OJK Kebiri Porsi Investasi, Pelaku Bisnis Asuransi Jadi Galau

Senin, 29/03/2021 14:40 WIB
Ilustrasi Asuransi (Sindo)

Ilustrasi Asuransi (Sindo)

law-justice.co - Galau. Boleh jadi, begitulah perasaan yang kini sedang menyelimuti benak para pelaku bisnis asuransi jiwa di Tanah Air. Bagaimana tidak. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali akan memperketat aturan main penempatan portofolio investasi asuransi jiwa. Sedianya, ketentuan baru tersebut akan dituangkan oleh OJK dalam Surat Edaran (SE) di bidang perasuransian.

Kabar tak sedap itu diungkapkan Togar Pasaribu, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Togar menyebut, saat ini OJK tengah menggodok ketentuan baru soal penempatan investasi dana yang dikelola industri asuransi jiwa. Bahkan, AAJI juga dilibatkan regulator dalam perumusan aturan tersebut.

Ada beberapa poin pembatasan investasi yang akan diatur OJK.

Pertama, terkait penempatan investasi pada pihak yang terafiliasi dengan perusahaan asuransi jiwa. Dalam draf yang didapat AAJI, Togar bilang, secara total semua jenis investasi hanya diperbolehkan paling banyak 10% dari aset masing-masing subdana, kecuali afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah.

Kedua, penempatan investasi pada satu pihak paling banyak sebesar 15% dari aset masing-masing subdana, kecuali deposito pada bank umum dan investasi pada surat berharga pemerintah. Ketiga, pembatasan dalam pemilihan surat utang jangka menengah atau medium term notes (MTN). OJK akan mengatur penempatan dana hanya di instrumen MTN dengan rating paling rendah idAA.

Celakanya, pembatasan penempatan investasi tersebut dinilai akan mempersempit ruang gerak perusahaan asuransi untuk meminimalisir risiko bisnis. Pasalnya, menurut Togar, penempatan investasi dilakukan perusahaan asuransi dengan tujuan mengkaver uang pertanggungan (UP) yang harus dikeluarkan untuk para nasabah pemegang polis.

Togar mencontohkan, seorang nasabah membeli polis asuransi dengan UP sebesar Rp 1 miliar dalam jangka waktu tertentu. Sementara premi yang dibayar nasabah hanya Rp 50 juta per tahun. Lalu, tiba-tiba pada tahun ketiga si nasabah meninggal dunia. Jika itu terjadi, maka perusahaan asuransi jiwa tetap harus membayar UP kepada nasabah Rp 1 miliar.

Padahal, ya, itu tadi, pemegang polis baru membayar premi sebesar Rp 150 juta selama tiga tahun. Kalau kejadiannya seperti itu, lalu dari mana perusahaan asuransi bisa menutupi UP yang kurang Rp 850 juta tersebut? Di sinilah, kata Togar, perusahaan asuransi butuh instrumen investasi yang bisa mengejar selisih UP tadi.

Karena itu, Togar berharap, OJK bisa mempertimbangkan kembali batasan investasi yang diperbolehkan untuk perusahaan asuransi. Ini terutama terkait porsi penempatan dana kelolaan pada instrumen investasi seperti saham dan reksadana. "Kalau porsi investasi di instrumen saham dibatasi, katakanlah maksimal 15%, itu sangat kecil angkanya," kata Togar dilansir dari Kontan.

Sejauh ini OJK belum memberikan penjelasan resmi terkait rencana kebijakan anyar tersebut. Hingga berita ini diturunkan, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2A OJK Ahmad Nasrullah dan Deputi Komisioner Humas dan Logistik Anto Prabowo belum merespons konfirmasi yang dilayangkan KONTAN melalui pesan singkat Whataspp.

Tapi, sebagai gambaran, berdasarkan data statistik OJK, saat ini total investasi industri asuransi jiwa hampir menembus Rp 500 triliun. Dari jumlah itu, total portofolio investasi asuransi jiwa di pasar modal sekitar Rp 400 triliun. Dalam beberapa tahun terakhir, instrumen reksadana dan saham mendominasi aliran investasi perusahaan asuransi jiwa di pasar modal.

Reksadana dan saham

Dominasi itu bisa dilihat pada statistik asuransi jiwa, yang menguasai lebih dari 70% aset perusahaan asuransi. Hingga Januari 2021, porsi investasi pada reksadana mencapai 33,8% dari total dana investasi. Instrumen saham menjadi pilihan kedua dengan porsi 28,6%. Nilai dana yang ditempatkan pada masing-masing instrumen itu mencapai Rp 162,8 triliun dan Rp 137,8 triliun. Sisanya ditempatkan pada instrumen lain.

Nah, bisa dibayangkan, kalau portofolio investasi ke saham dan reksadana nantinya dibatasi OJK, semisal maksimal 15%. Dengan porsi sebesar itu, maka nilai investasi asuransi jiwa itu di instrumen saham langsung menyusut.

Dampaknya apa? Indeks bursa saham (IHSG) bisa berantakan. Karena apa? "Lazimnya, perusahaan asuransi jiwa mengalokasikan dana investasi ke saham-saham blue chips, yang notabene merupakan saham-saham penggerak market," jelas Togar.

Sejatinya, kekhawatiran Togar memang cukup beralasan. Maklum, bisnis utama perusahaan asuransi adalah penjualan premi atau pengumpulan dana nasabah. Agar premi bisa terkumpul, perusahaan asuransi pun harus memberikan stimulus berupa proteksi (perlindungan) maupun pertanggungan atas kerugian yang diderita para nasabahnya (klaim).

Perusahaan asuransi akan memperoleh laba apabila total pendapatan premi lebih besar dari biaya klaim yang dikeluarkan. Bukan cuma dari pengumpulan premi, investasi yang dilakukan pun menjadi salah satu komponen sumber pendapatan perusahaan asuransi. Wajar, jika rencana OJK untuk membatasi penempatan investasi membuat galau pelaku bisnis asuransi jiwa.

Apalagi, selama ini batasan investasi bagi perusahaan asuransi sudah diatur OJK dalam Peraturan OJK Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Dalam aturan itu, antara lain disebut, investasi pada instrumen saham dibatasi paling banyak 40% dari total investasi.

Selain itu, POJK 71 juga telah mengatur batasan atas aset investasi di reksadana. Yakni, untuk setiap manajer investasi (MI) paling tinggi 20% dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% dari investasi. "Tapi, perusahaan asuransi masih berlomba menawarkan bunga tinggi kepada nasabah, yang justru jadi beban bagi investasi perusahaan," kata Irvan Rahardjo, pengamat asuransi.

Itu sebabnya, Irvan berharap agar regulator mengembalikan identitas asuransi ke khitahnya, yakni memberikan proteksi (perlindungan) ke nasabah. Dengan kata lain, perusahaan asuransi tak perlu lagi menjual produk berbalut investasi.

Menurut Irvan, masih maraknya kasus gagal bayar di industri asuransi lantaran tidak jelasnya batas-batas antara industri perbankan dan asuransi alias melenceng dari bidang bisnisnya. "Jadi, kalau perusahaan asuransi tetap ingin melakukan investasi, ya, serahkan saja kepada manajer investasi (MI) yang enggak terafiliasi dengan perusahaan," imbuhnya.

Betul, sederet gagal bayar asuransi, dari AJB Bumiputera, Bakrie Life, dan puncaknya Jiwasraya, memang membuat OJK tak kuasa lagi untuk semakin memperketat aturan penempatan investasi yang dilakukan oleh industri asuransi. Tujuannya adalah melindungi konsumen maupun industri.

Toh, menurut sejumlah pelaku bisnis asuransi, aturan yang ada selama ini justru sudah menjadi win-win solusi bagi seluruh stake holders yang ada di industri ini. "Menurut saya, ketentuan saat ini sudah cukup baik. Hanya memang pelaksanaannya yang perlu dipastikan tidak hanya sekadar pemenuhan dari sisi adminsitrasi," kata Iwan Pasila, Direktur Utama BRI Life.

Menyesuaikan investasi

Sementara itu, Arry Herwindo Wildan, GM Corsec, Legal & Corcomm BNI Life, mengaku pihaknya masih mengkaji dampak ketentuan OJK soal pembatasan penempatan investasi. Yang pasti, kata dia, jika kebijakan ini diterapkan, pihaknya akan melakukan beberapa penyesuaian dalam pengelolaan Investasi saat ini, sesuai dengan ketentuan OJK.

Sejauh ini, Arry mengklaim, aset-aset investasi BNI Life cukup likuid. Pada tahun 2021 ini, komposisi penempatan investasi dana kelolaan BNI Life, antara lain, deposito sekitar 5%, obligasi 40%–50%, reksadana 50%-55% dan saham 5%. "Strategi investasi kami di tahun ini melakukan pengelolaan portofolio dengan aktif merespons kondisi pasar untuk memaksimalkan return," katanya.

Setali tiga uang, Iwan Pasila menjamin, dana pemegang polis BRILife dalam bentuk premi, diinvestasikan dengan baik oleh perseroan sesuai dengan karakteristik kewajiban. Selain itu, dengan memperhatikan aspek likuiditas dan kualitas asset yang digunakan. Hal ini dituangkan BRI Life dalam kebijakan investasi yang di-endorse oleh dewan komisaris.

Saat ini, komposisi penempatan investasi BRI Life banyak ditempatkan di surat utang negara, obligasi korporasi dengan rating minimal AA, dan pada deposito di bank BUKU 4 dan BUKU 3. Untuk instrumen investasi pasar modal seperti reksadana, ditempatkan pada produk yang diracik oleh MI dengan kriteria tertentu. Antara lain, besar dana kelolaan, kinerja dana, dan kepemilikan.

BRI Life juga menginvestasikan dana unitlink sesuai dengan jenis dana yang dipilih oleh pemegang polis. Yaitu dana yang bersifat agresif (dengan underlying saham), dana yang memberikan fixed income (obilgasi), dan dana pasar uang. "Kami ingin memastikan bahwa dana pemegang polis diinvestasikan pada media investasi yang aman dan dapat memberikan return yang diharapkan," beber Iwan.

Iwan menambahkan, sampai akhir tahun 2020, BRI Life masih membukukan premi sebesar Rp 6,1 triliun, tumbuh 14% secara tahunan atau year on year (yoy).

Toh, meski berharap ada pertumbuhan bisnis di tahun ini, Iwan belum mau mematok target ambisius seiring belum berakhirnya pandemi Covid-19. "Kami belum bisa membeberkan target pertumbuhan di tahun ini karena masih pandemi," tandasnya,

 

(Devi Puspitasari\Januardi Husin)

Share:




Berita Terkait

Komentar