terjadi dan harga-harga terdorong naik maka hal tersebut berpotensi mengganggu pencapaian target pembangunan sektor perumahan secara nasional.

Sejak tahun lalu, pemulihan ekonomi di Indonesia telah mulai dirasakan. Di tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih tinggi. Kinerja ini tentu akan menciptakan kenaikan permintaan, termasuk perumahan. Namun demikian, dorongan permintaan perumahan diperkirakan tidak hanya berasal dari pemulihan ekonomi, tetapi juga dari faktor-faktor lainnya. Apa saja itu?

Pertama, kebijakan stimulus baik yang diberikan oleh pemerintah maupun Bank Indonesia (BI). Sejak tahun lalu, pemerintah mengeluarkan insentif PPN sebesar 100 persen untuk rumah tapak dan rumah susun baru dengan harga jual maksimal Rp2 miliar. Sementara itu, BI juga mengeluarkan stimulus berupa pelonggaran rasio LTV/FTV kredit/pembiayaan properti menjadi maksimal 100 persen. Kebijakan stimulus ini, meskipun masih terbatas, terbukti cukup efektif mendorong pertumbuhan perumahan tahun lalu dan diperkirakan akan berlanjut di tahun ini.

Kedua, kenaikan harga komoditas juga diperkirakan akan menjadi pendorong pertumbuhan perumahan khususnya di daerah-daerah penghasil komoditas. Pola pertumbuhan permintaan perumahan yang sejalan dengan kenaikan harga komoditas ini mengikuti pola yang sama ketika terjadi booming komoditas di tahun 2012. Dengan kata lain, dorongan pertumbuhan permintaan perumahan di tahun ini diperkirakan tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga di daerah-daerah luar Jawa penghasil komoditas.

Potensi tingginya permintaan perumahan tersebut tentunya perlu diimbangi dengan kesiapan sisi pasokannya. Tahun lalu, kebijakan stimulus, cukup efektif mendorong penjualan stok rumah yang sudah ada (ready stock), sementara stock rumah relatif terbatas. Sementara itu, rumah yang baru dibangun dalam rangka dijual untuk mendapatkan insentif PPN diperkirakan masih relatif sedikit. Dalam kondisi dimana permintaan terhadap perumahan belum sepenuhnya pulih, pengembang biasanya menjual properti secara indent (presales). Artinya, pengembang akan membangun rumah jika sudah ada kepastian pembeli.

Tahun ini dan tahun depan, diperkirakan situasinya akan berubah. Kenaikan permintaan perumahan diperkirakan lebih tinggi. Sehingga, bila kenaikan permintaan ini tidak diimbangi tambahan stock yang cukup diperkirakan dapat berpotensi menciptakan disrupsi dan mendorong kenaikan harga rumah.

Dengan kata lain, pengembang diperkirakan akan membutuhkan pembiayaan modal kerja yang lebih besar. Sedangkan masyarakat pembeli, baik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun kelompok berpenghasilan menengah (middle income), diperkirakan membutuhkan dukungan kredit pemilikan rumah (KPR) yang lebih besar.

Bagi perbankan, khususnya yang bergerak di bisnis KPR, situasi ini menjadi peluang untuk mendorong pertumbuhan kreditnya. Sekaligus komitmen perbankan untuk turut menjaga sisi pasokan melalui pembiayaan perumahan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan tersebut, perbankan yang selama ini berfokus pada pembiayaan perumahan, seperti BTN misalnya, tentunya membutuhkan penguatan struktur modalnya.

Tujuannya, agar perbankan dapat melakukan ekspansi pembiayaan perumahan. Manfaatnya, tidak hanya untuk mengantisipasi potensi kenaikan permintaan tetapi juga dikembangkan untuk menjangkau pembiayaan perumahan, baik dari segmen MBR, kelompok middle income, maupun segmen masyarakat yang belum terjangkau oleh program pembiayaan rumah.

Menjaga pasokan perumahan penting bagi masyarakat dan pemerintah. Ini mengingat, ketersediaan pasokan perumahan memiliki keterkaitan yang kuat dengan kestabilan harga rumah. Sedangkan kestabilan harga memiliki keterkaitan yang kuat dengan pencapaian target pembangunan perumahan, khususnya bagi MBR dan kelompok middle income. Harga rumah yang tinggi menyebabkan akan semakin banyak MBR dan kelompok middle income yang tidak mampu membeli rumah. Konsekuensinya, situasi ini dapat berpotensi mengganggu upaya pemerintah mengejar jumlah kekurangan hunian (backlog).

Kementerian PUPR mencatat jumlah backlog perumahan saat ini sebesar 12,75 juta unit rumah. Jumlah backlog ini belum termasuk pertumbuhan keluarga baru yang diperkirakan sekitar 700-800 ribu per tahun. Melihat masih tingginya jumlah backlog tersebut, peningkatan kapasitas pembiayaan perumahan menjadi sangat penting. Tidak hanya pembiayaan melalui pemerintah, juga pembiayaan melalui dana komersial seperti perbankan. Dengan kata lain, penguatan struktur permodalan perbankan yang fokus pada pembiayaan perumahan juga menjadi sangat penting.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar