Ini Deretan Saham Pilihan di Tengah Ancaman Rem Darurat Covid-19 di RI

Senin, 21/06/2021 10:50 WIB
Karyawan melintas di dekat monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta - (ANTARA)

Karyawan melintas di dekat monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta - (ANTARA)

Jakarta, law-justice.co - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 1,45 persen pada perdagangan pekan lalu, menutup perdagangan di posisi 6.007. Sementara, investor asing membukukan penjualan bersih (net sell) senilai Rp702,27 miliar.

Pengamat Pasar Modal, Riska Afriani menilai pada pekan ini indeks bakal cenderung tertekan akibat maraknya sentimen negatif, seperti melonjaknya kasus covid-19. Pada Minggu (20/6), kasus positif covid-19 secara nasional bertambah 13.737 membuat total kasus di Indonesia menjadi 1.989.909 orang.

Riska menyebut kenaikan kasus yang jauh lebih besar dibandingkan kenaikan di awal tahun ini mau tidak mau bakal memicu pengetatan protokol kesehatan. Bila sudah begitu, ada potensi pemerintah bakal menarik rem darurat dengan memberlakukan penguncian wilayah (lockdown) daerah atau kebijakan serupa.

Koreksi dalam indeks sebetulnya sudah mulai terjadi pada akhir perdagangan pekan lalu. Sempat berhembus isu akan dilakukan pembatasan sosial, indeks sempat anjlok ke 5.944 namun berhasil bangkit ke level 6.000-an.

Pekan ini, Riska menyebut akan sulit mempertahankan posisi di level 6.000 di tengah lonjakan kasus covid-19. Pasalnya, dana asing mengalir masuk dikarenakan perekonomian Indonesia terlihat menuju pemulihan, ini ditandai dengan mulai terkendalinya kasus covid-19.

Dia menilai dengan kenaikan drastis kasus covid-19, investor asing bakal menahan dananya sembari melihat penanganan pemerintah. Riska memperkirakan indeks pada pekan ini bakal melaju di rentang 5.870-6.012.

"Saya perkirakan IHSG pekan ini akan turun ke bawah karena ada potensi PSBB segera diberlakukan secara menyeluruh," katanya seperti melansir cnnindonesia.com, Senin (21/6).

Riska menyebut investor akan kembali berpegang pada mantra cash is the king (uang tunai adalah raja) bila pemerintah memberlakukan pola serupa dengan tahun lalu. Pola yang dimaksud adalah membatasi jam operasional pusat perbelanjaan dan tempat makan, juga membatasi okupansi sebesar 50 persen.

Dikhawatirkan bisnis akan kembali terpukul dan dilakukan pemotongan gaji serta PHK. Bila begitu, pemulihan ekonomi yang diproyeksikan terjadi pada kuartal II ini bisa jadi batal terjadi.

Riska mengatakan koreksi tidak hanya terjadi di pasar modal saja tapi juga di instrumen investasi lain seperti emas dan properti. Sementara iklim pasar sedang tak menentu, ia menilai investor memilih memegang uang tunai.

Di luar negeri, sentimen negatif berasal dari The Fed yang pada pekan lalu mengindikasikan bakal menaikkan suku bunga acuan lebih cepat setahun dari perkiraan. Bank sentral AS memperkirakan suku bunga acuan meningkat pada 2023 mendatang selama dua kali.

Pengetatan kebijakan moneter The Fed berpotensi membuat tapering atau pengurangan pembelian aset oleh bank sentral bakal terjadi lebih awal.

Pada 2013 lalu, saat The Fed melakukan tapering off, terjadi penjualan panik yang dikenal dengan taper tantrum. Dikhawatirkan hal sama bakal kembali terjadi. Bila begitu, diprediksikan bakal terjadi aliran modal keluar (outflow) dari pasar modal dalam negeri.

Dalam keadaan pasar diwarnai sentimen negatif seperti saat ini, secara umum Riska mengaku tak merekomendasikan beli saham. Dia menyarankan untuk melakukan aksi tunggu (wait and see) guna menakar risiko yang ada.

Dia memproyeksikan saham-saham berkapitalisasi besar, terutama di sektor perbankan, bakal mengalami tekanan. Kendati demikian, terbatas untuk beberapa saham berfundamental bagus saja, koreksi dapat dijadikan kesempatan untuk akumulasi.

Untuk perbankan ia menyarankan membeli saham PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BBTN, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BBRI, dan PT BCA Tbk atau BBCA dengan strategi beli saat murah (buy on weakness).

Untuk pilihan lainnya, ia menyebut investor dapat melirik saham PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG).

Pada pekan ini, ia mengingatkan untuk memantau rilis data pengangguran AS (jobless claim) dan PMI manufaktur Juni AS.

Kepala Riset Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma menyebut potensi pasar mengalami kejutan akibat pembatasan sosial tak akan sebesar pada terjadi tahun lalu. Pasalnya, pemda tidak bisa lagi memberlakukan penguncian daerah secara bebas tanpa koordinasi.

Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, pemda hanya dapat melakukan rekomendasi untuk melaksanakan PSBB, sedangkan keputusan ada di tangan menteri.

Hal ini, lanjut Suria, membuat pembatasan sosial bakal lebih teratur dan tidak menciptakan kepanikan. Bila pun rem darurat ditarik, ia menilai koreksi tidak akan terlalu besar. Dia memproyeksikan pekan ini indeks bergerak dalam rentang 5.950-6.100.

"Biasanya reaksi awal saja, kemudian cooling down dan stabil lagi. Bukan turun-turun terus, engga juga," bebernya.

Di sisi lain, ia tak menampik kebijakan The Fed bakal berefek negatif terhadap indeks. Sebesar apa efeknya, ia menyebut bakal tercermin dari indeks dolar AS atau US Dollar Index.

Saat ini, indeks dolar AS terhadap mata uang negara lain berada di level 92,2. Jika indeks terus naik alias dolar AS menguat, maka harga komoditas termasuk emas dan rupiah bakal melemah.

Melemahnya rupiah, kata dia, berdampak langsung terhadap indeks. Oleh karena itu, ia menyarankan untuk terus memantai Indeks Dolar AS pada pekan ini.

Untuk rekomendasi saham, Suria menyebut perusahaan yang berencana melakukan rights issue secara valuasi menarik untuk dilirik, seperti BBRI.

Selain itu, saham-saham teknologi yang masih menjadi favorit juga bisa menjadi pilihan. Namun Suria menyebut sulit untuk mengetahui valuasi tepat untuk saham-saham teknologi yang belum terukur nilainya.

Potensi pertumbuhan memang besar, tapi di sisi lain belum ada fundamental yang dapat diukur. Beberapa perusahaan teknologi bahkan belum tentu untung karena besarnya promosi atau `bakar duit` yang dilakukan.

"Ini berdasarkan keyakinan masing-masing saja, kan masih banyak cerita-cerita saja bukan valuasinya. Tapi kalau pada beli jadi besar ya jadi menarik juga," katanya.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar