Agustinus Edy Kristianto, Founder dan CEO dari Portal Berita Hukum dan Politik Gresnews

Mengendus Modus Dana Triliunan Dibalik Pengangkatan Komisaris Telkom

Senin, 31/05/2021 09:58 WIB
Soal Abdee Slank, Said Didu: BUMN Jadi Badan Usaha Milik Tim Sukses! (eramuslim).

Soal Abdee Slank, Said Didu: BUMN Jadi Badan Usaha Milik Tim Sukses! (eramuslim).

Jakarta, law-justice.co - Topik Abdee Slank-Komisaris Telkom ternyata masih ramai. Kebanyakan menyoroti masalah kompetensi, politik balas budi, dan penghasilan.

Yakin inti masalahnya di situ? Dinding saya tidak akan ke sana. Buat apa membahas sesuatu yang hanya berujung debat kusir subjektif. Kita juga tidak boleh sinis terhadap penghasilan orang.

Ada hal yang lebih strategis dan besar tapi tidak kasat mata, yaitu soal akumulasi bisnis dan fundraising politik.

Sama seperti saya mengulas Prakerja, kita fokus pada bagaimana duitnya bekerja.

Ada dua hal penting: 1) model bisnis/cara mainnya; 2) hubungan kepentingan. Cek faktor siapa mendapatkan apa dengan cara bagaimana dan memanfaatkan siapa!

Lihat aturan main (UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN). Seorang Abdee/komisaris tidak ada artinya sebab komisaris sifatnya kolektif (Dewan Komisaris).

Abdee adalah satu dari 4 orang Komisaris Independen. Tiga lainnya: Bambang PS Brodjonegoro (bekas menteri dan Komisaris Bukalapak), Wawan Iriawan (bekas Ketua DPW Partai Nasdem Banten dan Managing Partner Kantor Hukum Iriawan & Co), dan Bono Daru Adji (Managing Partner Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners).

Secara umum tugas Dewan Komisaris adalah pengawasan terhadap perusahaan (terutama kinerja Direksi). Namun langsung saja ke bagian terpenting: keuangan.

Ada yang disebut Komite Audit yang wajib dibentuk oleh Komisaris dan Dewan Pengawas (Pasal 70 UU BUMN).

Ada pula pemeriksaan eksternal (selain internal oleh satuan pengawas) laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor eksternal (biasanya sudah ada langganannya) dan BPK (Pasal 71 UU BUMN). Ketua Komite Audit adalah anggota Komisaris Independen (bisa jadi Abdee terpilih).

Opini auditor atas kewajaran laporan keuangan dan perhitungan tahunan sangat penting. Di sinilah biasa terjadi yang disebut window dressing. Sudah terbayang siapa saja yang harus diatur, kan?

Lalu mari lihat aksi korporasi yang lagi hangat yakni suntikan dana dari Telkomsel (anak perusahaan Telkom) ke Gojek yang sudah terjadi 2 kali.

Saya kutip utuh dari sumber terpercaya.

FYI. 65% saham Telkomsel dikuasai Telkom, 35% Singtel (BUMN Singapura). Telkomsel menopang 72% pendapatan Telkom (terutama dari data dan voice). Laba Telkom 2020 adalah Rp16,67 triliun.

- Pada tanggal 16 November 2020, Telkomsel mengadakan perjanjian AKAB (PT Aplikasi Karya Anak Bangsa/Gojek) untuk investasi dalam bentuk OBLIGASI KONVERSI TANPA BUNGA senilai US$150 juta (setara dengan Rp2,116 triliun pada tanggal 31 Desember 2020) yang akan jatuh tempo pada tanggal 16 November 2023. Ada 5 perjanjian yang dibuat: Collaboration Agreement, Loan Agreement, Option Agreement, Conversion Side Letter, dan Investment Term Sheet (Sumber: Laporan Tahunan TLKM 2020);

- Pada tanggal 21 Mei 2021, Telkomsel, anak perusahaan dari Telkom, telah melakukan investasi tambahan kepada Gojek senilai US$300 juta. Transaksi tersebut dilakukan melalui penambahan penyertaan modal Telkomsel pada Gojek... sehingga total investasi Telkomsel di Gojek sebesar US$450 juta/sekitar Rp6,4 triliun (sumber: jawaban TLKM ke BEI pada 24 Mei 2021).

Saya pegang akta AKAB/Gojek per 23 Oktober 2019. Struktur permodalannya terdiri dari saham Seri A-P. Modal disetornya Rp675 miliar. Di situ tercantum nama Garibaldi Thohir (kakak Menteri BUMN Erick Thohir) sebagai Komisaris Utama. Pemegang saham Gojek banyak, kebanyakan perusahaan cangkang di luar negeri, selain ada juga Google Asia Pacific PTE. LTD, Tencent Mobility Limited, dan PT Astra International, Tbk.

Boleh saja orang berbusa-busa berdalih bahwa investasi ini bertujuan supaya Telkomsel menjadi leading digital telco company untuk mendukung bisnis digital connectivity, digital platform, dan digital services. Tapi yang tidak bisa dibantah adalah transaksi Rp6,4 triliun sudah terjadi. Duit masuk ke Gojek dan Gojek masih berstatus perusahaan privat. Pintu pun tertutup buat negara (negara tidak bisa audit Gojek).

Obligasi Konversi (Convertible Bond) adalah surat utang yang bisa ditukar sebagai saham di perusahaan penerbitnya (Gojek) dengan harga yang disepakati sekarang (ada perhitungan nilai wajarnya secara akuntansi).

Jadi Telkomsel semacam kasih utang tanpa bunga ke Gojek yang nanti bisa ditukar saham Gojek. Uang itu bisa dipakai Gojek untuk biaya operasional, ekspansi bisnis, maupun investasi.

Itulah mengapa Gojek bergerak cepat merger dengan Tokopedia dan melakukan upaya publikasi untuk mengerek harga dan reputasi (valuasi disebut US$18/Rp262 triliun) dan masuk 12 Most Valuable Startup in The World. Mereka membidik IPO di Bursa Indonesia dan New York untuk menghimpun dana publik. Lalu goreng dan goreng lagi, toh si bungsu bisa diajak karena sudah rajin berlatih pompom saham di medsos.

Sepanjang kita mengerti bahwa uang BUMN adalah keuangan negara maka fokus kita adalah Rp6,4 triliun itu tadi. Ceramah pengamat, pakar, influencer dsb tentang potensi untung besar investasi Telkomsel di Gojek itu, silakan Anda mau percaya atau tidak. Toh, semua masih pada fase melukis langit. Bahasa buku: unrealized gain/loss.

Tapi bagaimana kesepakatan terjadi, siapa saja pejabat yang terlibat, apa konflik kepentingannya, apa saja biaya yang timbul (arranger fee, komisi, administrasi, pajak dsb), bagaimana penggunaannya, apa potensi kerugian negaranya, bagaimana pertanggungjawabannya, adalah masalah lain: Good Governance.

Ekosistem bisnis Gojek itu sarat pembakaran uang. Karena model bisnis Gojek adalah intermediasi maka dia harus menjaga demand (supaya tetap murah dan menarik konsumen) dan supply (penyedia barang/jasa, ojol, dsb). Di situlah bakar-bakaran uang terjadi untuk promo, diskon, dan tawaran benefit lain.

Ujungnya adalah IPO, divestasi. Ke publik sebagai calon investor (hati-hati investor ritel). Promosi akan habis-habisan supaya kita makan barang itu. Kalau kita belum mau makan akan dipancing dengan segala jenis proxy yang seolah-olah memborong saham itu dan akhirnya kita ikutan beli. Banyak cara untuk merayu.

High risk dan belum tentu high return. Dana segar Rp6,4 triliun itu bisa mengalir ke mana-mana sampai jauh dan patut dicurigai juga merembes ke lingkungan pendanaan politik. Naif kalau beranggapan itu semua murni bisnis tanpa lobi politik yang ada ongkosnya. Ingat, uang Rp6,4 triliun itu banyak banget! Mau nyapres/nyawapres, Om? Bilang, dong.

Tren fundraising politik saat ini sudah beralih menjadi digital. Kartu-kartuan, saldo virtual, digital banking dsb adalah alatnya. Sebab di situlah tersimpan uang mulai dari saldo virtual Prakerja, saldo Gopay, saldo bansos...

Sekarang, yakinkah kita uang Rp6,4 triliun itu akan beranak-pinak dan menguntungkan negara? Yakin perusahaan negara mau terjun dalam bisnis bakar uang bin spekulatif begini? Yakin mau diobok-obok politisi?

Segala jenis risiko bisa nyata terjadi: risiko politik (bagaimana jika menterinya direshuffle), risiko kompetitor (bagaimana jika kompetitor bakar uang lebih banyak lagi), risiko kejenuhan konsumen (bagaimana jika konsumen mulai sadar dan mandiri), risiko keuangan global, dan sebagainya.

Ada baiknya KPK, Polri, atau Kejaksaan Agung mencermati transaksi ini (sudahi polemik TWK dan mulai bekerja lagi). Anggota DPR (baik yang karena jujur berkata benar maupun karena belum kebagian) silakan berteriak. Masyarakat sipil/LSM pun bisa turun gunung. Netizen Indonesia mana suaranya? Komunitas ojol? UMKM?

Bukan kali ini saja dugaan korupsi di perusahaan negara terjadi dengan dalih investasi dan proyek digitalisasi. Di KPK masih ada tunggakan perkara tukar guling saham Mitratel dan Tower Bersama (TBIG), di Polda Metro Jaya baru-baru ini ada laporan dugaan korupsi proyek sinergi new sales broadband Telkomsel.

Jadi, masalah Abdee Slank tak bisa sekadar ditepis dengan argumen bahwa dia punya pengalaman bisnis digital dan bisa memperkaya konten melainkan dia berada di lingkaran gelap permainan aksi korporasi yang berpotensi merugikan uang negara. Tidak ada kaitan memperkaya konten dengan wewenang komisaris!

Bagi masyarakat, memang tak mudah melihat adanya permainan di balik layar, tapi setidaknya baunya bisa kita endus.

Kita amati saja terus lewat media massa, ke mana lagi bidak berpindah.

Yang tadinya Abdi Negara, lalu Abdee Slank, bisa berubah menjadi Abdee Capital, dan akhirnya menuju Negara Kesatuan Rekapital Indonesia.

Salam 6,4 Triliun.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar