LQ Buka-Bukaan Soal PMJ Sarang Mafia Hukum, Ini Kata Korban

Senin, 11/10/2021 14:00 WIB
Ketua Pengurus LQ Indonesia Lawfirm, Alvin Lim dan Gedung Polda Metro Jaya. (Foto: Diolah dari google).

Ketua Pengurus LQ Indonesia Lawfirm, Alvin Lim dan Gedung Polda Metro Jaya. (Foto: Diolah dari google).

law-justice.co - LQ Indonesia Lawfirm buka-bukaan soal praktek mafia hukum oleh oknum Subdirektorat Fisikal, Moneter, dan Devisa (Fismondev) Polda Metro Jaya. Kepala Bidang Humas LQ Indonesia Lawfirm, Sugi, menyatakan bukti praktek mafia tergambar dalam penanganan kasus gagal bayar Kresna Sekuritas.

"Penyidik dan Kanit (Kepala Unit) minta uang untuk ongkos jalan-jalan ke Kalimantan, untuk hotel dan uang saku puluhan juta, katanya untuk biaya transport pengurusan kasus kami," kata Sugi dalam keterangan tertulis, Senin (11/10/2021).

Kronologis Singkat Perkara

Sugi menuturkan ada tiga klien mereka yang menjadi korban dalam kasus gagal bayar perusahaan keuangan senilai Rp 58 miliar. Mereka yang menjadi korban perusahaan dan diperas oknum polisi adalah berinisial AS, J, dan CN.

Bermula ketika mereka memberikan kuasa kepada LQ Indonesia melapor ke Polda Metro Jaya dengan LP #4834/VIII/YAN 2.5/2020/SPKT PMJ Tanggal 14 Agustus 2020 dengan Terlapor Michael Steven, Inggrid, Oktavianus Budianto, Jimmy Nyo dan Dewi Ria Juliana.

LP tersebut jatuh ke tangan Subdit Fismondev dan ditangani oleh Unit 4. AS menceritakan, awal LP kasus ditangani dengan cepat setelah Polda Metro Jaya meminta puluhan juta untuk biaya transport yang katanya untuk menyewa hotel, pesawat, dan uang saku. Uang tersebut kemudian dia berikan dengan harapan polisi mau menangani secara serius perkara ini.

"Namun terjadi pergantian Kanit dan LP, mandek. Ketika saya tanyakan kuasa hukum, kami ditunjukkan WA penyidik ke kuasa hukum kami bahwa diminta untuk menghadap Kanit baru dan koordinasi lagi. Saya bingung, koordinasi apa? Mestinya ada surat panggilan pemeriksaan jika sesuai proses hukum, bukan dipanggil menghadap dan koordinasi. Dijelaskanlah oleh Kuasa Hukum kami bahwa "Koordinasi" adalah kode Oknum meminta uang untuk menjalankan perkara. Sangat kecewa kami  mencari keadilan namun yang ada laporan kami mandek," bebernya.

Adapun "J" menceritakan, salah satu temannya yang merupakan Direktur Utama perusahaan pengembang ternama, menghubungkan dia dengan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran, yang kemudian diarahkan bertemu dengan Kasubdit Abdul Aziz.

"Saya dan ayah saya menemui Kasubdit Fismondev dan dijanjikan akan dibantu dalam penanganan kasus Kresna Sekuritas. Nyatanya berbulan-bulan menunggu tidak ada progres perkembangan perkara dan diminta koordinasi dengan Kanit baru oleh Penyidik Yansen. Bukankah tugas polisi melindungi masyarakat yang menjadi korban dan memproses hukum. Laporan kami sampai sekarang masih tahap lidik, bahkan penyidik Fismondev tidak mampu menghadirkan Michael Steven dan Inggrid," ungkapnya.

Modus Oknum Polisi

Sugi menjelaskan, praktek pemerasan kepada korban pencari keadilan bukan hanya terjadi kali ini. Sebelumnya, Subdit Fismondev Unit 5 juga diduga memeras korban untuk biaya SP3 sebesar Rp500 Juta "lima kosong kosong sampai Direktur (red: Direktur Kriminal Khusus), kendalanya disitu bang," ucap oknum polisi yang rekamannya telah dipublikasikan di Youtube LQ Lawfirm.

"Kali ini modus meminta uang koordinasi dan menghadap pemimpin penyidik diterapkan di Unit 4 Fismondev apabila mau kasus berjalan. Slogan Oknum penyidik `kasih data saja maka kasus jadi perdata, bila mau jadi pidana maka kasih dana`," ujar Sugi.

Kelakuan oknum polisi yang diduga memainkan perkara itu sejalan dengan realita yang diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Mahmodin tentang persepsi publik terhadap kinerja kepolisian.

Dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Kompolnas dan Polri Tahun 2021 secara virtual, Senin (3/10/2021), Mahfud mengungkapkan aduan paling banyak dari keluhan masyarakat adalah soal kinerja Polri.

"Dari berbagai surat tersebut yang paling banyak adalah keluhan atau pengaduan masyarakat terkait kinerja Polri," ujarnya.

Penegakan hukum di Indonesia oleh aparat kepolisian kembali menjadi sorotan setelah sebelumnya bergema Polda Metro Jaya Sarang Mafia Hukum. Belakangan, viral di media sosial tentang pengakuan seorang ibu dari Luwu Utara yang menyebutkan anaknya diperkosa oleh ayah kandungnya, namun kasus ini justru dihentikan oleh polisi.

Kasus yang dihentikan itu mendapat protes publik lewat tagar PercumaLaporPolisi. Akun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) @KontraS ikut memberi komentar kekecewaan terhadap Polri dengan menyebut akun Divisi Humas Polri.

Ketua pengurus LQ Indonesia Lawfirm, Alvin Lim, mengaku prihatin dengan kinerja kepolisian. Menurut dia, alasan polisi bahwa tidak cukup bukti dalam kasus pemerkosaan anak kandung di Luwu Timur itu jelas hanya alasan kosong yang diberikan kepada orang awam.

"Bicara alat bukti diatur di pasal 184 KUHAP, tentunya bisa 2 alat bukti ada. Pertama adalah keterangan saksi, sang ibu dan orang lain yang mengetahui kejadian bisa dijadikan saksi. Keterangan saksi adalah alat bukti. Kedua, adalah keterangan ahli, di mana sang anak bisa diforensik selaput daranya, benarkah ada daya paksa. Keterangan ahli ini nantinya juga alat bukti, sah diatur dalam pasal 184 KUHAP. Jadi janganlah bodoh-bodohi masyarakat," ujar Alvin.

Alvin berujar, pada praktiknya laporan polisi tidak akan diproses bila tidak ada uangnya. Di sinilah dibutuhkan atensi dari pemerintah. Bila kasus seperti di atas dibiarkan, maka citra Korps Bhayangkara akan runtuh karena diisi oleh oknum aparat Polri yang korup.

"Juga ingat tugas mencari bukti itu ada di kepolisian. Di Amerika, polisi itu adalah Crime Investigator, mereka cari bukti. Di Indonesia, oknum polisi males, maunya pelapor siapin alat bukti. Parahnya, kadang ada alat bukti tapi tidak mau diakui. Bagaimana Indonesia mau maju?," tandas Alvin.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar