Bukan Cuma Tak Lolos TWK, Penyidik Kasus Bansos Disidang Etik Dewas

Jum'at, 11/06/2021 12:30 WIB
Penyidik KPK M. Praswad Nugraha (Net)

Penyidik KPK M. Praswad Nugraha (Net)

Jakarta, law-justice.co - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani kasus dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19, M. Praswad Nugraha berhadapan dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait laporan dugaan pelanggaran etik.


Praswad merupakan salah satu penyidik lembaga antirasuah yang dinyatakan tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN).


Setelah tak bisa ikut menangani sejumlah kasus dugaan korupsi karena dibebastugaskan, Praswad kini harus menjalani sidang dugaan pelanggaran kode etik.

Selain Praswad, penyidik lainnya yang dilaporkan dan menjalani sidang etik adalah Muhammad Nur Prayoga alias Yoga. Berbeda dengan Praswad, Yoga dinyatakan lulus TWK KPK dan kini sudah berstatus ASN.

"Ya, ada sidang etik tapi tertutup untuk umum," kata anggota Dewas KPK, Albertina Ho dikutip dari CNNIndonesia, Jumat (11/6/2021)

Sidang dugaan pelanggaran kode etik ini berawal dari laporan saksi kasus dugaan korupsi bansos Covid-19, Agustri Yogasmara alias Yogas.

Ditemui usai sidang, Agustri mengaku laporannya terkait dengan perlakuan dua penyidik tersebut kepada dirinya saat proses pemeriksaan di tahap penyidikan. Ia menuding Yoga dan Praswad telah melanggar kode etik.

"Kurang lebih seperti itu [melaporkan karena ada dugaan pelanggaran kode etik saat diperiksa di penyidikan]," ujar Agustri kepada awak media di Gedung KPK, Jakarta.

Agustri kini menyerahkan sepenuhnya dugaan pelanggaran etik Praswad dan Yoga kepada Dewas. Namun, ia mengapresiasi kinerja Dewas telah objektif dengan memproses kedua penyidik KPK itu.

"Nanti tergantung tim majelis yang memutuskan sih, tapi intinya tim Dewas [KPK] hebat, sangat objektif," katanya.

Sementara itu, Dewas KPK hingga kini belum berkomentar terkait kelanjutan atau hasil sidang terhadap Praswad dan Yoga. CNNIndonesia.com telah menghubungi dua anggota Dewas KPK, Albertina Ho dan Syamsuddin Haris namun belum mendapat respons.

 

Sosok Praswad Nugraha


Praswad Nugraha adalah penyidik madya di KPK. Putra Lampung ini bergabung di KPK sejak tahun 2007. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Pajajaran (Unpad) ini tertarik mendaftar KPK karena punya niat mulia.

Praswad ingin menegakkan keadilan dan membersihkan Indonesia dari korupsi. Begitu ada pendaftaran KPK Indonesia Memanggil 2, Praswad mendaftar.

Ia lulus setelah mengikuti seleksi ketat calon pegawai KPK. Bersama 52 orang lain yang lolos, Praswad menjalani pendidikan awal di Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.

Di BAIS, Praswad dan calon pegawai KPK lainnnya digembleng semi militer selama kurang lebih enam bulan. Mereka diajarkan menembak, penangkapan hingga ke intelijen.

Setelah itu mereka dinyatakan lulus dan dilantik sebagai pegawai KPK. Selama di KPK, pria lulusan SMAN 3 Bandar Lampung ini banyak menempuh pendidikan di lembaga-lembaga negara yang kental nasionalismenya seperti di Akpol, Kopassus.

Kiprah Praswad di KPK cukup baik. Ia ikut menangani beberapa kasus besar. Terkini Praswad ikut menangani kasus korupsi Bansos Covid-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Sebelumnya, Praswad terlibat dalam beberapa kasus kakap seperti kasus Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Ketua DPR Setya Novanto, kasus OTT Sinarmas di Kalimantan.

Pria kelahiran Bandar Lampung ini juga pernah mengusut kasus korupsi di Provinsi Lampung. Ada dua kasus korupsi di Lampung yang pernah ditangani Praswad.

Yaitu saat menyelidiki kasus korupsi Mantan Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa dan kasus OTT Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara.

Selama 15 tahun menjalani pekerjaan sebagai penyelidik dan penyidik KPK, Praswad beruntung tidak pernah mendapat ancaman atau intimidasi seperti yang dialami rekan-rekan lain sesama penyidik KPK.

"Paling hanya benturan saat proses penangkapan di lapangan saja," kata pria anggota Swapala Lampung ini saat diwawancarai Suaralampung.id, Jumat (28/5/2021) kemarin.

Pengabdian Praswad di KPK tampaknya berada di tubir jurang. Ini seiring adanya penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK yang ingin alih status menjadi ASN.

Praswad termasuk dalam 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK. Bagi pria yang hobi mendaki gunung ini pelaksanaan tes TWK bagi pegawai KPK tidak relevan.

Menurut Praswad, sesuai amanat UU Nomor 19 Tahun 2019, semua pegawai KPK adalah ASN.

"Jadi perintah UU itu semua pegawai KPK adalah ASN. Artinya ketika UU itu sudah disahkan, per tanggal pengesahan UU itu kami sudah menjadi ASN. Tapi mengapa kami diperlakukan seperti CPNS yang harus ikut tes lagi," jelas Praswad.

Karena itu menurut pria lajang ini TWK tidak relevan karena UU sudah mengamanatkan bahwa semua pegawai KPK adalah ASN.

Yang lebih bikin sakit hati Praswad adalah pernyataan pimpinan KPK yang melabeli 51 pegawai KPK yang tak lolos TWK dengan label merah.

Para pegawai KPK ini dianggap anti Pancasila, radikal dan sudah tidak bisa dibina. Karena itu 51 pegawai KPK dianggap tidak bisa alih status sebagai ASN.

"Pertanyaannya sudah separah apa kami ini sehingga dibilang tidak bisa lagi dibina? Teroris saja masih bisa dibina dengan program deradikalisasi.Kenapa kami ini sampai sebegitunya?" tegas Praswad.

Menurut Praswad tuduhan anti Pancasila terhadap para pegawai KPK ini harus disertai bukti dan melalui proses pengadilan. Jika tanpa proses pengadilan kata Praswad, itu namanya trial out of justice.

"Keputusan di luar pengadian yang menzolimi, memfitnah. Sebegitu hinanya kami dinyatakan anti Pancasila, Islam radikal," imbuh pria akrab disapa Bunk ini.

Kata Praswad jika memang para pegawai KPK ini dicap anti Pancasila dan sudah tidak bisa dibina lembaga negara, maka seharusnya negara tidak boleh melepaskan mereka ke tengah masyarakat.

Hal ini menurutnya bisa berbahaya karena mereka bisa menyebarkan paham anti Pancasila ke masyarakat.

"Kalo uda ga bisa dibina jangan dipulangkan ke masyarakat. Dihukum mati atau dikarantina di pulau terpencil. Ditembak mati saja," ujar Praswad.

Karena itu kata pria lulusan Queensland University of Technology, Brisbane, Australia ini akan sangat sulit berbicara penyingkiran 75 pegawai bukan serangan balik koruptor.

"Ini serangan koruptor yang nyata terhadap kami pejuang anti korupsi. Teror ga mempan, diancam ga mempan, ya dipecat. Sehingga kami tidak bisa lagi melaksanakan tugas kami dan koruptor bisa bebas (korupsi)." terangnya.

Praswad mengaku akan terus melawan kezoliman yang dialami dirinya dan pegawai KPK lain.

"Melawan sebaik-baiknya, menegakkan keadilan. Kalo memang rezeki sampai disini pensiun, Allah yang ngatur, Intinya kami berhusnuzon dengan Allah. Harus tetap diperjuangkan karena amar maruf nahi mungkar sampai kiamat," ujarnya.

Bagi Praswad penyelesaian masalah 75 pegawai KPK ini ada di tangan Presiden Joko Widodo. Ini karena Presiden adalah pembina tertinggi ASN.

"Satu-satuya harapan mau cari keadilan kemana lagi kalo ga ke Presiden. Presiden Jokowi harus turun tangan melihat carut marut penyingkiran," tuturnya.

Menurut Praswad, Pancasila jangan disalahgunakan untuk menyingkirkan pemberantas korupsi.

"Ironis, Pancasila itu alat pemersatu bangsa, alat pemakmur, alat pencari keadian, kenapa kok malah jadi alat untuk koruptor melaksanakan tindakan jahatnya," ujar Praswad.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar