Jadi Korban Malpraktik Dokter, Lakukan Langkah Hukum ini

Minggu, 27/03/2022 14:00 WIB
Ilustrasi Malpraktik (Net)

Ilustrasi Malpraktik (Net)

Jakarta, law-justice.co - Dalam pelaksanaan profesi, tidak jarang ditemukan istilah malpraktik. Meskipun dapat terjadi dalam beberapa pekerjaan, tetapi istilah ini identik dengan dunia profesi kedokteran. Malpraktik ini merupakan salah satu bentuk konflik yang terjadi antara dokter dan pasien. Lantas, apa itu malpraktik?

Ditilik dari bahasa, istilah malpraktik (malpraktik) berasal dari dua kata, yaitu mal dan praktik, melansir dari Jurnal Yustisia edisi 2016. Kata ‘mal’ merupakan bahasa Yunani yang bermakna buruk. Sementara praktik memiliki makna melaksanakan pekerjaan (profesi) secara umum, sebagaimana dijelaskan dalam dictionary.cambridge.org, malpraktik merupakan kesalahan dalam pelaksanan sebuah pekerjaan sehingga mengakibatkan cedera atau kerusakan.

Malpraktik dapat terjadi di dalam profesi pekerjaan apapun, salah satunya dalam bidang kedokteran. Dijelaskan dalam repository.unpar.ac.id, dalam dunia medis, malpraktik didefinisikan sebagai kelalaian seorang dokter dalam melaksanakan kewajiban profesionalnya. Dalam malpraktik medis, terdapat dua jenis malpraktik, yaitu malpraktik etik dan mapraktik yuridis.

Malpraktik etik merupakan tindakan bertentangan dengan etika profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Sementara itu, malpraktik yuridis merupakan malpraktik yang berhubungan dengan hukum formil, misalnya malpraktik pidana, perdata dan administratif. Seorang dokter dikatakan melakukan malpraktik apabila menyebabkan kematian atau luka pada pasien dalam bentuk apapun.

Jika seorang dokter terbukti melakukan tindakan malpraktik pidana, maka dokter bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan pasal-pasal yang relavan dengan ruang lingkup malpraktik. Di Indonesia, hukum tentang malpraktik medis diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasca uji materi Mahkamah Konstitusi.

Pembuktikan dari tindakan malpraktik seorang dokter melalui unsur perbutan yang salah karena kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien yang ditangani meninggal dunia atau luka berat hingga sedang. Namun, tidak semua hasil pengobatan yang tidak sejalan dengan harapan pasien merupakan bentuk malpraktik. Kondisi ini berkaca dari kejadian semacam itu juga merupakan bagian risiko tindakan medis. Sebab, ketepatan diagnosis ditentukan oleh banyak faktor. Kadang-kadang faktor-faktor tersebut berada di luar kekuasaan dokter.

Sebagaimana dijelaskan dalam abpla.org, malpraktik medis memiliki beragam bentuk. Contoh bentuk-bentuk kelalaian medis yang bisa berujung pada tuntutan hukum antara lain salah mendiagnosis, salah membaca atau mengabaikan hasil laboraturium, melakukan operasi tidak sesuai dengan yang seharusnya, kesalahan bedah atau operasi, dan memberikan dosis obat yang tidak sesuai.


Langkah Hukum

Pengertian malpraktik justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) yang telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Oleh karena itu secara perundang-undangan, berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Pasal 11 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan: (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratif dalam hal sebagai berikut:

a) melalaikan kewajiban;

b) melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan;

c) mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;

d) melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.

Jadi, dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktik tidak merujuk hanya kepada suatu profesi tertentu sehingga dalam hal ini kami akan menjelaskan dengan merujuk pada ketentuan beberapa profesi yang ada, terkait dokter dan dokter gigi sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Profesi dokter memiliki kode etik sebagai pedoman dalam menjalankan tugas profesi. Selain peraturan perundang-undangan, kode etik biasanya juga dijadikan dasar bagi organisasi profesi tersebut untuk memeriksa apakah ada pelanggaran dalam pelaksanaan tugas.

Organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi biasanya akan menjatuhkan sanksi administratif kepada anggotanya yang terbukti melanggar kode etik.

Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (“MKEK”) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia, ”Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom Ikatan Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.”

Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran (kodeki), di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yakni lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi (lihat Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran). Selain itu, klien atau pasien sebagai pengguna jasa juga merupakan konsumen sehingga dalam hal ini berlaku juga ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Profesi-profesi sebagaimana disebutkan di atas termasuk sebagai pelaku usaha (Pasal 1 angka 3 UUPK), yang berarti ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPK berlaku pada mereka: Pasal 19 ayat (1) UUPK berbunyi: “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Jadi, tindakan seperti apa yang termasuk sebagai malpraktik ditentukan oleh organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kode etik masing-masing profesi.

Setiap tindakan yang terbukti sebagai tindakan malpraktik akan dikenakan sanksi. Sedangkan berkaitan dengan sanksi pidana, pada dasarnya, dalam hukum pidana ada ajaran kesalahan (schuld) dalam hukum pidana terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian (culpa). Namun, dalam undang-undang yang disebut di atas yang aturannya bersifat khusus (lex specialis) semua ketentuan pidananya menyebut harus dengan unsur kesengajaan.

Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa ia dapat pula dikenakan sanksi pidana apabila terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam undang-undang masing-masing profesi. Berdasarkan Pasal 66 ayat [3] UU Praktik Kedokteran), masyarakat yang merasa dirugikan atas tindakan dokter/dokter gigi dapat melaporkan kepada MKDKI dan laporannya itu tak menghilangkan hak masyarakat untuk melapor secara pidana atau menggugat perdata di pengadilan.

Namun, dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk melaporkannya ke MKEK/MKDKI terlebih dahulu. Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa dokter dapat pula dikenakan sanksi pidana apabila terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam undang-undang masing-masing profesi. Namun Pasal 29 UU Kesehatan menyebutkan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Meskipun, korban malpraktik dapat saja langsung mengajukan gugatan perdata. Berdasarkan penjelasan diatas, maka pendapat kami atas persoalan saudara dapat kami simpulkan sebagai berikut :

1. Tindakan dokter tersebut adalah malpraktek.

Berdasarkan keterangan bahwa dokter tersebut memberi resep tanpa memeriksa kondisi pasien dimana hal ini merupakan kewajiban dokter karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 mengatur juga tentang kewajiban dokter dalam melaksanakan praktik dalam Pasal 51 dimana disebutkan bahwa Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas danmampu melakukannya, dan

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Keterangan bahwa dokter hanya memberi resep tanpa memeriksa kondisi pasien maka dokter tersebut telah dikatagorikan sebagai melakukan tindakan yang melanggar standar pelayanan medik yang berlaku.

2. Langkah yang dapat dilakukan keluarga pasien.

Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga kesehatan yakni:

a. Melaporkan kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)/ Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia(MKDKI);

b. Melakukan mediasi;

c. Menggugat secara perdata. Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat dilakukan upaya pelaporan secara pidana yang dilakukan dengan melakukan pelaporan terhadap pihak kepolisian.

3. Apa yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Buat pengaduan secara tertulis dengan mengisi formulir yang dapat diunduh (download) di www.inamc.or.id (Format Pengaduan), atau dapat memperoleh formulir tersebut dengan menghubungi petugas di nomor (021) 72800920

2. Bila tidak dapat membuat pengaduan secara tertulis, dapat mendatangi kantor MKDKI, dan petugas akan membantu membuat pengaduan secara tertulis

3. Jika menemukan kesulitan dalam mengisi formulir tersebut, dapat menanyakannya kepada petugas.

4. Pengaduan tersebut ditujukan kepada Ketua MKDKI, Jl Hang Jebat III Blok F3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120

5. Pengaduan tersebut harus dibubuhi tanda tangan pengadu/pelapor di atas meterai yang cukup. Perlu diketahui bahwa pelaporan ke MKDKI “TIDAK DIKENAKAN BIAYA”, (kecuali biaya transportasi/akomodasi pengadu, teradu, dan saksi-saksi yang diajukan pengadu dan atau teradu) hal ini menurut Pengumuman Konsil Kedokteran Indonesia Nomor TU.03.02/03/XII/6069/2006 tentang Kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menangani kasus dugaan pelanggaran disiplin bagi dokter/dokter gigi dan proses pelaksanaan sanksi disiplin serta pembiayaannya Demikian semoga penjelasan diatas dapat mencerahkan.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar