Jeritan Buruh saat Pandemi, Sulit Isolasi hingga Dapat Ancaman

Senin, 02/08/2021 08:13 WIB
Buruh rokok di Indonesia (Foto: Flickr)

Buruh rokok di Indonesia (Foto: Flickr)

Jakarta, law-justice.co - Kaum buruh ikut merasakan dampak dari pandemi virus corona (covid-19). Tidak hanya masalah kesehatan, buruh juga harus menghadapi imbas ekonomi dari pandemi.

Salah satu buruh, Zaenal Rusli bercerita seorang rekannya yang terpapar virus corona harus menjalani isolasi mandiri di rumah kontrakan tiga petak bersama istri dan anaknya.

"Ada salah satu kawan yang kena covid, rumahnya tiga petak, kontrakan. Dia isolasi di kamar utama, anak istri tinggal di ruang TV, sehingga akhirnya mau enggak mau, suka enggak suka, anak dan istri ikut-ikutan kena (terpapar Covid)," kata Rusli dalam sebuah diskusi virtual, Minggu (1/8).

Menurut Rusli, pihak perusahaan tidak memberi perhatian lebih terhadap buruh yang terpapar covid.

Perusahaan memang memberi keleluasaan untuk tidak bekerja bagi para buruh yang terpapar covid-19. Namun, perusahaan biasanya tidak memberi bantuan obat-obatan, multivitamin, maupun fasilitas isolasi bagi buruh.

Dengan keadaan seperti, buruh lainnya berinisiatif agar bisa meringankan beban buruh yang terpapar Covid-19 itu dengan memberikan suplemen, vitamin, maupun alat oksimeter dengan cara patungan.

Selain kurang perhatiannya perusahaan, menurut Rusli, buruh juga mendapat `ancaman`. Ia menceritakan, banyak petinggi perusahaan meminta buruh tidak banyak menuntut selama pandemi berlangsung.

"`Harusnya kawan-kawan bersyukur, sampai saat ini masih bekerja, masih digaji`, terus `masih banyak ribuan yang lainnya, yang menunggu kawan-kawan digantikan, makanya harus benar-benar bekerja dengan maksimal,` itu menurut ku sangat kejam sih," ujarnya menirukan percakapan tersebut.

Tidak hanya itu, menurutnya, sejumlah perusahaan juga tidak memberikan fasilitas vaksinasi gratis terhadap keluarga buruh. Bahkan, beberapa perusahaan tidak menyediakan vaksin untuk buruh.

"Bahkan di beberapa basis lain itu tidak mengadakan vaksin. Malah perusahaan meminta pekerja mencari vaksin sendiri, hanya diberi libur saat pekerja itu mau vaksin," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum Konfederasi Serikat Nasional dan Sentral Gerakan Buruh Nasional (KSN-SGBN) Yohannes Joko Purwanto dalam keterangan tertulisnya menyampaikan bahwa buruh mendapat ancaman jika mereka melapor ke Satgas Covid-19 di daerah apabila ada kasus positif di pabrik tersebut.

Menurut dia, perusahaan mengancam hanya akan membayar upah Rp20.000 sehari selama pabrik berhenti beroperasi akibat perusahaan ditutup karena temuan kasus covid-19.

"Para buruh dihadapkan pada pilihan: kelaparan atau tertular covid-19," imbuhnya.

Bahkan, kata Yohannes, tidak sedikit buruh yang baru diketahui sakit ketika sudah terlambat. Menurut dia, ada sejumlah situasi yang menghambat buruh melaporkan dirinya terpapar covid-19.

Di antaranya, karena keterbatasan uang untuk mengikuti tes swab antigen maupun PCR. Kemudian, ketidakpastian kerja ketika harus menjalani isolasi mandiri lantaran status kerjanya sebagai buruh kontrak, alih daya, dan hari lepas.

Kemudian, menurut Yohannes, buruh yang terpapar covid-19 juga khawatir mendapat stigma dan hukuman dari lingkungan tempat tinggal.

"Hambatan lain adalah ancaman penutupan pabrik akibat penghentian pesanan dari pihak pembeli atau pemegang merek. Perusahaan tidak melakukan penghentian produksi di saat banyak buruh mulai bergejala dan meski lebih dari 100 buruh mengambil izin sakit," tuturnya.

Perusahaan Menutup-tutupi

Yohannes melanjutkan, dari hasil pemantauan pihaknya, beberapa perusahaan juga berusaha menutup-nutupi kasus penularan covid-19 di tempat kerja. Misalnya, pada pabrik yang melakukan tes usap massal, perusahaan tidak membagikan hasil tes tertulis kepada buruhnya.

"Namun sekadar hasil akhirnya saja. Padahal, hasil tertulis yang lengkap dan detail itu dibutuhkan untuk perawatan sesuai dengan kondisi pasien," ujar dia.

Bukan hanya itu, perusahaan juga menggunakan hasil tes covid-19 sebagai sarana untuk membungkam serikat buruh.

Yohannes menceritakan, pada satu pabrik, buruh yang sebelumnya mengikuti suatu aksi protes lalu difasilitasi tes PCR oleh perusahaan, ia kemudian dinyatakan positif, tanpa diberikan hasilnya secara tertulis, dan tidak diperbolehkan bekerja.

"Meski hingga saat ini, buruh tersebut tidak mengalami gejala apapun ataupun orang terdekatnya tertular," tuturnya.

Menurut dia, hal tersebut menyebabkan sukarnya mengetahui pasti jumlah buruh yang betul-betul terjangkit covid-19. Hal itu, kata Yohannes juga menyulitkan serikat buruh dalam melindungi anggotanya dan memastikan terpenuhinya hak kesehatan, mulai dari perawatan rumah sakit, layanan isoman, dan hak-hak dasarnya.

"Bukan hanya itu, perusahaan juga telah menciptakan resiko penularan lebih lanjut dengan terciptanya kluster keluarga," pungkasnya.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar