Beralih ke Energi Baru Jangan Buat Rakyat Tercekik Tarif Listrik

Sabtu, 13/11/2021 13:00 WIB
Energi Baru Terbarukan berupa panel surya. (Foto: esdm.go.id).

Energi Baru Terbarukan berupa panel surya. (Foto: esdm.go.id).

law-justice.co - Pemerintah diminta tak gegabah melaksanakan transisi teknologi pembangkit listrik dari sumber energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Salah satu yang harus diperhatikan adalah menyiapkan proses transisi itu secara bertahap agar tidak terjadi lonjakan tarif listrik secara berlebihan.

Dalam Forum Kehumasan Dewan Energi Nasional bertema "Menuju Bauran Energi Nasional Tahun 2025" di Bandung, Kamis (8/4/2021) lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengungkapkan target bauran EBT pada 2025 adalah sebesar 23 persen.

Anggota Komisi Energi DPR RI, Mulyanto, mengatakan upaya meningkatkan bauran EBT sebesar 23 persen itu harus dilakukan secara hati-hati agar tidak merugikan masyarakat. Meski begitu, ia mendukung rencana pemerintah tersebut.

"Pemerintah memang harus meningkatkan bauran EBT. Apalagi isu energi hijau ini sudah menjadi agenda bersama antarnegara. Namun pelaksanaannya harus cermat, agar biaya pokok pembangkitan (BPP) atau tarif listrik tidak ikut naik. Kalau ini terjadi, akibatnya rakyat juga yang jadi korban," kata Mulyanto kepada Law-Justice, Jumat (13/11/2021).

Dua menjelaskan, ada dua faktor penyebab BPP listrik naik sampai tahun 2030, yaitu dominasi IPP (listrik swasta) yang mencapai 65 persen dan porsi EBT yang mencapai 52 persen. Berdasarkan data PLN, listrik dari PLTU dan pembangkit PLN lebih murah dibandingkan dengan listrik EBT dan IPP.

Sesuai dengan data RUPTL 2021-2030, BPP PLN akan naik dari Rp 1.423/ kWh pada tahun 2021 menjadi Rp1.689/kWh pada tahun 2025.

Dengan kenaikan BPP tersebut, maka beban tambahan untuk subsidi dan kompensasi akan membengkak dua kali lipat lebih, dari Rp 71.9 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 182.3 triliun pada tahun 2025.

Sebab itu, Mulyanto meminta pemerintah memperhatikan kemampuan keuangan PLN sebagai operator listrik. Pemerintah jangan menutup mata pada masalah yang dihadapi PLN.

"Jangan sampai kebijakan energi bersih ini makin menghimpit keuangan PLN. Sekarang saja utang PLN sudah lebih dari Rp 500 triliun," ujar Mulyanto.

Dia juga mendesak pemerintah mengembangkan EBT di wilayah-wilayah defisit energi. Sebab, selama ini pemerintah lebih sering mengembangkan EBT di wilayah surplus energi, seperti Jawa dan Sumatera.

"Ini akan mubazir dan menyebabkan biaya yang harus ditanggung oleh PLN akan membengkak," kata Mulyanto.

Dia juga mengingatkan pemerintah tidak mudah didikte oleh negara maju. Negara raksasa PLTU seperti China, India, dan Amerika saja tidak berkomitmen untuk menghapus PLTU.

"Kita harus komit pada kepentingan bangsa terkait ketahanan energi nasional, menyediakan energi yang cukup, murah, dan syukur-syukut bersih. Jangan membebani rakyat dengan tarif listrik yang mencekik," tandasnya.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar