Dibalik Somasi Lord Luhut Kepada Aktivis LSM

Menelisik Perang Bintang dalam Bisnis Tambang di Papua

Sabtu, 18/09/2021 11:06 WIB
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (Foto: Kemenkomarves).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (Foto: Kemenkomarves).

law-justice.co - Akhir-akhir ini Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan sedang sibuk dengan somasi yang dia layangkan kepada Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dan Direktur Lokataru Haris Azhar. Somasi tersebut terkait dengan unggahan video di kanal YouTube Haris Azhar yang berjudul "Ada Lord Luhut Di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!".

Dalam video tersebut, Haris dan Fatia berbicara tentang peran Luhut dan jenderal-jenderal lainnya dalam operasi militer di Intan Jaya, Papua. Obrolan tersebut berdasarkan hasil riset sejumlah organisasi seperti KontraS, Walhi, JATAM, YLBHI,  dan LBH Papua yang mengulas bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI di balik tambang emas dan rencana eksploitasi daerah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua.

Laporan Indikasi Kepentingan ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua` itu, mengungkap pengerahan ilegal kekuatan militer dan kemungkinan relasinya dengan konsesi perusahaan tambang. Dua dari empat konsesi tambang yang diteliti di Intan Jaya terhubung dengan alat negara. Di Derewo River Gold Project bahkan ada jejak perusahaan Tobacom Del Mandiri dan Tambang Raya Sejahtera, yang merupakan bagian dari Toba Sejahtra Group yang sahamnya dimiliki Luhut Binsar Pandjaitan.

Riset yang diluncurkan oleh WALHI, JATAM Nasional, YLBHI, Yayasan Pusaka, LBH Papua, WALHI Papua, KontraS, Greenpeace, Bersihkan Indonesia, dan Trend Asia mengkaji keterkaitan operasi militer ilegal di Papua dan industri ekstraktif tambang dengan menggunakan kacamata ekonomi-politik. Berdasarkan kajian tersebut, Law-Justice mencoba mengurai dugaan keterlibatan Menko Marves dalam bisnis Tambang Emas di Intan Jaya.

Salah satu perusahaan tambang di Blok Wabu yang diduga terafiliasi dengan Luhut Binsar Panjaitan adalah PT Tambang Raya Sejahtera atau PT Tobacom Del Mandiri. Pengelolaan penambangan emas dilakukan dengan cara menumpang lewat PT Madinah Qurrata`Aini. Manajer Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Wahyu Perdana, yang juga terlibat dalam penelitian tersebut mengatakan, hubungan PT Madinah dan Tobacom bisa dilacak dari keterkaitannya dengan perusahaan tambang asal Australia, West Wits Mining (WWM).


Haris Azhar dan Fatia Maulidiaynti (Foto: YouTube Haris Azhar).


WWM memiliki saham di PT Madinah sebesar 64 persen. Kepemilikan ini menandakan bahwa WWM merupakan pemegang utama yang memiliki kontrol penuh terhadap PT Madinah. Pada 2011, saham mayoritas WWM dipegang oleh DRD Gold Ltd (23%), Mintails Ltd (21%), Geotorm Investments Limited (4,7%) dan AMN Nomineeds Limited (4,4%). Kemudian pada 2016 lalu, WWM memberikan sebesar 30 persen sahamnya kepada Tobacom sebagai bentuk aliansi bisnis.

Pemberian saham 30 persen itu juga memberikan tanggung jawab dan sertifikat kepada Tobacom atas izin kehutanan untuk proyek tambang emas Sungai Derewo di Papua serta mengamankan akses ke lokasi proyek. Kepemilikan saham yang cukup besar di WWM ini memungkinkan Tobacom untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Tobacom dipastikan memiliki peran kuat dalam operasi tambang di Blok Wabu melalui bendera PT Madinah Qurrata`Aini.

Meski begitu, dari penelusuran di jejaring internet maupun media sosial, tidak ditemukan jelas profil Tobacom Del Mandiri. Perusahaan ini hanya disebut beralamat di Wisma Bakrie, Jalan Rasuna Said, Karet, Setiabudi, Jakarta Selatan. Di beberapa situs juga tidak ditemukan nomor telepon perusahaan tersebut.

Tobacom disebut-sebut sebagai anak usaha Toba Sejahtra Group, perusahaan yang bergerak di bidang energi, baik kelistrikan, pertambangan, dan migas, serta perkebunan dan hutan tanaman industri, properti, dan industri. Toba Sejahtra Group didirikan pada 2004 dan tercatat telah bekerja sama dengan berbagai perusahaan dunia untuk mengelola aset-aset sumber daya alam di Indonesia. Luhut tercatat sebagai pemilik Toba Sejahtra. Namun pada 2017, ia melepas 90 persen saham miliknya hingga tinggal menyisakan 9,9 persen.

Law-Justice mencoba menelusuri profil Tobacom lewat Direktur PT Toba Bara Sejahtra, yang telah berganti nama menjadi PT Toba Bara Sejahtra Energi, Pandu Patria Sjahrir. Namun, keponakan Luhut tersebut enggan menanggapi hal ini. Dia menyarankan agar pertanyaan mengenai profil Tobacom dan keterkaitannya dengan Toba Sejahtra Group disampaikan lewat sekretaris perusahaannya, Pingkan Melati.

Saat dihubungi, Pingkan mengatakan PT Toba Bara Sejahtra Energi merupakan perusahaan yang berbeda dengan PT Toba Sejahtra Group. Meski memiliki nama yang mirip dan sering dikaitkan sebagai milik Luhut, Pingkan mengatakan kedua perusahaan berdiri sendiri dalam bisnis pertambangan.

"Kami tidak dapat memberikan konfirmasi mengenai hal tersebut oleh karena TBS (Toba Bara Sejahtra) Energi dan PT Toba Sejahtra adalah dua perusahaan yang berbeda," katanya, Rabu (15/9) lalu.

Nama PT Toba Sejahtra tercantum sebagai pemegang saham PT Toba Bara Sejahtra Energi. Dalam laman resminya, PT Toba Sejahtra memiliki 10 persen saham. Adapun pemegang saham utama PT Toba Bara Sejahtra Energi adalah Highland Strategic Holdings Pte. Ltd., perusahaan investasi yang berdomisili di Singapura.

Dalam website resminya di tobabara.com, Highland memegang 61,79 persen saham Toba Bara Sejahtra Energi, sementara Pingkan menyebut saham yang dimiliki perusahaan tersebut sebesar 61.91 persen.

Meski saham Luhut di Toba Sejahtra Group telah menyusut, keberadaannya di pusaran bisnis tambang emas Blok Wabu diyakini berperan kuat. Menurut Wahyu Perdana dari WALHI Nasional, peran pemegang saham yang masuk dalam lingkaran pemerintah bisa mempengaruhi pengambilan kebijakan terhadap eksploitasi lahan tambang di Blok Wabu.

Hal ini merujuk Pasal 4 ayat (1) huruf e Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pendanaan Terorisme. Ketentuan ini mengatur soal kriteria pemegang manfaat (Beneficial Ownership) sebuah perusahaan yang memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun.

Sebagai pemegang saham, Luhut yang merupakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi diyakini memenuhi kriteria tersebut.

"Pemaknaan BO (Beneficial Ownership) atau penerima manfaat (korporasi) telah cukup jelas dalam regulasi kita. Dalam konteks ini transparansi terhadap publik harus transparan, khususnya terkait dengan pengambil kebijakan publik yang punya relasi dengan korporasi, sehingga tidak ada konflik kepentingan. Pada sisi lain kejelasan BO akan memudahkan pertanggungjawaban dan penegakan hukum, terlebih jika terkait dengan kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM," kata Wahyu.

Direktur LBH Papua Emanuel Gobay mengatakan, aktivitas penambangan emas di Papua tak pernah berjalan mulus karena kerap mendapat penolakan warga setempat. Kabupaten Intan Jaya yang menjadi area konsesi Blok Wabu juga tak lepas dari peristiwa kekerasan. Sebenarnya, kata dia, serangkaian operasi militer yang terjadi di beberapa kabupaten di Papua berkelindan dengan kepentingan ekonomi.


Direktur LBH Papua Emanuel Gobay (Foto: Jubi).


Pernyataan tersebut sejalan dengan kajian cepat yang dilakukan sejumlah LSM belakangan. Mereka menduga perusahaan dan operasi militer terpaut dengan Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Perubahan Peraturan Kapolri Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Pemberian Bantuan Pengamanan Pada Objek Vital Tertentu.

Kajian ini memperlihatkan indikasi relasi antara konsesi perusahaan dengan penempatan dan penerjunan militer di Papua dengan mengambil satu kasus di Kabupaten Intan Jaya. Emanuel Gobay menyebut, saat ini saja terdapat empat pos TNI-Polri di Intan Jaya yang diduga menguntungkan operasi perusahaan tambang.

Empat pos itu diantaranya Polsek Sugapa, Polres Intan Jaya, Kodim Persiapan Intan Jaya, dan Koramil Persiapan Hitadipa. Dengan dalih memerangi kelompok separatis, operasi militer yang berdekatan dengan konsesi Blok Wabu memorak-porandakan kehidupan warga lokal di sana.

Dalam dokumentasi kasus dugaan pelanggaran HAM berat tahun 2020 yang ditulis oleh Emanuel Gobay dan Johnny T. Wakum, menyebutkan operasi penegakan hukum dan operasi militer di Papua berjalan secara terstruktur. Aparat militer awalnya memburu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di kawasan Kabupaten Nduga. Perang kemudian berlanjut ke Kabupaten Intan Jaya sebelum tembus ke Kabupaten Mimika.

"Saat ini berlanjut ke Kabupaten Puncak yang berdampak pada darurat kemanusiaan yang dialami oleh masyarakat sipil yang berada di tengah-tengah wilayah konflik bersenjata antara TNI–Polri vs TPN PB, sebagaimana terlihat dalam kasus pengungsian dan kasus pelanggaran hak hidup di keempat kabupaten," tulis laporan tersebut.

Dokumentasi itu juga mencatat jumlah pengungsi dan pelanggaran hak hidup baik di Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Puncak Jaya. Data tersebut antara lain sebagai berikut:

  1. Kabupaten Nduga
    - Pengungsi: 37.000 orang
    - Pelanggaran hak hidup atas nama: 1) Yulince Bugi (2019), 2). Yuliana Doronggi (2019); 3) Masen Kusumburue (2019); 4) Tolop Bugi (2019); 5) Hardius Bugi (2019); 6) Elias Karunggu (2020) dan 7); Seru Karunggu (2020).
  2. Kabupaten Intan Jaya
    - Pengungsi: 1.237 orang
    - Korban dengan luka tembak: Agustinus Duwitau (2020)
    - Pelanggaran hak hidup atas nama: Pdt Yeremia Zanambani (2020) dan Rufinus Tigau (2020)
  3. Kabupaten Mimika
    - Pengungsi: 1.582 warga
    - Pelanggaran hak hidup: Ronny Wandik (2020) dan Eden Armandi Bebari (2020)
  4. Kabupaten Puncak Jaya
    - Korban dengan luka tembak: Amanus alias Maluk Murib (2020)
    - Pelanggaran hak hidup atas nama: Atanius Murib (2020), Aki Alom (2020), Wapenus Tabuni (2020), dan Warius Murib (2020).

"Dengan mereka mengungsi itu kan secara tidak langsung mereka meninggalkan tanah adatnya, meninggalkan rumahnya, meninggalkan aktivitas berkebunnya, meninggalkan sekolahnya, meninggalkan gerejanya. Bahkan dengan kondisi sakit pun mereka lari sehingga sulit mendapatkan hak atas kesehatan," ungkap Emanuel Gobay kepada Law-Justice, Senin (13/9) lalu.


(Grafis: LBH Papua dkk).


Di tengah kondisi darurat kemanusiaan di Papua melalui kasus pengungsian dan kasus pelanggaran hak hidup yang dialami masyarakat sipil, masyarakat Papua dihebohkan dengan beredarnya Surat Keputusan Gubernur Papua Nomor: 540/11625/SET, tentang rekomendasi wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada Direktur Utama PT Mining Industry Indonesia (MIND ID). Surat tersebut tertanggal 24 Juli 2020 terkait rencana eksploitasi lahan di Gunung Wabu Kabupaten Intan Jaya.

Rupanya, surat itu merupakan realisasi dari minat pemerintah daerah Papua untuk mengelola Blok Wabu. Ketika itu, Pemerintah Provinsi Papua bahkan meminta Menteri ESDM untuk segera menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) di Blok Wabu, sehingga pemerintah daerah setempat bisa mencari investor untuk mengelola blok tersebut.

Pada awal Juli 2015, PT Freeport resmi mengembalikan sebagian wilayah operasi tambangnya kepada pemerintah Indonesia seluas 90.360 hektar. Pengembalian Blok Wabu oleh Freeport ini disampaikan langsung oleh Chairman of the Board Freeport-McMoran Inc, James R. Moffet dan didampingi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin kepada Presiden Joko Widodo pada di Istana Kepresidenan.

Adapun luas Blok Wabu mencapai 10.700 hektar dan potensi sebesar 4,3 juta ton bijih emas berkadar emas (Au) 2,47 gram per ton. Adapun potensi cadangan emas di Blok Wabu Intan Jaya saat ini bernilai hingga US$ 14 miliar atau sekitar Rp 207,2 triliun.

Perusahaan yang ditunjuk untuk menggarap lahan konsesi PTFI (Blok Wabu) yang dikembalikan ke Pemerintah Indonesia adalah PT ANTAM. Ada dua nama aparat militer di ANTAM yakni Purnawirawan TNI Agus Surya Bakti dan Komisaris Jenderal Polisi Bambang Sunarwibowo. Di ANTAM, Agus Surya Bakti menjabat sebagai Komisaris Utama, sementara Bambang Sunarwibowo merupakan Komisaris.

Di samping itu, Bambang Sunarwibowo juga tercatat masih aktif menjabat sebagai Sekretaris Utama Badan Intelijen Nasional. Sementara di tubuh MIND ID ada nama Purnawirawan TNI Doni Monardo sebagai Komisaris Utama dan Purnawirawan Muhammad Munir sebagai Komisaris Independen. Sampai saat ini, Muhammad Munir juga tercatat berkiprah sebagai Ketua Dewan Analisa Strategis Badan Intelijen Negara.

Sejumlah pimpinan dan anggota Komisi I DPR RI yang dihubungi Law-Justice enggan berkomentar terkait hasil kajian dari beberapa LSM tersebut, terutama keterlibatan pejabat BIN di PT ANTAM dan MIND ID.


(Grafis: LBH Papua dkk.).


Wakil Ketua Komisi I DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdul Kharis Almasyhari, misalnya, tak merespons panggilan yang ditujukan ke nomor teleponnya sesudah Law-Justice melontarkan pertanyaan dan menunjukkan riset KontraS dkk. Demikian halnya dengan Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi Demokrat, Teuku Riefky Harsya, ia tak menjawab sedikit pun pertanyaan yang dikirimkan melalui aplikasi pesan singkat. Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid juga tidak merespons.

Saat dimintai konfirmasi perihal penunjukkan PT Antam sebagai penggarap lahan konsesi Blok Wabu, Sekretaris Perusahaan PT Antam Yulan Kustiyan enggan berbicara. Ia menyarankan Law-Justice untuk menanyakan hal tersebut kepada Corporate Communication PT Antam, Sinta. Hingga berita ini ditayangkan, Sinta belum memberikan jawaban apapun.

Luhut Membantah dan Merasa Difitnah
Pihak Luhut sendiri tidak terima dengan tudingan bahwa dia berperan dalam relasi operasi militer dan bisnis tambang emas di Intan Jaya, Papua. Melalui kuasa hukumnya, Juniver Girsang, Luhut melayangkan somasi pada 26 Agustus 2021. Luhut ingin Haris Azhar dan Fatia meminta maaf dan menghapus video tersebut. Jubir Luhut di Kemenko Marves, Jordi Masardi, menuding kajian tersebut tendensius dan fitnah terhadap Luhut.

Juniver menegaskan bahwa anggapan terkait Luhut bermain dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua itu adalah tidak benar.

Juniver menyatakan bila Haris Azhar telah merespon somasi yang dilayangkan oleh Luhut pekan lalu, meski begitu respons Haris Azhar tersebut belum menjawab isi somasi tersebut.

"Perkembanganya saat ini, baru dia jawab somasi kita minggu lalu tapi jawaban itu belum sesuai dengan apa yang kami minta," ungkap Juniver saat dihubungi Law-Justice, Jumat 17 September 2021.

Terkait dengan langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh pihak Luhut, Juniver mengatakan bila pihaknya masih mempelajari langkah hukum apa yang akan diambil.

"Saat ini kami masih berdiskusi dengan klien mengenai langkah hukum apa yang akan diambil kedepan kepada mereka yang telah memfitnah dan mencemarkan nama baik klien kami," katanya.

Juniver menyatakan saat ini belum bisa memberitahukan lebih lanjut apakah pihaknya akan melaporkan Haris Azhar dan Fatia ke pihak berwajib.

"Nanti kami informasikan ke teman-teman media agar bisa tahu langkah hukum apa yang akan kami ambil," ungkapnya.

Sampai saat ini permintaan Luhut tidak dikabulkan oleh Haris Azhar sehingga lahirlah somasi kedua. Haris mengundang Luhut untuk berbicara di kanal YouTube-nya dan mengkonfirmasi secara langsung, namun pihak Luhut menolak undangan tersebut.

Sementara dari pihak Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, melalui kuasa hukumnya Julius Ibrani mengatakan, Fatia hanya menjalankan tugas kelembagaan KontraS yang mengadvokasi melalui kajian berbasis data dan menemukan dugaan konflik kepentingan Pejabat Negara dengan bisnis tambang emas di Intan Jaya, Papua.

"Somasi itu tidak mengacu pada kajian KontraS, melainkan hanya pada siaran YouYube Haris Azhar. Padahal pernyataan Fatia di YouTube tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks intertekstualitas berdasarkan kajian," kata Julius kepada Law-Justice.

Julius juga mengatakan bahwa sampai saat ini pihak Luhut belum membantah secara konkret dan detail tentang informasi yang dilaporkan oleh kajian beberapa LSM tersebut.

"Informasi mana dari kajian itu yang dianggap tidak benar? Sampai sekarang belum ada (penjelasan dari Luhut). Jika ada informasi dan data Kajian yang bisa ditunjukan oleh Pak Luhut titik ketidakbenarannya, tentu Fatia atau KontraS akan melakukan perbaikan jawaban," ujar Julius.

Julius menambahkan, tren somasi dari pejabat negara yang tidak terima karena dikritik merupakan `lampu merah` bagi iklim demokrasi Indonesia. Pejabat negara yang merasa dirugikan, kata Julius, seharusnya melakukan klarifikasi, audiensi, atau diskusi secara terbuka agar publik menjadi paham.


Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan / kiri (Foto: Law-Justice/Robinsar Nainggolan).


"Segala bentuk sanggahan pemerintah atau Pejabat Negara harus dalam koridor hubungan ketatanegaraan, antara Pemerintah atau Pejabat Negara dengan warga negaranya. Bukan membawanya ke forum personal seperti Somasi," imbuh Julius.

Bisnis Mengeruk Perut Bumi Berbalut Operasi Militer?
Menanggapi temuan kajian dari sejumlah LSM tersebut, Anggota DPD RI asal Papua, Filep Wamafma, ikut buka suara. Filep mengatakan, pemerintah harus menindaklanjuti dan mengusut tuntas dugaan agenda lain di balik operasi militer di Intan Jaya, Papua.

Dia juga menyebut posisi presiden selaku panglima tertinggi seharusnya mengetahui persoalan ini karena sifatnya sangat mendasar dan krusial.

Muncul pertanyaan apakah temuan tersebut juga berkontribusi pada kegagalan Otsus Jilid 1, ia berharap persoalan ini segera terurai dengan jelas agar cita-cita membangun kesejahteraan masyarakat Papua diantaranya melalui Otsus dapat terwujud.

“Rakyat Papua membutuhkan ketegasan Presiden. Temuan-temuan dari berbagai LSM harus ditindaklanjuti, minimal dengan membentuk Satgas. Apakah Otsus Jilid 1 gagal karena permainan operasi militer namun berkedok investasi? Kita semua harus mencari benang merah ini supaya Otsus Jilid 2 tidak dihantui oleh operasi militer dan mengulangi kegagalan yang sama,” jelas Filep kepada Law-Justice.

Ia juga melihat data mencurigakan terkait tingginya biaya keamanan di Papua yang terus digelontorkan maka ini perlu dikawal bersama.

“Kami juga menaruh curiga terkait permainan dana Otsus. Biaya keamanan itu termasuk paling tinggi. Jangan – jangan operasi militer diadakan juga hanya karena tidak ingin dana tersebut terhenti. Disamping diduga agenda-agenda lainnya,” ujarnya.

Filep menegaskan fokus persoalan tersebut tentu berdampak langsung kepada masyarakat Papua, terkait hak-hak masyarakat asli Papua yang terancam apabila temuan tersebut benar.

Pasalnya, temuan ini menyisakan pertanyaan apakah operasi-operasi militer yang dilakukan di Papua, murni disebabkan oleh gangguan keamanan, ketertiban, atau gerakan pro kemerdekaan.

Keberadaan operasi militer dan peristiwa-peristiwa di Papua, kata Filep, telah menyebabkan rasa traumatis bagi masyarakat.

“Saya tidak ingin menunjuk siapa yang berada di balik ini semua. Entah pejabat entah bukan pejabat, yang jelas temuan di atas harus ditindaklanjuti. Bila perlu, Komnas HAM ikut turun tangan untuk menguraikan, kejahatan HAM di balik investasi dan operasi militer. Kalau sampai temuan itu benar, mau dibawa kemana wibawa Pemerintah dalam hal ini Presiden? Karena sudah puluhan tahun berjalan.” paparnya.

Sementara itu, Divisi Jaringan dan Simpul Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) nasional Ki Bagus Hadikusuma mengaku prihatin dengan kondisi ini.

Terlepas dengan kondisi yang berada di Intan Jaya Papua, Bagus turut menyoroti konflik tanah tambang yang terjadi di era pemerintahan Jokowi, terhitung sejak 2014 sampai 2020 tercatat sudah ada 116 konflik tanah tambang dengan luasan 1.640.400 hektar atau setara 3x luas Pulau Bali.

"Ini catatan yang sangat buruk, karena dalam waktu setahun saja konflik yang terjadi bisa 5 kali lebih banyak dari tahun 2019," sorot Ki Bagus melalui keteranganya kepada Law-Justice.

Hal tersebut akan semakin bertambah parah karena disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) oleh pemerintah dan DPR akhir tahun lalu.

"Sekarang kewenangan memberi izin, mengawasi pertambangan itu seluruhnya diserahkan ke pemerintah pusat lewat UU Cipta Kerja, sementara saat dikerjakan pemerintah daerah saja seperti ini potret daya rusaknya, bagaimana kalau semua terpusat di Jakarta," katanya.

Bisnis Tambang Pensiunan TNI-Polri
Berdasarkan data yang diperoleh Law-Justice, JATAM mencatat ada sekitar 16 nama pensiunan TNI-Polri terlibat dalam bisnis pertambangan di seluruh Indonesia.

Tim Divisi Hukum JATAM Muhammad Jamil mengatakan bila ke-16 orang ini sangat mempengaruhi penegakan hukum dan pengawasan terhadap izin perusahaan tambang yang semakin serampangan merusak lingkungan.

"Kalau sudah begini maka akan sulit sekali kita mau menyatakan bahwa polisi dan tentara adalah pihak yang netral dalam memproses pengaduan dan laporan warga, karena pensiunan tentara dan polisi terhubung langsung dengan industri ekstraksi ini," kata Jamil kepada Law-Justice.

Jamil menyebut Konflik kepentingan ini akan semakin berbahaya karena dianggap hal yang normal dalam masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

"Ini yang diabaikan dalam rezim pemerintahan Jokowi ini, konflik kepentingan itu dianggap bukan masalah bagi pemerintah ini, padahal itu adalah masalah besar," pungkasnya.

JATAM mencatat sedikitnya ada 116 konflik di atas 1.640.400 hektar tanah (setara 3x luas Pulau Bali) antara masyarakat dengan perusahaan tambang di Indonesia sepanjang 2014-2020 atau masa pemerintahan Joko Widodo.

Kemudian tercatat ada 3.092 lubang tambang yang dibiarkan tanpa reklamasi atau perbaikan oleh perusahaan tambang di seluruh Indonesia, 168 warga meninggal karena terperosok ke dalam lubang tersebut.

Berikut 16 nama pensiunan TNI-Polri di lingkaran bisnis pertambangan berdasarkan kajian JATAM:

1. Fahrul Razi - Komisaris PT Antam dan PT Toba Sejahtera
2. Luhut Binsar Panjaitan - Komisaris PT Toba Bara Sejahtera
3. Agus Surya Bakti - Komisaris Utama PT Antam.
4. Suaidi Marasabessy - Komisaris PT Kutai Energi
5. Laksamana TNI (Purn) Agus Suhartono - Presiden Komisaris PT Bukit Asam
6. Laksamana TNI (Purn) Marsetio - Komisaris Independen PT Berau Coal
7. Laksda TNI (Purn) Wardiyono - Direktur Utama PT Agtika Dwi Sejahtera
8. Irjen Pol (Purn) Alpiner Sinaga - Direktur PT Energi Cahaya Industritama dan Direktur PT Dunia Usaha Maju
9. Sintong Panjaitan - Komisaris PT Adimitra Baratama Nusantara, PT Kutai Energi dan PT Adimitra Baratama Nusantara (anak perusahaan Toba Bara Group)
10. Letjen Sumardi - Direktur PT Kutai Energi dan Direktur Utama PT Trisense Mineral Utama
11. Laksamana Muda TNI (Purn) Syamsul Bahri - Komisaris PT Bintang Prima Energi Pratama
12. Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto - Komisaris Independen PT Adaro Energi
13. Edhy Prabowo - Pendiri PT Garuda Security Nusantara (perusahaan penyedia jasa keamanan pertambangan dan migas).
14. Komjen Pol (Purn) Nugroho Djajusman - Komisaris PT Bintang Prima Energi Pratama
15. Irjen Pol (Purn) Mathius Salempang - Komisaris PT Bukit Beiduri Energi dan Direktur PT Khotai Makmur Insan Abadi
16. Irjen Pol (Purn) Aryanto Sutad - Direktur PT Energi Cahaya Industritama dan Direktur PT Dunia Usaha Maju.*

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar