Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menyoal Klaim Pemilik Indonesia yang Sebenarnya

Jum'at, 10/09/2021 07:11 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Sempat viral di media sosial  ceramah dari Ahmad Bahauddin atau yang lebih dikenal dengan Gus Baha.  Dalam video ceramahnya  Gus Baha bilang bahwa bahwa Indonesia itu bukan hanya milik PDIP, Megawati, dan Soekarnoisme saja.

"Bukan untuk PDIP saja, bukan untuk partai-partai Marhaenisme (Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, sebelumnya bernama Partai Nasional Indonesia) saja. Juga bukan untuk partai-partai yang berpaham Soekarnoisme semata," jelas Gus Baha.

Gus Baha mengatakan orang yang pro Megawati begitu mendewakan-mendewakan Soekarno, "Seakan-akan Indonesia dimulai dari Bung Karno. Sampai ada paham Soekarnoisme. bahwa Indonesia seakan-akan dimulai dari Soekarno," begitu katanya.

Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa sampai muncul pernyataan dari Gus Baha bahwa Indonesia bukan  hanya milik PDIP, Megawati, dan Soekarnoisme saja ?, Bagaimana halnya kontribusi umat Islam dalam membidani lahirnya bangsa Indonesia ?, Senyatanya Indonesia ini milik siapa sebenarnya ?.

Seolah-oIah Paling Berjasa ?

Ada pepatah yang mengatakan: “tidak ada asap kalau tidak ada api” yang mengandung makna  bahwa tidak ada akibat tanpa ada yang menjadi  sebabnya. Asap hanya akibat sementara apilah yang menjadi penyebabnya.

Munculnya pernyataan Gus Baha yang menyatakan bahwa Indonesia  itu bukan hanya milik PDIP, Megawati, dan Soekarnoisme saja, kiranya dilatarbelakangi oleh fenomena yang selama ini terjadi dimana pengagum Soekarno yang kebanyakan dari keluarga Soekarno sendiri,  orang orang PDIP dan Soekarnois terlalu mendewa dewakannya.

Wujud pendewaan yang bernuansa kultus terhadap Soekarno itu misalnya dalam hal penetapan hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni  yang sekarang kita peringati setiap tahunnya. Peringatan Hari Lahir Pancasila mengacu pada sejarah dicetuskannya Pancasila pada 1 Juni 1945 oleh Presiden pertama RI, Soekarno, dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)

Dalam sejarahnya, peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila di usulkan oleh  Megawati Soekarnoputri  ketika Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ketika itu menjabat sebagai Presiden ke-6 Republik Indonesia. Namun keinginannya itu belum terwujud di era pemerintahan SBY, meski SBY menjanjikan akan mengabulkannya

. Pada akhir Oktober 2015, ketika menjadi pembicara pada acara seminar dan bedah buku di Jakarta, Megawati kembali menyampaikan harapannya akan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila yang tak kunjung terlaksana. "Saya nagih SBY pada tanggal 1 Juni jadikan hari libur nasional. Sampai hari ini pun boro-boro," kata Mega di JCC, Jakarta, 27 Oktober 2015. "Kalau seumpamanya bukan Bung Karno (pencetus Pancasila), apa (akan) dijadikan hari nasional? Aneh kadang pikiran bangsa kita ini, seperti ambivalen, sejarah diombang-ambing," ujar Mega.

Pada akhirnya, Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai peringatan sekaligus hari libur nasional oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Kepres) No.  24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.

Penetapan tanggal 1 juni sebagai hari lahir Pancasila dinilai para pakar penuh keganjilan dan sarat aroma politiknya.  Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, tanggal 18 Agustus 1945 lebih ideal ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila. Dia mengatakan Pancasila baru lahir secara hukum saat dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Selain itu, Pancasila yang diperkenalkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 berbeda dengan yang diakui sekarang karena Pancasila yang dikenalkan oleh Bung Karno baru usulan belaka.  Menurut Refly, penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila dan hari libur nasional merupakan upaya untuk menonjolkan Sukarno belaka. Padahal menurutnya Pancasila lebih merupakan hasil buah pikir kesepakatan banyak pendiri bangsa.

"Upaya lebih menonjolkan Bung Karno. Seolah-olah Pancasila karya Bung Karno seorang. Kan enggak boleh begitu. Menurut saya, Pancasila itu adalah karya bapak dan ibu bangsa, sinkretisme dari pikiran-pikiran mereka," katanya seperti dikutip CNN Indonesia 01/06/2021.

Aroma kultus terhadap Soekarno kembali muncul manakala pembahasan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang banyak ditentang  berbagai elemen bangsa. Sejatinya pencetus RUU HIP ini adalah mereka para pengikut atau jamaah pemikiran Bung Karno sang proklamator bangsa. Fanatisme mereka, telah menghasilkan buah pikiran untuk membentuk RUU Haluan Ideologi Pancasila.

Dalam konteks RUU HIP ini para `jamaah` Soekarno yang sekarang berkuasa terkesan mengkultuskan pemikiran Soekarno tentang Pancasila yang sebenarnya saat itu masih berupa draf usulan, belum disetujui sebagai konsep final Pancasila seperti yang tertuang di pembukaan UUD 1945

Selain itu sebagai wujud fanatisme, para `jamaah` Soekarno ini sering mengutip ajaran Soekarno tentang Pancasila seperti acap kali terdengar melalui pidato ketua umum partai yang sekarang berkuasa. Para pengikut atau jemaah tersebut kerap membawa-bawa nama Soekarno, apalagi saat berbicara seputar ideologi bangsa.

Mereka selalu membawa-bawa nama Soekarno ketika berbicara mengenai Pancasila. Seolah-olah mereka tidak rela dengan rumusan Pancasila yang disepakati bersama sebagaimana yang tertuang di pembukaan UUD 1945. Makanya  sebagai tindaklanjut perjuangan mendaur ulang pemikiran Soekarno, mereka berusaha menghidupkan kembali Trisila dan Ekasila.

Ternyata kontroversi  bukan hanya  berhenti sampai disitu saja, fanatisme buta terhadap Soekarno sebagai Bapak Proklamator bangsa berlanjut dengan adanya pernyataan Sukmawati Soekarnoputri, salah satu anaknya.

Dalam kesempatan menghadiri  sebuah diskusi bertajuk `Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme` pada Senin (11/11/19), Sukmawati bahkan sampai berani membanding bandingkan Soekarno dengan Nabi Muhammad SAW segala.

Dalam diskusi itu, awalnya Sukmawati berbicara tentang perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan RI dari jajahan Belanda. Kegiatan itu sendiri dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November 2019 di Jakarta. Sukmawati kemudian melontarkan pertanyaan kepada forum yang kebanyakan dihadiri kalangan mahasiswa.

"Sekarang saya mau tanya semua, yang berjuang di abad 20 itu Yang Mulia Nabi Muhammad apa Ir Sukarno, untuk kemerdekaan Indonesia ? Saya minta jawaban, silakan siapa yang mau jawab berdiri, jawab pertanyaan Ibu ini," tanya Sukmawati seperti dilihat detikcom  10/11/19 dalam video yang viral di sosial media.

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Sukmawati itu pada akhirnya berbuntut panjang karena yang bersangkutan kemudian  dilaporkan atas ucapannya yang membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan Presiden pertama Indonesia.

"Kami Korlabi mendampingi Ibu Ratih atas nama pribadi/muslimah dengan melaporkan Sukmawati atas dugaan penghinaan kepada Nabi Muhammad dengan apa yang dikatakan oleh Sukmawati, yaitu membandingkan Sukarno dengan Nabi Muhammad," jelas Sekjen Korlabi Novel Bamukmin dalam keterangannya, Sabtu (16/11/2019) seperti dikutip media.

Barangkali dari serangkaian beberapa kejadian  diatas pada akhirnya orang seperti Gus Baha sampai  berani membuat pernyataan bahwa  Indonesia  itu bukan hanya milik PDIP, Megawati, dan Soekarnoisme saja.

Kontribusi Tokoh Islam

Seperti dinyatakan oleh Gus Baha dalam videonya,  bahwa tidak mungkin  kita ini tidak menghormati Soekarno sebagai proklamator dan presiden pertama Indonesia."Beliau sebagai pahlawan besar, kita hormati," kata Gus Baha.

Tetapi penghormatan itu tentunya tidak lantas menjadikan Soekarno seolah olah sebagai orang yang menjadi segala galanyasebsagai tokoh yang  sangat sentral dalam menentukan kelahiran bangsa Indonesia. Karena selain sosok Soekarno ada banyak tokoh lain terutama dari kalangan umat Islam yang ikut berkontribusi  atas kelahiran bangsa Indonesia.

Perjuangan umat Islam  Indonesia  dan tokoh tokohnya melawan penjajah Jepang maupun Belanda selama beratus tahun yang sarat dengan semangat  heroism tentu tidak boleh dipandang sebelah mata.   Pada masa penjajahan,  Islam dan umat Islam sangat ditakuti Penjajah, hingga penjajah sampai menggunakan berbagai  tipu muslihat yang licik untuk melumpuhkannya.

 Para tokoh pejuang seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol harus menyerah  ke Belanda karena ditipu oleh mereka. Snouck Hurgronje bahkan harus mengaku Muslim untuk dapat masuk ke Saudi Arabia guna mempelajari Islam untuk menaklukkan perlawanan umat Islam khusus di daerah Aceh dan sekitarnya.

Manakala  pergerakan nasional awal abad keduapuluh menggunakan cara-cara modern, umat Islam pun berdiri di garda terdepan sebagai  inisiatornya. Adalah Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang memelopori pergerakan Islam modern untuk melawan penjajah dan mengubah nasib rakyat Indonesia yang terbelakang menuju gerbang kemerdekaannya. Lahirnya Hizbul Wathan atau Pasukan Tanah Air tahun 1918 salah satu contoh kepeloporan bela bangsa kala itu, sebagai wujud jihad fisabilillah yang sangat ditakuti oleh pihak Belanda.

Begitu pula halnya tatkala Indonesia diambang retak satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dalam peristiwa Piagam Jakarta, umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus Hadikusumo dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar sebagai bentuk pengorbanan umat yang  luar biasa.

Para tokoh Islam  saat itu seperti  Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasyim, sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut mewakili golongan Islam harus merelakan tujuh kata "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pengorbanan keyakinan Islam itu, meski ada unsur siasat tidak fair, dilakukan para wakil umat Islam demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kiranya tidak ada yang meragukan  pengorbanan dan komitmen umat Islam Indonesia untuk bangsa dan negaranya. Pada hal saat itu jika mau memaksakan kehendak sebagai mayoritas pasti akan mengancam kelahiran Indonesia. Itulah hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia, ujar  mantan Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara. Ibarat ibu yang melahirkan anak, kasih sayangnya melampaui luasnya samudra.

Dengan peranannya yang sangat besar bagi kelahiran bangsa Indonesia, kiranya tidak fair kalau kemudian ada beberapa kelompok masyarakat yang terlalu mengagung agungkan diri sebagai pihak yang seolah olah paling berjasa atas kelahiran bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehingga kemudian berimbas pada suatu pemikiran seolah olah kelompoknyalah yang paling berhak menentukan masa depan Indonesia.

Siapa Pemilik Indonesia ?

Meskipun tak bisa dipungkiri peran besar umat Islam dalam membidani lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia, namun kelompok mayoritas ini seperti terpinggirkan dalam kancah menentukan arah perjalanan bangsa.

Pada hal umat Islam tak  pernah meminta lebih diukur dari kontribusinya membebaskan negara ini dari penjajahan Jepang dan juga Belanda . Tatkala ada segolongan kecil  orang atau kelompok menguasai kue nasional yang melampaui takaran, umat Islam tetap tak pernah marah meski hatinya terluka dan dirinya marjinal dari pusaran utama Indonesia.

Urat sabar umat Islam juga cukup lebar dan tidak putus hanya karena mendapatkan bagian yang tidak seberapa. Tatkala hak-hak dasarnya kurang terpenuhi, karena satu dan banyak sebab, yang menjadikan dirinya terpinggir dalam sejumlah hal, pengkhidmatannya untuk negara tak pernah berkurang sedikitpun jua. Bahkan ketika denyut nadi keagamaannya tersakiti dan menunut keadilan, malah dipandang sebagai ancaman bagi tegaknya bhineka tunggal ika. Dalam hal ini kebhinekaan terkesan hanya milik sekelompok orang yang bersuara lantang (para buzzer)  di ruang publik karena didukung oleh pemegang kuasa.

Pada hal sejatinya umat Islam sungguh mencintai dan menjadi tonggak penyangga kebhinekaan  yang setia. Umat  Islam juga sangat toleran dan menjunjung tinggi bhinneka tunggal ika. Karena itu merupakan suatu ironi dan melukai hati manakala umat Islam dianggap sebagai golongan ekslusif, yang hanya mementingkan urusannya.  Kepadanya sering disematkan label  sebagai kaum radikal dan intoleran, atau kelomok kadrun  hanya karena taat menjalankan ajaran agamanya.

Sebenarnya tidak perlula ada ada Islamofobia di negeri muslim terbesar ini, karena watak umat islam sejak dulu kala selalu  toleran dan menjadi penyangga utama Indonesia. Ketika terdapat arus aspirasi umat Islam untuk memperoleh hak dan keadilan, sungguh bukan suatu yang bijak untuk kemudian membungkam mereka dengan berbagai cara.

Aspirasi  atau  ekspresi itu adalah suatu hal yang wajar, lebih-lebih salurannya demokratis dan konstitusional yang tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada. Karena itu jangan pandang Islam di negeri ini sebagai ancaman keindonesiaan dengan segenap pilarnya.

Ketika ada kelompok kelompok kekuatan yang terkesan menekan umat islam Indonesia yang notabene pemilik saham terbesar kelahiran bangsa Indonesia, menjadi pertanyaan kemudian adalah sesungguhnya negeri ini milik siapa ?.

Dewasa ini kita sering bertanya terkait negara Indonesia ini, di mana terkhususnya kalangan rakyat kelas bawah dan proletar yang sering menanyakan Indonesia punya siapa? Karena mereka menganggap bahwa negara Indonesia ini hanya dimiliki oleh segelintir orang dan kelompok saja.

Kenapa anggapan seperti itu begitu mengemuka ? Karena apa yang mereka lihat dari tahun ke tahun Indonesia dikuasai oleh para elite dan para pemodal yang banyak uangnya.  Saat ini hampir semua bidang baik sosial, ekonomi, politik dan sebagainya yang ada di Indonesia dikuasai oleh mereka yang mempunyai modal dan yang memegang kekuasaan saja. Tetapi rakyat biasa hanya bisa melihat dan mendambakan ingin seperti mereka yang bisa menjadi rakyat Indonesia dengan seutuhnya.

Faktualnya saat ini  kelompok neo liberal dan kapitalis yang tumbuh subur di Indonesia. Mereka menguasai hampir segala lini kehidupan rakyat Indonesia.  Kaum neoliberal  kapitalis ini meyakini bahwa negara yang merdeka pasca perang tidak akan mampu bertahan lama, karena dunia saat ini telah dikuasai modal yang terus bergerak dan kuatnya persaingan ekonomi antar-negara. Untuk itu negara fokus untuk membuat kebijakan saja . Sebaiknya negara menarik diri dari pelayanan, serahkan saja pelayanan publik kepada swasta.

Dengan keyakinan tersebut kelompok neoliberal-kapitalis ini telah merusak tatanan kenegaraan dan bahkan menguasai sumber daya alam Indonesia serta sistem perekonomian nasional di republik ini, dengan berbagai cara pembodohan dan penipuan melalui regulasi dan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Padahal Pancasila tidak sama sekali memberikan amanat liberalisme  dan kapitilisme hidup  di negara kita.

Dampaknya telah terjadi  perampokan kekayaan alam Indonesia demi kepentingan kaum neolib dan kapitalis sehingga kekayaan alam Indonesia banyak yang lari ke mancanegara. Disini hanya  menyisakan pencemaran lingkungan dan tetesan pendapatan yang tidak seberapa besarnya dibandingkan dengan keuntungan yang diraih oleh mereka.

 Sistem ekonomi yang menurut mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, telah diterapkan Indonesia sejak 1967 tersebut, terbukti telah gagal membawa rakyat Indonesia sejahtera. Namun sistem itu hingga kini tetap bertahan “dipelihara” oleh elit penguasa.

Masih terus bertahannya sistem tersebut karena memang ada jajaran hamba sekaligus para pejuang neoliberal kapitalis  yang bersemayam di pusat lingkaran kekuasaan dengan segenap kamuflasenya. Tentu saja, mereka tidak mengaku apalagi menepuk dada sebagai penganut neoliberal kapitalis dalam menjalankan agenda atau kebijakannya. Namun dengan mencermati berbagai kebijakan yang dikeluarkan, maka kita akan dapat mengendus aroma neolib yang di usungnya.

Dengan jabatan starategis yang disandangnya, mereka terus saja mendesain berbagai kebijakanneolibnya.  Memangkas anggaran dan memotong belanja sosial  yang merupakan hak warga negara. Pada saat yang sama, mereka mati-matian mempertahankan anggaran pembayaran pokok dan bunga utang yang dari waktu ke waktu semakin meningkat  jumlahnya. Kaum neolib ini tidak segan-segan memperlebar defisit, memalak rakyat dengan berbagai pajak, terus membuat utang baru, dan melego BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Sebagai pejabat publik, mereka sepertinya terus-menerus setia kepada para majikan asingnya, walau untuk itu harus mengorbankan kepentingan bangsa dan rakyatnya.Di Indonesia saat ini amat sedikit pejabat publik yang  berani melakukan perlawanan terhadap hegemoni neolib –kapitalis dan antek anteknya. Barangkali kita hanya bisa menyebut dua nama misalnya  Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli dimana keduanya pernah menjadi Menteri bidang ekonomi saat Mega dan Gus Dur berkuasa.

Penguasaan kaum neoliberal kapitalis atas Indonesia saat ini menjadikan suatu pemahaman yang hakiki bahwa sesungguhnya merekalah pemilik Indonesia  yang sebenarnya meskipun secara formal negara ini secara sah adalah milik rakyat Indonesia. Sebagai pemilik negara yang sah, faktualnya masih banyak rakyat yang hidup sengsara alias belum sejahtera.Pada hal kalau memang benar rakyat pemiliknya harusnya kehidupan mereka menjadi makmur dan sejahtera tapi nyatanya cita cita itu belum bisa diwujudkan sebagaimana mestinya.

Mengapakah semua itu terjadi di tengah usia Indonesia yang sudah 76 tahun merdeka ?, tidak lain karena elit penguasa yang menjadi pengendali kekuasaan negara masih disetir oleh para pemilik modal melalui kebijakan neolib dan kapitalisme yang sesungguhnya bertentangan dengan Pancasila.

Menurut hemat saya, negara Indonesia merdeka adalah berkat kontribusi para pejuang kemerdekaan Indonesia baik dari kubu nasionalis maupun agama. Mereka telah bersama sama ingin mewujudkan negara Indonesia yang  adil, makmur sejahtera bagi kehidupan rakyatnya sesuai dengan tujuan didirikannya negara Indonesia.

Oleh karena itu tidak boleh ada elemen bangsa yang menklaim diri sebagai pihak yang paling berjasa dalam membidani kelahiran Indonesia lalu mempunyai persepsi seolah olah yang paling berhak mengurus Indonesia. Karena yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana pasca Indonesia merdeka itu para elit yang diberi amanah untuk menjalankan roda pemerintahan negara sebagai penguasa benar benar menjalankan amanah yang dibebankan kepada kepadanya.

Mereka yang diberi mandat kekuasaan yang mampu menjadikan Indonesia benar benar milik bangsa dan rakyat  Indonesia bukan milik kaum neolib kapitalis yang mungkin telah “berjasa” mengantarkannya ke tampuk kekuasaan yang sedang didudukinya. Kini masih adakah kiranya elite penguasa yang berpikiran untuk menjadikan rakyat Indonesia benar benar sebagai pemilik negara kesatuan republik Indonesia  sehingga tercapainya tujuan kita berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 ?

Jangan sampai sebagai pemegang kekuasaan hanya bangga karena merasa paling memiliki Indonesia, paling berjasa melahirkan Indonesia tapi faktualnya tidak mampu mengantarkan rakyat Indonesia mencapai untuk keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran yang merupakan tujuan kita bersama. Kalau hanya sampai disitu kemampuannya, lalu untuk apa gunanya berkuasa ?

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar