Bukan Hal Mustahil, `Badai Covid-19` Indonesia Lebih Bahaya dari India

Selasa, 27/04/2021 11:35 WIB
Ilustrasi Penanganan Corona. (CNNIndonesia)

Ilustrasi Penanganan Corona. (CNNIndonesia)

law-justice.co - Saat ini, India tengah menjadi pusat perhatian global seiring lonjakan kasus virus corona (SARS-CoV-2) yang begitu masif dalam dua pekan terakhir.

Negara berpenduduk 1,36 miliar orang itu terus mencetak rekor penambahan kasus harian Covid-19 hingga mencapai 350 ribu kasus dalam sehari.

Padahal pada awal tahun, India sempat mendapat pujian global, termasuk dari Indonesia. Negara ini berhasil melakukan jumlah tes, penelusuran kontak, juga isolasi yang masif dan signifikan. Selain itu statistik capaian vaksinasi pun cukup tinggi.

Namun pelbagai upaya itu diikuti sikap abai masyarakat India terhadap protokol kesehatan. Warga di negara itu nekat menggelar ritual keagamaan, politikus aktif lagi menghelat kampanye, kelengahan mematuhi protokol pencegahan Covid-19 mewarnai pelbagai aktivitas.

Hingga akhirnya `Tsunami` Covid-19 pun menghantam India juga. Imbasnya, tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR) rumah sakit di India overload, pasien terpaksa dirawat di jalan dekat RS, hingga petugas krematorium dan pemakaman ikut kewalahan.

Kondisi India yang mirip Indonesia dari segi kepadatan penduduk, perilaku masyarakat, serta kebudayaan tersebut membuat Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra khawatir.

Hermawan menilai Indonesia juga berpotensi mengalami hal serupa, dan kemungkinan bisa jadi bakal lebih parah. Mengingat, menurut dia, teknik pengendalian pandemi Covid-19 pemerintah India lebih baik dibanding Indonesia.

India, lanjut dia, sudah melalui puncak Covid-19 dan diketahui sempat berhasil mengontrol kasus secara apik. Dibuktikan dengan penambahan kasus harian yang tak sampai 10 ribu kasus, hingga positivity rate alias rasio positif harian di kisaran 7-10 persen.

Negara tersebut juga sempat menerapkan karantina wilayah atau lockdown beberapa kali, dan tercatat sebagai salah satu produsen vaksin dengan skala besar. Seperti produksi vaksin asal perusahaan farmasi Inggris, AstraZeneca. Sedangkan Indonesia, kebalikan dari itu.

"Untuk penanganan Covid-19 India lebih baik dari Indonesia. Karena kita [Indonesia] sangat lemah di testing dan tracing, kita juga tidak punya vaksin andalan, ditambah kebijakan yang tidak cukup kuat. Maka, kombinasi itu bisa jadi badai Covid-19 luar biasa di Indonesia, bisa lebih parah mungkin dari India," kata Hermawan seperti melansir cnnindonesia.com, Selasa 27 April 2021.

Hermawan lantas menjelaskan potensi `badai Covid-19` di Indonesia bisa terjadi dipicu pelbagai kondisi. Pertama, strategi pengendalian pandemi Covid-19 oleh pemerintah yang meliputi tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) mengalami stagnasi bahkan kemunduran dari ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kedua yakni kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan Covid-19 meliputi memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M), mengalami kemerosotan.

Ketiga, jika Indonesia kedatangan mutasi virus corona yang terus berkembang dan beberapa di antaranya dilaporkan memiliki tingkat penularan tinggi hingga dinilai kebal terhadap vaksin Covid-19.

"Kita jangan sampai, varian baru masuk dan meluluhlantakkan upaya-upaya yang sudah ada. Jadi tentu kita tidak berharap seperti India," kata Hermawan mengingatkan.

Wanti-wanti juga dia sampaikan terkait gelagat euforia vaksinasi. Warga menjadi lengah mematuhi protokol kesehatan, padahal pemberian vaksin tak lantas membuat seseorang kebal virus corona. Pelajaran ini pula yang bisa diambil dari kasus India.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra melanjutkan, kondisi keempat adalah euforia vaksinasi yang membuat warga menganggap vaksin corona ini menjadikan seseorang kebal akan penularan, sehingga mengabaikan pola hidup bersih dan protokol 3M.
Kelima, kebijakan kontraproduktif pemerintah. Sinkronisasi yang cacat antar kementerian/lembaga yang memantik amarah dan kekecewaan masyarakat menurut Hermawan, dapat menjadikan warga mulai bosan dengan situasi pandemi.

"Indonesia sangat mungkin bisa seperti India. Maka oleh sebab itu, biar tidak senasib kita harus membatasi mobilitas dan pintu masuk Indonesia. Tapi kalau belajar dari India, jangan sampai seperti India," jelas dia lagi.

Lebih lanjut, Hermawan meminta kebijakan pembatasan mobilitas warga seperti larangan mudik selama libur panjang Idulfitri 1442 H dilaksanakan secara serius oleh pemerintah. Ia tidak ingin larangan mudik hanya menjadi slogan dan tong kosong belaka.

Apalagi bila melihat data Satgas Penanganan Covid-19 per 20 April yang menunjukkan warga di mayoritas provinsi melakukan mobilitas ke pusat perbelanjaan pada awal April dan spesifik pada 12 April atau sehari jelang Ramadan. Kenaikan mobilitas warga juga terjadi pada akhir pekan Ramadan.

Sebanyak 11 Provinsi menunjukkan tingkat mobilitas cukup tinggi di pusat perbelanjaan sejak Maret 2021. Mereka yakni Bengkulu, Gorontalo, Jambi, Kalimantan Utara, Lampung, Maluku Utara, NTB, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Sumatera Barat.

Belum lagi data soal mobilitas warga menuju tempat wisata di 34 provinsi Indonesia. Dilaporkan, mobilitas warga ke tempat wisata pada libur Paskah meningkat di 21 provinsi. Mobilitas di Bali pun meningkat saat perayaan Gulungan pada 15 April lalu. Sementara mobilitas di 14 provinsi lainnya naik jelang Ramadan.

"Tetap akan ada kenaikan kasus covid-19. Karena akan ada orang yang mudik sebelum dan sesudah hari dilarang mudik, dan orang memanfaatkan itu. Hemat saya bisa 20-30 persen kenaikan tetap terjadi pada libur panjang lebaran esok," Hermawan memperkirakan.

Indonesia Bisa Kembali ke Kondisi Terburuk Covid-19
Dengan kenaikan itu, dia lantas khawatir, meski dilarang mudik akan tetapi mobilitas penduduk yang `terjebak` di ibu kota maupun kota besar lainnya berpotensi mengarah ke pergerakan menuju tempat wisata lokal.

Apalagi seiring kebijakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno yang mengajak masyarakat mengunjungi destinasi wisata lokal selama libur lebaran pada Mei mendatang.

Dengan kebijakan kontraproduktif pemerintah, ditambah masyarakat yang mulai jenuh dengan kondisi Covid-19 dan pelbagai aturan yang timpang tindih, transmisi corona bisa kembali meningkat serta berpotensi senasib dengan India.

"Kebijakan kurang sinkronisasi dan tumpang tindih itu akan jadi boomerang," pungkas Hermawan.

Senada diutarakan Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo. Dia menilai Indonesia bisa kapan saja menyusul kondisi `Tsunami Covid-19` seperti India. Apalagi mengingat akan ada perayaan lebaran yang diyakini bakal mengundang mobilitas warga.

Dia mengingatkan, India memiliki pengendalian kasus yang tergolong apik sebelum lonjakan Covid-19 yang begitu besar meluluhlantakkan sistem kesehatan di sana. Karena itu Windhu mengingatkan kombinasi pelonggaran kebijakan dan merosotnya kepatuhan prokes bukan tak mungkin mengantar Indonesia kembali ke puncak Covid-19.

"Peningkatan kasus bisa saja kapanpun terjadi. Yang saya khawatirkan kita masuk gelombang dua yang lebih tinggi daripada gelombang satu," Indonesia pernah melalui kondisi terburuk sekali di Desember 2020 sampai Januari-Februari 2021," kata Windhu.

Menurut Windhu, lonjakan puncak kasus Covid-19 sejauh ini dinilainya terjadi pada 30 Januari lalu dengan 14.518 tambahan kasus dalam sehari.
Pada pengujung 2020 dan awal bulan 2021 itu rata-rata kasus mencapai 10 ribu dalam beberapa hari berturut. Akibatnya BOR RS untuk isolasi dan ICU penuh, pemakaman di DKI Jakarta pun demikian. Sampai-sampai, harus membuka lahan baru pemakaman khusus pasien Covid-19.

Namun memasuki Maret awal, Indonesia mengalami pelandaian kasus. Satgas menyatakan gelombang pertama dapat dilalui bila terjadi konsistensi penambahan kasus harian berjumlah setengah dari 14 ribu--rekor kasus tertinggi--atau kurang lebih 7 ribu kasus dalam sehari dalam 3-5 pekan.

Bila melihat pakem itu, maka perkembangan kasus Covid-19 di bawah angka tujuh ribu kasus dalam sehari telah terjadi selama hampir lima pekan. Akan tetapi kondisi itu menurut Windhu ternyata belum cukup aman.

"Dan sekarang pun Indonesia stagnan, tidak turun lagi. Memang sempat turun dibanding Januari di puncak pertama itu. Nah, stagnasi itu dari pengalaman di banyak negara dan pengalaman kita sendiri, itu kondisi berbahaya dan itu bisa-bisa naik lagi. Kita jangan sampai terjadi lonjakan covid-19 seperti India," jelasnya.

Lebih lanjut, Windhu juga menyoroti ihwal kecolongan Indonesia terhadap ratusan Warga Negara India yang diizinkan masuk di Indonesia. Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Soekarno-Hatta mencatat pada periode 11-22 April 2021, ada 454 WN India masuk melalui Bandara Soekarno-Hatta, meski mereka memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) atau kepemilikan Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap).

Namun kini, pemerintah menetapkan keputusan untuk menolak masuk warga asing yang memiliki riwayat perjalanan dari wilayah India dalam kurun 14 hari sebelum masuk Indonesia. Kebijakan berlaku mulai Sabtu (24/4) lalu. Tapi ia tetap menyayangkan kebijakan yang terkesan lamban tersebut, padahal `Tsunami Covid-19` India telah terjadi selama dua bulan belakangan.

"Kita begitu permisif, kita tidak pernah belajar. Warga tidak boleh mudik, tapi WNA bisa masuk, apa bedanya? Nah itu yang menurut saya situasi yang berbahaya," pungkas Windhu.

Untuk itu Windhu pun meminta pemerintah memperkuat lini pintu masuk negara Indonesia dan titik-titik pada pelarangan mudik mendatang. Kendati ia sendiri menyangsikan larangan mudik akan benar-benar mampu membatasi pergerakan warga.

Menurut Windhu, kebijakan itu tidak sepenuhnya dilakukan dengan tepat. Ia lantas mengkritik pemerintah yang dinilai kerap mengeluarkan kebijakan paradoks, seperti larangan mudik jauh dilarang, akan tetapi mudik dekat diizinkan. Selain itu, tempat wisata juga tidak ditutup secara total.

"Potensi peningkatan kasus pasca lebaran ada. Jadi kalau kita seperti ini, Indonesia akan bisa seperti India," kata Windhu mengingatkan.

Sebab, lanjut dia, berkaca pada kasus-kasus pada tahun lalu libur panjang yang rata-rata menyumbang kenaikan kasus nasional. Tercatat, penambahan jumlah kasus Covid-19 baik secara harian maupun kumulatif mingguan melonjak hingga 93 persen pada libur Idulfitri 22-25 Mei 2020. Lonjakan kasus itu terlihat dalam rentang waktu 10-14 hari kemudian.

Hal serupa terjadi pada libur panjang Agustus 2020. Penambahan jumlah kasus positif baik secara harian maupun kumulatif mingguan melonjak hingga 119 persen sejak libur panjang 20-23 Agustus 2020.

Ada pula, libur panjang 28 Oktober-1 November 2020 yang naik hingga 95 persen. Dan terakhir, pada 24 Desember 2020 hingga 3 Januari 2021 melonjak hingga 78 persen.

"Nah itu yang kita khawatirkan, nasib India bisa terjadi di Indonesia. Kasus Iindia 3-4 kali lipat dari puncak tertinggi mereka di September 2020. Kita harus berhati-hati karena kita bakal menghadapi peristiwa mirip, keagamaan, yaitu lebaran," ungkap Windhu.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar