Fradhana Putra Disantara, Editor Jurnal Kajian Pembaruan Hukum, MIH Universitas Jember

Upaya Perlindungan Pelaku Pelecehan Seksual oleh Kolega: Relasi Kuasa

Jum'at, 14/05/2021 21:01 WIB
Ilustrasi Pelecehan  Seksual (indopolitika)

Ilustrasi Pelecehan Seksual (indopolitika)

[INTRO]
Kasus pelecehan seksual merupakan kejahatan moral yang tertua di dunia; sekaligus menjadi persoalan yang bersifat universal untuk ditentang dan dianggap tercela oleh agama, suku bangsa, budaya, dan peradaban di dunia.
 
Pada perspektif moralitas, pelecehan seksual merupakan tindakan tercela dan tidak baik; terlepas perbedaan penegakan hukum yang terjadi pada masing-masing negara. Hal tersebut sebagaimana perspektif hukum pidana yang menyatakan bahwa pelecehan seksual merupakan suatu "mala per se". 
 
Dengan demikian, pelecehan seksual pada merupakan enigma yang bertentangan dengan prinsip imperatif kategoris sebagaimana pemahaman Immanuel Kant; oleh sebab pelecehan seksual adalah tindakan yang bersifat amoral serta diakui hakikat kejahatannya secara universal bagi seluruh umat manusia.
 
Oleh karenanya, seyogianya tindakan pelecehan seksual bukan hanya diatur dalam hukum positif; namun memerlukan penegakan hukum secara komprehensif, sebagaimana postulat latin yang menyatakan “Quid leges sine moribus vanae proficient?, leges sine moribus vanae”. 
 
Postulat di atas memberikan pemahaman  bahwa `apalah` artinya hukum tanpa moralitas? Dengan tidak diadopsi kandungan moralitas dalam suatu hukum, maka hukum telah kehilangan kegunaannya; termasuk telah kehilangan nilai keadilan sebagai salah satu nilai dasar dalam hukum.
 
Postulat tersebut diperkuat dengan pendapat Ronald Dworkin yang menyatakan “Moral principle is the foundation of law”. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan pelecehan seksual merupakan tindakan yang yang memerlukan penegakan hukum secara komprehensif dan holistik. 
 
Penegakan hukum secara holistik dalam kasus pelecehan seksual tidak boleh hanya berorientasi sempit pada pelaku pelecehan seksual semata. Namun, termasuk pula pada upaya untuk melihat aspek-aspek `diluar` pelaku dan korban pelecehan seksual yang nota bene justru melegitimasi atau memfasilitasi tindakan pelecehan seksual tersebut. 
 
Sebagaimana yang disampaikan oleh Jimly Asshidiqie bahwa "masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa yang masih konservatif, terdapat budaya dan watak feodalisme yang masih dilaksanakan baik dalam lingkup politik maupun dalam lingkup sosial-kemasyarakatan"; watak feodalisme yang dilegitimasi secara eksklusif inilah yang kemudian dapat `memuluskan` sekaligus `melicinkan` tindak pelecehan seksual. 
 
Apalagi, watak feodalisme yang identik dengan pola hubungan patron-client  justru menjadi ‘tabir penutup’ dari kejahatan pelecehan seksual. Pola hubungan patron-client ini lazim terjadi dalam kasus pelecehan seksual antara dosen-mahasiswa, guru-murid, atasan-bawahan, serta tokoh masyarakat-masyarakat biasa.
 
Oleh karena itu, hubungan patron-client dalam pelecehan seksual juga diakibatkan oleh rekan, kolega, serta lingkungan tempat pelecehan seksual terjadi yang sengaja membiarkan bahkan memfasilitasi pelecehan seksual terjadi. 
 
Pelecehan Seksual: Kezaliman atau Kelaziman? 
 
Suburnya kasus pelecehan seksual yang disebabkan karena adanya peran kolega atau orang terdekat yang justru membiarkan, menutup-nutupi, bahkan memfasilitasi tindakan pelecehan seksual tersebut; menimbulkan konsekuensi bahwa pencegahan serta penegakan hukum terkait tindak pelecehan seksual tidak hanya berfokus pada pelaku dan korban saja, tetapi juga pada pihak-pihak serta lingkungan terdekat dari potensi kasus pelecehan seksual. 
 
Fenomena tersebut sejatinya diperkuat oleh konsepsi bahwa dalam suatu tindak pidana (terutama pelanggaran Hak Asasi Manusia), terdapat dua jenis delik; yaitu delik yang bersifat acts of commission serta delik yang bersifat acts of  omission. Delik yang bersifat acts of commission menekankan pada suatu tindak pidana yang dilakukan dengan tindakan aktif dari perilaku.
 
Pada konteks pelecehan seksual, delik acts of commission dilakukan oleh pelaku pelecehan seksual karena semata-mata dengan adanya tindakan aktif dari pelaku pelecehan seksual. Sedangkan, delik acts of  omission dilakukan karena adanya suatu sifat pasif atau pembiaran terhadap adanya suatu tindak pidana maupun pelanggaran HAM. 
 
Pada konteks pelecehan seksual, delik acts of  omission seringkali dilakukan oleh pihak-pihak serta lingkungan terdekat dari kasus pelecehan seksual. Misalnya dalam lingkup perguruan tinggi, biasanya terdapat kolega dosen yang justru melindungi maupun membiarkan adanya tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh kolega sesama dosen.
 
Padahal ini, tentu delik acts of omission perlu diterapkan pada pihak-pihak serta lingkungan yang mencoba melindungi atau membiarkan kasus pelecehan seksual yang nota bene justru dilakukan oleh kolega terdekat dari pelaku pelecehan seksual. 
 
Perlindungan terhadap pelaku pelecehan seksual yang dilakukan oleh kolega maupun lingkungan terdekat dari pelaku pelecehan seksual dapat dikategorisasikan sebagai deelneming. Menurut Wirjono Prodjodikoro, hubungan penyertaan dapat terbentuk dengan berbagai variasi seperti: (i) bersama-sama melakukan kejahatan, (ii) seorang  mempunyai kehendak dan merencanakan sesuatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut, dan (iii) seorang saja yang melakukan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut. 
 
Lebih lanjut, dalam Pasal 56 KUHP sejatinya telah menegaskan mengenai medeplichtigkheid yang meliputi: (i) seseorang yang sengaja  memberi bantuan pada waktu/saat  kejahatan dilakukan dan (ii) Seseorang yang memberi  kesempatan  sarana  atau  keterangan untuk melakukan kejahatan (sebelum kejahatan dilakukan).
 
Berdasarkan pendapat tersebut, maka kolega/rekan terdekat yang membiarkan tindak pelecehan seksual dapat dikategorisasikan sebagai orang yang “membantu” melaksanakan suatu tindak pidana. Hal tersebut juga diperkuat dengan konsep medeplichtigkheid yang salah satu bentuknya adalah berupa “pemberian kesempatan” atau “sarana” bagi terjadinya suatu tindak pidana. 
 
Pembiaran yang dilakukan oleh kolega atau orang terdekat dengan pelaku pelecehan seksual dapat dikategorisasikan telah “memberikan kesempatan atau sarana” bagi terjadinya tindak pelecehan seksual. Dengan demikian, maka perlindungan yang diberikan kolega/rekan terdekat pelaku pelecehan seksual, meliputi menganggap pelecehan seksual itu wajar atau membiarkan pelecehan seksual itu terjadi (tanpa upaya untuk mencegah/melaporkan kepada pihak berwajib). 
 
Maka, kolega/rekan terdekat pelaku pelecehan seksual tersebut layak untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana sebagaimana dalam doktrin hukum pidana yaitu onzelfstandige vormen vandeelneming yang berarti apabila oleh peserta yang lain dilakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, maka peserta yang satu juga dapat dihukum. Hal ini tentunya mutatis mutandis dengan makna “Jika pelecehan seksual wajib dimintakan pertanggungjawaban pidana, maka kolega/rekan terdekat yang membantu, membiarkan, serta menganggap pelecehan seksual merupakan sesuatu yang wajar juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana”. 
 
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kasus pelecehan seksual perlu dilihat serta ditegakkan tidak hanya dengan melihat pelaku pelecehan seksual yang hanya berorientasi pada delik acts of commission.
 
Oleh karena itu, dengan adanya potensi perlindungan serta pembiaran dari kolega terdekat pelaku pelecehan seksual, maka perlu juga dipertegas adanya sanksi pada delik yang bersifat acts of  omission dalam pelecehan seksual, termasuk juga menegaskan bahwa upaya untuk melindungi, membantu, memfasilitasi, serta membiarkan tindak pelecehan seksual juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana tindak pelecehan seksual itu sendiri. 
 
Tentunya, dengan mengoptimalkan delik acts of commission, delik acts of  omission , serta doktrin onzelfstandige vormen vandeelneming  bagi kolega maupun pihak yang melindungi serta membiarkan tindak pelecehan seksual terjadi, maka diharapkan kasus pelecehan seksual dapat dicegah serta dapat ditegakkan secara lebih efektif, sehingga pelecehan seksual yang merupakan tindakan yang zalim, tidak dianggap sebagai tindakan yang lazim hanya mendasarkan pada seringnya ditutup-tutupi serta difasilitasi oleh kolega terdekat pelaku pelecehan seksual.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar