Demi Bongkar Mafia Alutsista TNI, Jenderal Ini Tolak Uang Suap Rp20 M

Sabtu, 01/05/2021 09:52 WIB
Pramono Edhie Wibowo tolak uang suap Rp20 miliar untuk pengadaan alutsista TNI (Tribunnews)

Pramono Edhie Wibowo tolak uang suap Rp20 miliar untuk pengadaan alutsista TNI (Tribunnews)

law-justice.co - Kondisi alat utama sistem pertahanan atau alutsita TNI mulai terbongkar usai kapal selam KRI Nanggala 402 tenggelam dalam latihan di perairan Bali beberapa waktu lalu. Salah satu yang disorot adalah soal pengadaannya yang penuh dengan praktik suap para mafia.

Komandan KRI Nanggala-402 Letkol (P) Heri Oktavian yang gugur semasa hidupnya pernah resah dengan sistem pengadaan alutsista di tubuh TNI. Keresahan ini ia sampaikan ke wartawati Kompas Edna C Pattisina. Lewat tulisannya berjudul "Pesan dari Komandan KRI Nanggala-402" Edna mengungkapkan keresahan Heri soal pengadaan alutsista ini.

Kepada Edna, Heri mengungkap cerita mengenai korban-korban yang jatuh akibat alutsista yang buruk. Heri pun berharap para pembuat keputusan memikirkan TNI dan prajuritnya bukan hanya `asal bapak senang` demi pangkat dan kursi yang enak atau keuntungan material.

Buruknya pengadaan alutsista di TNI ini dinilai pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie karena adanya mafia. Keberadaan mafia itu pula yang menambah persoalan sistem pertahanan di Indonesia.

Meski tidak menyebutkan secara detail, Connie sempat menyebut inisial M sebagai salah seorang mafia yang dimaksud. "Mister M, (sebut) Mister M saja," kata Connie dalam sebuah diskusi daring pada Minggu (25/4/2021).

Connie mengambil contoh kerja sama antara Korea Selatan dengan Indonesia terkait pembuat pesawat tempur. Kerja sama itu berbalut Korean Fighter Xperiment (KFX) dan Indonesia Fighter Xperiment (IFX). Namun belakangan diketahui KFX-IFX terancam gagal.

Connie mengatakan apabila memang Indonesia ingin benar-benar membereskan alutsista demi kepentingan bangsa terutama sistem pertahanan TNI, sekaligus menyesuaikam dengan peta jalan atau roadmap yang ada, maka mafia-mafia sudah seharusnya disingkirkan.

Hal senada diungkapkan pengamat militer Al A`raf di acara Mata Najwa. "Kita harus jujur jangan ada permainan di pengadaan alutsista. Pemerintah, DPR, broker, jangan bermain. Karena permainan itu yang menyebabkan resiko kecelakaan tinggi. So stop lah. Kita harus jujur jangan bermain di sektor pertahanan, jangan bermain dalam alutsista karena itu membahayakan para prajurit," pesan Al A`raf.

Adanya permainan alutsista TNI ini pernah diungkap mantan KSAD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo. Dalam buku berjudul "Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan", ipar SBY ini menceritakan soal sengkarut pengadaan alutsista TNI.

Saat itu TNI AD akan membeli alat bidik (teropong) untuk senapan serbu SS-2. Pembelian teropong itu direncanakan dari luar negeri karena Pindad belum memproduksinya.

Pihak penjual waktu itu menawarkan harga Rp30 juta per unitnya. Harga ini dirasa terlalu mahal. Pramono Edhie mencium ada yang aneh.

Ia tak percaya begitu saja harga satu unit teropong Rp30 juta. “Masa harga teropong lebih mahal dari senapannya,” kata Pramono Edhie.

Pramono Edhie lalu meminta stafnya mencari tahu harga sebenarnya. Ternyata harga satu unitnya hanya Rp 19 juta. Ada selisih harga begitu besar dari yang ditawarkan pihak penjual.

Pramono Edhie lalu memerintahkan anak buahnya untuk menanyakan langsung ke pabriknya di Amerika Serikat. Nyatanya harga dari pabrik hanya Rp 9 juta. Edhie Pramono kaget.

Mengapa bisa terjadi selisih harga begitu tajam dari yang dijual pabrik dengan harga yang ditawarkan pihak ketiga. Pramono Edhie sempat ingin membeli langsung teropong dari pabriknya.

Namun pihak pabrik menolak. Sebab mereka sudah ada kesepakatan dengan broker di Singapura. Si Broker ini lantas membujuk Pramono Edhie untuk membeli teropong itu seharga Rp 24 juta per unit.

Bila Pramono Edhie setuju, ia akan mendapat bagian Rp 4 juta per unitnya. Saat itu TNI AD membutuhkan 50 ribu teropong untuk 100 batalyon.

Bisa dibayangkan berapa uang komisi yang diterima Pramono Edhie bila mau menerima tawaran itu. Dihitung-hitung uang komisi untuk Pramono Edhie sebesar Rp 20 miliar.

Namun Pramono Edhie menolak dengaan tegas rayuan si broker. Pramono Edhie membatalkan pembelian teropong dari si broker.
Bagi Pramono Edhie, pembelian alutsista di TNI harus dilakukan secara bersih dan transparan.

Hal lain yang pernah dialami Pramono Edhie terkait alutsista TNI adalah saat ia ingin membeli tank leopard seharga 280 juta dolar Amerika.

Selama ini pengadaan alutsista TNI selalu melalui pihak ketiga alias agen. Keberadaan agen dalam bisnis alutsista ini dinilai Pramono Edhie merugikan negara.

Kerugiannya menurut Pramono Edhie lebih dari 30 persen. Saat itu Pramono Edhie berkeinginan membeli tank leopard tidak melalui agen.

Pramono Edhie ingin pembelian itu melalui mekanisme G to G atau antar pemerintah. Keputusan Pramono Edhie ini mendapat tentangan dari banyak pihak.

Ini karena banyak kepentingan yang terganggu dengan rencana tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, proyek pembelian senjata selalu melibatkan orang-orang tertentu.

Orang-orang itu hanya berorientasi pada keuntungan yang didapat tanpa melihat nilai strategis suatu barang. “Barang yang diminta tidak dibelikan. Barang yang dibeli tidak dibutuhkan,” kata Pramono Edhie menggambarkan orang-orang yang bermain di bisnis senjata.

Pramono Edhie tidak ingin seperti itu. Ia merubahnya. Pramono Edhie siap pasang badan menghadapi orang-orang seperti itu. Bahkan ia siap menanggung segala resiko yang akan dialaminya.

Pramono Edhie tidak mau diatur oleh pihak-pihak yang kepentingannya terganggu. Dia mengubah kebiasaan buruk yang sudah berlangsung lama di tubuh TNI.

Pengadaan alutsista di TNI diterapkan dengan cara G to G. Keputusan Pramono Edhie tidak melibatkan agen itu merugikan banyak pihak baik di dalam maupun luar negeri.

Orang-orang yang tidak setuju dengan pembelian tank Leopard itu langsung bereaksi. Di media massa beredar berita mengenai penolakan terhadap pembelian tank leopard.

Mulai dari pengamat militer, purnawirawan, hingga anggota parlemen menyatakan ketidaksetujuannya dengan keputusan Pramono Edhie membeli tank leopard.

Mereka menjuluki Pramono Edhie sebagai Mr Leopard. Banyak alasan diajukan pihak penentang tank leopard. Ada yang mempersoalkan jalan-jalan dan jembatan yang dilalui tank leopard akan hancur.

Ini karena mereka beranggapan jalan dan jembatan di Indonesia tak mampu menahan beban tank leopard. Tank leopard itu berbobot 62 ton.

Pihak lain menyatakan tank leopard tidak cocok dengan kondisi geografis Indonesia. Ada juga yang berpendapat ancaman yang dihadapi Indonesia belum perlu menggunakan tank berat seperti leopard.

Penolakan ternyata tidak hanya datang dari dalam negeri. Pihak luar negeri juga ikut menentang pembelian tank leopard. Parlemen Belanda ikut menolak adanya rencana pembelian tank leopard.

Awalnya pemerintah Belanda setuju menjual tank leopard ke Indonesia.Namun karena ada penolakan dari parlemen, pemerintah Belanda tidak berniat menjual tank leopard nya.

Berbagai macam argumen penolakan ini tidak menyurutkan langkah Pramono Edhie. Pramono Edhie memerintahkan WAKASAD Letjen Budiman untuk melobi pemerintah Jerman.

Ahasil pembelian tank buatan Jerman itu berjalan mulus. Dengan harga Rp 280 juta dolar AS, TNI AD bisa mendapatkan 153 tank leopard langsung dari Jerman.

Jika melalui calo atau agen, hanya bisa mendapat 40 tank leopard dengan harga yang sama. Pada 21 September 2013 tank leopard tiba di Jakarta.

Saat itu Pramono Edhie sudah pensiun dari tentara. Tank itu dibawa ke Markas Divisi 1 Kostrad Cilodong Bogor. Nyatanya jalan-jalan yang dilalui tank leopard tidak rusak. Jembatan yang dilalui tank leopard pun tidak rubuh.

Kehadiran main battle tank di Indonesia memperkuat sistem pertahanan. Selama ini Indonesia tidak memiliki main battle tank. Indonesia hanya punya tank-tank ringan berbobot 15 sampai 25 ton.

Tank-tank ini bukan tandingan milik negara tetangga Malaysia. Malaysia memiliki main battle tank PT-91 buatan Polandia. Tank ini tentu bukan tandingan tank-tank ringan Indonesia.

Prajurit kavaleri TNI AD pun sering berkecil hati setiap latihan bersama negara tetangga. Alutsista yang mereka miliki kalah pamor dibanding milik negara tetangga.

Begitu tank leopard hadir, kepercayaan diri Indonesia menjadi tinggi. Panglima TNI Jenderal Moeldoko pun memamerkan tank leopard pada Hari TNI 5 Oktober 2013.

Kehadiran tank leopard dalam parade militer menjadi primadona. Hadirin yang hadir di acara itu terpesona dengan kehadiran jajaran tank leopard.

Pramono Edhie ikut hadir di acara itu sebagai purnawirawan. Ia merasa bangga melihat tank leopard melintas di hadapannya.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar