Perbedaan Pelecehan Seksual dan Kekerasan Seksual, ini Dasar Hukumnya

Jum'at, 11/02/2022 13:00 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual (Pixabay)

Ilustrasi kekerasan seksual (Pixabay)

Jakarta, law-justice.co - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat belasan ribu kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang tahun 2021 lalu.

"Sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan di mana 15,2 persennya adalah kekerasan seksual," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam. Dalam kasus kekerasan terhadap anak, trennya lebih memprihatinkan, karena kasus kekerasan seksual mengambil porsi yang besar. "Pada kasus kekerasan terhadap anak, 45,1 persen kasus dari 14.517 kasus kekerasan terhadap anak merupakan kasus kekerasan seksual," ujarnya.

 


Perbedaan Pelecehan Seksual dan Kekerasan Seksual dari Para Ahli


Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tak diinginkan, termasuk permintaan dan perilaku lainnya yang secara verbal atau fisik merujuk pada seks.

Walaupun secara umum wanita yang sering mendapat sorotan sebagai korban pelecehan seksual, namun pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Korban pelecehan seksual bisa jadi adalah laki-laki ataupun perempuan. Korban bisa jadi adalah lawan jenis dari pelaku pelecehan ataupun berjenis kelamin yang sama.


Menurut Komisioner Subkom Pemantauan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual.

"Pelecehan seksual adalah perbuatan yang dilakukan dalam bentuk fisik atau nonfisik yang tidak dikehendaki dengan cara mengambil gambar, mengintip, memberikan isyarat bermuatan seksual, meminta seseorang melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, memperlihatkan organ seksual baik secara langsung atau menggunakan teknologi, melakukan transmisi yang bermuatan seksual dan melakukan sentuhan fisik," jelasnya dikutip dari Detikcom.

Sementara itu menurut psikolog, Meity Arianty STP.,M.Psi. mengutip dari Winarsunu 2008, pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seks yang dilakukan sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya, bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan.

"Pelecehan seksual adalah perbuatan yang dilakukan dalam bentuk fisik atau nonfisik yang tidak dikehendaki dengan cara mengambil gambar, mengintip, memberikan isyarat bermuatan seksual, meminta seseorang melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, memperlihatkan organ seksual baik secara langsung atau menggunakan teknologi, melakukan transmisi yang bermuatan seksual dan melakukan sentuhan fisik," jelasnya

"Aktifitas yang konotasi seks bisa dianggap pelecehan seks jika mengandung adanya pemaksaan, kehendak sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban dan mengakibatkan penderitaan pada korban," ucap Dosen Psikologi di Gunadarma itu.

Definisi serupa mengenai pelecehan seksual disampaikan komunitas perEMPUan, gerakan dan organisasi yang fokus pada isu perempuan. Komunitas itu sendiri menggunakan kata Empu, yang berasal dari bahasa Sansekerta yang merujuk pada kepemilikan. Bahwa perempuan berhak memiliki tubuhnya dan membela diri untuk melindungi tubuhnya dari kekerasan seksual.

"Kekerasan Seksual adalah setiap tindakan baik berupa ucapan maupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki. Indikator kekerasan seksual saat ada paksaan dari salah satu pihak, aktivitas seksual dan memberikan kepuasan seksual pada satu pihak," jelas Rika Rosvianti dari komunitas perEMPUan.

 


Dasar Hukum Kasus Pelecehan Seksual

 

Pelecehan seksual dianggap sebagai pelanggaran serius. Namun, tidak ada undang-undang khusus yang mengatur bentuk pelecehan/pelecehan seksual, sanksi dan cara mengatasi pelecehan seksual di tempat kerja.

Menteri Tenaga Kerja telah mengeluarkan pedoman khusus tentang Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Pelecehan seksual didefinisikan sebagai “setiap perilaku yang tidak diinginkan yang bersifat seksual, permintaan untuk bantuan seksual, perilaku verbal atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual; atau perilaku lain yang bersifat seksual yang membuat penerima merasa terhina, tersinggung dan/atau terintimidasi, dimana reaksi tersebut wajar dalam situasi dan kondisi; atau dibuat menjadi persyaratan kerja atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan atau tidak pantas”.

Pedoman tersebut mendefinisikan berbagai bentuk pelecehan seksual, yang meliputi pelecehan fisik, verbal, gestural, tertulis atau grafis dan psikologis atau emosional.

Pelecehan seksual merupakan kejahatan terhadap kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 294 ayat (2) KUHP Indonesia. Selain itu, Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan (UU No.13 Tahun 2003) mengatur bahwa pekerja berhak atas perlindungan moral.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tidak secara eksplisit menyebutkan hukuman apapun untuk pelecehan seksual; itu melarang tindakan tidak senonoh di depan umum dan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melakukan hubungan seksual. Ketentuan ini menjadi dasar untuk pengaduan pidana yang berasal dari pelecehan seksual di tempat kerja. Korban atau orang lain yang mengetahui kejadian tersebut harus mengajukan pengaduan resmi. KUHP memberlakukan hukuman hingga dua tahun delapan bulan dan denda uang. Jika terjadi kekerasan untuk hubungan seksual, hukumannya dinaikkan menjadi 12 tahun.

Seorang pekerja dapat mengajukan permintaan resmi kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (pengadilan hubungan industrial) untuk memutuskan hubungan kerjanya jika pengusaha telah memukul, mempermalukan atau mengintimidasi pekerja secara kasar.

Perusahaan juga dapat memutuskan kontrak kerja pekerja yang telah melakukan perbuatan tercela yang contohnya antara lain sebagai berikut: pekerja tersebut telah melakukan perbuatan asusila/tidak senonoh atau berjudi di lingkungan kerja atau telah menyerang, dipukuli, dianiaya, dihina, diancam, atau mengintimidasi rekan kerja atau pengusaha di lingkungan kerja.


Dasar Hukum Kasus Kekerasan Sesual

Meskipun pada berbagai regulasi di Indonesia telah dikenal berbagai jenis terminologi yang menjelaskan tentang tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan seksual.

Mulai dari kejahatan terhadap kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), kejahatan terhadap kehormatan dalam beberapa terjemahan KUHP, kejahatan seksual dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), kekerasan seksual dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(selanjutnya disebut UU PKDRT) dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (selanjutnya disebut UU Pornografi). Namun, sekalipun peraturan perundang- undangan di atas telah memuat berbagai tindak pidana yang berkaitan dengan kekerasan seksual, KUHP sendiri tidak memberikan pengertian khusus mengenai tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan seksual, melainkan langsung menjabarkannya dalam rumusan pasal.

Begitu juga dengan UU Perlindungan Anak yang hanya merujuk kepada KUHP, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disebut UU PTPPO) yang hanya mengatur kekerasan dalam konteks perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual, dan UU PKDRT yang tidak memberikan pengertian yang jelas tentang kekerasan seksual

 

Sumber: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum dan Artikel 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar