Korban Pemalsuan Surat Jual Beli Villa di Bali Mengadu ke Jokowi

Senin, 26/07/2021 16:13 WIB
Korban pemalsuan jual beli villa di Bali mengadu ke Presiden Joko Widodo (Foto: Instagram/@Jokowi)

Korban pemalsuan jual beli villa di Bali mengadu ke Presiden Joko Widodo (Foto: Instagram/@Jokowi)

Jakarta, law-justice.co - Perjuangan tak kenal lelah dilakukan oleh Hartati, korban kasus jual beli saham PT. Bali Rich Mandiri. Dia sampai mengadu ke Presiden Joko Widodo aau Jokowi melalui surat yang dikirimkannya. Selain itu, dia juga sudah mengirim surat ke berbagai lembaga untuk memohon perlindungan hukum dan permohonan pemantauan terhadap kasus tersebut yang tengah berjalan di Mahkamah Agung (MA) RI.

Hartati memohon perlindungan hukum sekaligus pemantauan terhadap perkara pidana permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas nama narapidana Tri Endang Astuti binti Solex Sutrisno dan Hartono, SH. Begitu juga dengan upaya hukum PK JPU atas terdakwa Asral, Suryady dan I Hendro Nugroho Prawiro Hartono.

Adapun berkas perkara terpidana Tri Endang telah terdaftar dengan nomor perkara 39PK/Pid/2021. Sedangkan berkas perkara Hartono belum terdaftar. Hal itu sebagaimana dilihat pada website SIPP Mahkamah Agung RI.

"Kepada siapa saja yang bisa membantu saya dalam mendapatkan kembali apa yang memang hak saya atas kepemilikan yang sah pada Bali Rich Villa Ubud," kata Hartati dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan.

Hartati mengaku telah mengirim Surat Permohonan Perlindungan Hukum kepada Komisi Yudisial RI, Badan Pengawasan MA RI, Komisi III DPR RI dan Kemenkumham.
"Juga kepada Bapak Presiden RI yang memang menyediakan fasilitas Lapor Presiden dan Bapak Wapres," ujar Hartati.

Sebelumnya Hartati juga mengirimkan Surat Permohonan Perlindungan Hukum kepada Ketua Mahkamah Agung RI. “Saya akan tetap terus berjuang sampai
mendapatkan keadilan yang seadil- adilnya," tegas Hartati.

Dalam surat tersebut, Hartati menjelaskan bahwa dirinya merupakan penjual yang tidak dibayar lunas dan sudah nyata mengalami kerugian besar. Dimana terdakwa Asral baru melakukan pembayaran Down Payment (DP) sebesar Rp 1 Miliar pada tanggal 9 Juli 2015 dari harga jual beli Rp 38 Miliar.

Dari DP itu, Hartati menerima 500 juta dan Djarius Haryanto menerima 500 juta selaku pemilik dan pemegang saham 10%.

Dalam fakta persidangan, Djarius juga memberikan keterangan bahwa belum menerima pelunasan yang seharusnya Rp 3,8 Miliar. "Hingga saat ini tidak pernah ada pembayaran sampai dengan pelunasan," tuturnya.

Hal itu, lanjut Hartati, sudah terbukti pada fakta persidangan di PN Gianyar, dimana semua terdakwa sudah mengakui dan membenarkan bahwa harga jual beli 1000 lembar saham PT Bali Rich Mandiri adalah Rp 38 miliar dan terdakwa Asral baru membayar DP sebesar Rp 1 Miliar pada tanggal 9 Juli 2015.

"Sehingga tidak pernah ada pelunasan dari nilai jual beli sebesar Rp 38 Miliar. Selain itu para terdakwa juga mengakui dan membenarkan RUPS PT Bali Rich Mandiri pada tanggal 21 Desember 2015 tidak pernahada alias palsu," ungkap Hartati.

Berpedoman pada fakta persidangan beserta bukti dan saksi, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Gianyar dalam putusannya menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan surat, turut serta melakukan pemalsuan surat, menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam surat otentik.

Hartati melanjutkan, putusan PN Gianyar telah dikuatkan oleh Putusan Kasasi Pidana Mahkamah Agung RI yang tetap menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan, dan telah dilaksanakan eksekusi terhadap para Terdakwa dan sudah menjadi narapidana di Rutan Gianyar.

Namun, pada putusan PK tiga terpidana lainnya, Hakim MA menyatakan terpidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan, membebaskan terpidana tersebut dari
semua dakwaan, dan memerintahkan terpidana dibebaskan seketika.

Hal itu sebagaimana dalam Petikan Putusan Mahkamah Agung RI nomor 24 PK/Pid/2021 atas nama terdakwa Asral Bin H Muhamad Sholeh, nomor 25 PK/Pid/2021 atas nama terdakwa I Hendro Nugroho Prawiro Hartono, dan 26 PK/Pid/2021 atas nama terdakwa Suryady alias Suryady Azis.

Hartati menyayangkan putusan tersebut. Ia menilai hakim tidak netral dan berpihak dikarenakan bertentangan dari fakta persidangan PN Gianyar dan mengabaikan/melupakan kerugian korban.

"Putusan yang sangat memprihatinkan bagi pencari keadilan, korban kejahatan tindak pidana. Putusan yang melupakan hak dan kepentingan korban," tegasnya.

"Putusan PK tersebut tidak obyektif dikarenakan sangat jelas bertentangan dari fakta persidangan PN Gianyar dan mengabaikan/melupakan kerugian korban. Dimana para terdakwa mengakui bahwa belum ada pelunasan, dan para terdakwa juga mengakui bahwa RUPS PT Bali Rich Mandiri tanggal21 Desember 2015 tidak pernah ada alias palsu," jelasnya.

Pada Peninjauan Kembali, terdakwa juga mengajukan novum yaitu Putusan Perkara Perdata PN Denpasar nomor: 1032/Pdt.G/2018/Pn DPS. Terkait perbuatan melawan hukum, yang diputus secara verstek yang putusannya sangat merugikan Hartati.

Perlu digarisbawahi bahwa Suryady membuat gugatan di PN Denpasar tersebut tanggal 30 Oktober 2018 setelah status dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri pada tanggal 7 Agustus 2018 dalam laporan nomor LP/419/IV/2017/Bareskrim tanggal 21 April 2017 yang terlebih dahulu dibuat oleh Hartati.

Dalam gugatannya, Suryady memakai kwitansi No.5438 tanggal 9 Juli 2015 yang sangat jelas tertulis Down Payment Rp 1 miliar dari Asral. Namun diakui Suryady seolah-olah pelunasan dari Suryady.

"Pada persidangan Pidana PN Gianyar, terdakwa Suryady tidak bisa membuktikan pembayaran satu sen pun. Sangat jelas dan nyata bahwa Suryady cuma modal dengkul yaitu terbukti dengan pemalsuan surat. Penjahat layak dipidana," geram Hartati.

Hartati menyebut, putusan yang diajukan oleh terdakwa tersebut sudah semestinya ditolak dikarenakan bukan bukti baru sebab sudah pernah diajukan pada sidang Pra Peradilan Perkara No.71/Pid.Prap/2019/Pn.Jkt.Sel oleh Notaris Hartono, S.H.

"Dimana sudah ditolak oleh PN Jakarta Selatan pada tanggal 30 Juli 2019. Dan juga sudah pernah diajukan serta dilampirkan dan dijadikan dalil dalam Eksepsi (keberatan) maupun Pledoi dan Duplik Terdakwa dalam perkara pidana tingkat pertama (PN Gianyar)," terang Hartati.

Hartati menambahkan, berpedoman pada fakta persidangan, Majelis Hakim PN Gianyar telah menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.

"Bahkan Putusan tersebut juga dipakai dalil oleh terdakwa dalam mengajukan memori kasasi dan Putusan Mahkamah Agung RI tetap menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana `Pemalsuan Surat`, dimana telah dilaksanakan eksekusi terhadap terdakwa sudah menjadi narapidana di Rutan Gianyar," bebernya.

Saat ini, kata Hartati, masih ada 2 berkas perkara PK yang belum diputus dan masih dalam pemeriksaan di Mahkamah Agung, yaitu atas nama Narapidana Tri Endang Astuti binti Solex Sutrisno dengan nomor perkara 39 PK/Pid/2021.

Sedangkan untuk Berkas Perkara PK atas nama Narapidana Hartono, SH belum terdaftar nomor perkara PK sesuai dengan terlihat pada website SIPP Mahkamah Agung RI.

Karena itulah, dalam surat yang dikirim Hartati ke berbagai lembaga, ia memohon perlindungan hukum sekaligus permohonan pemantauan berkas perkara PK atas nama narapidana Tri Endang Astuti binti Solex Sutrisno dan narapidana Hartono, SH.

Pun, dengan upaya hukum PK JPU atas terdakwa Asral, Suryady dan I Hendro Nugroho Prawiro Hartono dikarenakan putusan hakim dinilai bertentangan/menyimpang dari fakta persidangan dan mengabaikan/melupakan kerugiaan yang diderita korban.

Hartati mengatakan, sangat beralasan bagi JPU untuk mengajukan upaya hukum PK karena ada putusan yang melupakan hak dan kepentingan korban. Upaya hukum PK JPU untuk mewakili kepentingan korban kejahatan tindak pidana yang sudah nyata menanggung kerugian dan sangat dirugikan dengan putusan yang sangat memprihatinkan bagi pencari keadilan.

Dengan PK, Hartati berharap, putusan pengadilan akan diluruskan kembali agar sesuai dengan prinsip on the track kebenaran dan keadilan dasar pengambil keputusan. Kemudian mengoreksi putusan yang keliru terhadap perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap sehingga tidak ada pihak yang kepentingannya dirugikan.

"Saya sangat berharap Hakim Mahkamah Agung RI pemeriksa berkas perkara PK tersebut dapat bersikap netral, objektif, dan tidak berpihak," tutur Hartati.

"Sehingga penegakan hukum di Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan negara tertinggi di Republik Indonesia dapat dilakukan secara tegak dan adil berdasarkan kebenaran yang sebenar-benarnya dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban yang sudah nyata mengalami kerugian besar sebagai korban kejahatan tindak pidana dan kezoliman," tandasnya.

Hal ini, tambah Hartati, juga bertujuan agar pelaku kejahatan tidak mengulangi Perbuatan Kejahatannya sehingga tidak ada lagi korban-korban yang lainnya.

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar