Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Abu Batu Bara Dicoret dari Limbah B3, Demi Kepentingan Siapa?

Jum'at, 19/03/2021 05:30 WIB
H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

law-justice.co - Akhir-akhir ini kebijakan yang diambil oleh pemerintah sepertinya makin aneh-aneh saja. Setelah muncul kebijakan melegalkan miras (meskipun akhirnya dibatalkan), kini muncul kebijakan baru yaitu menghapus fly ash dan bottom ash (FABA ) atau abu batu bara sebagai limbah bahan berbahaya beracun (B3).

Kebijakan itu  tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang juga merupakan peraturan pelaksana dari UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Karuan saja lahirnya peraturan tersebut memunculkan banyak tanda tanya. Lalu apa sesungguhnya fly ash dan bottom ash (FABA) atau abu batu bara yang dikeluarkan dari kategori berbahaya ?. Mengapa kebijakan ini pada akhirnya memunculkan pro dan kontra ? Dikeluarkannya abu batu bara dari kategori bahan berbahaya ini sebenarnya untuk kepentingan siapa ?

Mengenal FABA dan Bahayanya

Pemerintah mengumumkan bahwa limbah abu batu bara atau kerap disebut Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dihapus dari daftar limbah B3. FABA sendiri berasal dari pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan industri berbahan bakar batu bara lainnya. Berdasarkan lampiran 14 PP Nomor 22 Tahun 2021 disebutkan, jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash atau FABA.

Pada bagian penjelasan Pasal 459 huruf C PP 22/2021 diatur fly ash dan bottom ash hasil pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tak termasuk sebagai limbah B3, tetapi non-B3. 

Lantas, apa itu fly ash dan bottom ash atau FABA ? Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iwan Setiawan mengatakan, fly ash dan bottom ash merupakan produk sisa dari pembakaran batu bara. 

"Batu bara yang dibakar itu menghasilkan produk sisa berupa material-material yang `terbang` dan `terendapkan`, yang terbang itu disebut fly ash, yang mengendap di bawah itu bottom ash," kata Iwan seperti dikutip media, Sabtu (13/3/2021).

Iwan mengatakan, secara fisik, fly ash dan bottom ash terlihat seperti debu halus atau pasir halus, mirip seperti abu yang dikeluarkan oleh gunung api ketika sedang mengeluarkan isi perutnya. Bedanya, fly ash dan bottom ash memiliki tekstur yang sedikit lebih halus jika dibandingkan dengan abu vulkanik yang kasar penampakannya. Dia menambahkan, wujud fisik dari limbah tersebut juga dapat dengan mudah dilihat oleh mata manusia. 

Sementara itu , Dr. Eko Prasetyo Kuncoro ST., DEA, (Eko) dosen Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UNAIR Surabaya seperti dikutip news.unair.ac.id, menjelaskan bahwa  FABA merupakan limbah yang timbul dari pembakaran batu bara. Kandungan dari FABA itu sendiri bergantung pada jenis mineral yang ada pada batu bara. Contoh kandungan mineral batu bara antara lain adalah karbon, oksigen, hydrogen, atau kandungan mineral dan senyawa lain seperti silika.

Menurutnya dampak FABA pada lingkungan dan masyarakat bergantung dari jumlah limbah dan kandungan toxic atau racun di dalamnya. FABA dalam jumlah besar dan tidak dikelola dengan baik akan dapat menyebar di lingkungan luas, masuk ke dalam air, udara, dan atau tanah sehingga berbahaya. 

“Salah satu penyakit akibat FABA adalah gangguan pada sistem pernapasan,” lanjutnya. Penyakit lain yang mungkin timbul adalah silicosis, yaitu penyakit yang timbul akibat silica yang berlebihan di dalam tubuh manusia.

Sejauh ini sudah banyak peristiwa terjadi sebagai akibat dampak dari FABA. Diantaranya yang dialami oleh Edy, warga Cilegon, Banten, yang rumahnya dekat dengan PLTU Suralaya. Ia  mengaku, setelah ada pabrik warga mengalami persoalan dengan kesehatannya."Debu fly ash itu bukan seperti makan cabe, begitu dimakan langsung pedas. Tetap debu fly ash kalau terhisap oleh manusia itu prosesnya satu tahun sampai dua tahun," kata Edy dalam sebuah acara Zoom, seperti dikutip media, (12/03).

Di sana, pada 2019 terjadi hujan debu hasil dari pembakaran batu bara PLTU Suralaya yang sempat mengganggu aktivitas warga. "Setelah hujan debu, di jalan itu sudah ditutup sama debu. Orang-orang yang berkendara sempat berhenti. Bahkan orang-orang kendaraan roda dua, nggak bisa," lanjutnya

Edy juga mengatakan bahwa dampak dari FABA ini telah menimpa keluarganya.“Pengalaman kami di sini, salah satunya, adik ipar saya menjadi korban pada 2010. Saat itu meninggal dan paru-parunya gosong,” ujar Edi dalam sebuah diskusi publik secara daring, Jumat (12/3/2021). Tahun lalu anak bontot Edi mengalami sakit paru-paru, menurutnya juga dampak dari FABA. “Dengan kejadian seperti sangat mustahil limbah FABA tidak mengandung racun,” imbuhnya.

Menuai Pro -Kontra

Awalnya, limbah FABA termasuk dalam daftar B3 pada PP 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, namun kebijakan tersebut dicabut melalui PP nomor 22 bersama dengan empat PP lainnya. Kebijakan ini pada akhirnya menuai pro dan kontra .

Mereka yang pro kebijakan dihapuskannya FABA dari kategori B3 seperti dinyatakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK  mengklaim hasil pembakaran batu bara (FABA) masuk sebagai kategori bukan limbah B3 sudah berdasarkan kajian ilmiah.

"Kami sebagai sebagai instansi teknis pasti punya alasan, saintifiknya. Jadi, semua berdasarkan scientific based knowlege," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PLSB3), Rosa Vivien Ratnawati, dalam keterangan kepada media, Jumat (12/03).

Rosa mengatakan, pembakaran batu bara pada PLTU sudah menggunakan pulverize coal. Artinya, kata dia, pembakaran batu bara menggunakan temperatur tinggi sehingga karbon yang tak terbakar dalam FABA "menjadi minimum dan lebih stabil", katanya.

"Hal ini yang menyebabkan, FABA itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah, serta restorasi tambang," kata Rosa dalam keterangan kepada media, Jumat (12/03).

Sebelumnya, Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim Nani Hendriati mengatakan penyusunan peraturan pencabutan kategori limbah batu bara FABA telah melalui proses yang panjang. "Penyusunan PP 22 yang dikawal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membutuhkan proses yang cukup panjang dan akhirnya mengeluarkan FABA dari Daftar B3," kata dia.

Sementara itu akademisi sekaligus peneliti Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Januarti Jaya Ekaputri mengapresiasi keputusan pemerintah, yang secara resmi mencabut FABA dari daftar limbah B3. 

“Ini adalah hadiah terbesar buat Indonesia. Saya melihat dari kacamata bangsa dan negara ini, dari sisi infrastruktur. Kalau FABA bisa dimanfaatkan, alangkah hebatnya Indonesia,” demikian ujarnya, dalam Program Spesial Polemik Radio MNC Trijaya, Jatim, Selasa (16/3/2021).

Menurut Januarti, keputusan ini tetap perlu diawasi dan dikontrol dari segi regulasi, agar FABA bisa digunakan dengan sebaik baiknya. Selain itu, Januarti yang pernah melakukan penelitian terkait FABA menuturkan, limbah jenis ini memang bisa dinilai berbahaya, ketika sangat banyak jumlahnya.

“Misalnya kita anggapannya nasi. Nasi kan tidak berbahaya. Tetapi kita dipaksa makan sekali duduk 50 kilogram, nah itu kan jadi berbahaya. Sekarang pertanyaannya, apakah nasi itu beracun? Nasi itu tidak beracun. Tetapi kalau dalam jumlah besar mungkin berbahaya,” jelas Januarti.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, Hendra Sinadia pun menyambut baik kebijakan pemerintah untuk menghapus FABA dari kategori B3.Menurutnya, memang sudah seharusnya kedua jenis abu batu bara tadi dihapus dari daftar limbah berbahaya. Sebab, kedua abu bata bara itu punya segudang manfaat bagi dunia usaha bahkan untuk negara.

"Kita menyambut baik, aspirasi ini sudah disampaikan sudah lama sekali, mungkin lebih dari 10 tahun lalu, sudah lama sekali, pada dasarnya, limbah-limbah pertambangan itu tidak semua dapat dikategorikan sebagai limbah B3, bahkan best practice di banyak negara maju itu dah digunakan jadi bahan dasar konstruksi," ujar Hendra kepada pers, Jumat (12/3/2021).

Setiap muncul kebijakan biasanya memang selalu menghadirkan nuansa  pro dan kontra. Hal itu sudah menjadi hal yang biasa karena masing masing orang memang melihatnya dari sudut pandang yang berbeda beda. Adapun mereka yang tetap berkeinginan agar  FABA harus tetap dimasukkan kedalam kategori B3 beralasan karena dengan dikeluarkannya FABA justru akan berdampak kontraproduktif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat yang tinggal di dekat area PLTU yang ada FABA-nya.

Para aktifvis dan pegiat lingkungan pada umumnya menentang dikeluarkannya FABA dari kategori B3. Diantaranya Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana. Ia menyatakan hilangnya FABA dari kategori limbah B3, akan mempengaruhi proses penegakan hukum bagi perusahaan yang tidak memenuhi tanggung jawabnya. “Ini hanya akan menurunkan standar bagaimana meminimalisasi risiko lingkungan,” kata dia.

Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Walhi, Dwi Sawung menambahkan pemerintah seolah memberi kesan limbah B3 hanya dapat dimanfaatkan bila dikategorikan sebagai limbah non-B3. Padahal, limbah B3 masih dapat dimanfaatkan dengan melalui berbagai pengujian karakteristik yang spesifik berdasarkan sumber masing-masing limbah B3 sebagaimana diatur PP 101/2014.

Dia menilai, pengubahan limbah B3 menjadi non-B3 secara menyeluruh tanpa melalui uji karakteristik menunjukan pemerintah bertindak sekehendaknya. “Padahal selama ini pemerintah belum berhasil melakukan pengawasan secara seksama, menegakkan hukum secara efektif, dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak pada kesehatan masyarakat,” bebernya.

Sementara itu, Koordinator JATAM, Merah Johansyah mengatakan,FABA memiliki potensi untuk mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir. "Limbah ini kalau tercemar ke air membuat biota ikan mati, itu terjadi baik di masyarakat yang hidup di pesisir sungai dan laut.

Padahal 82 persen perusahaan batu bara di Indonesia letaknya di wilayah pesisir. Jadi ini kejahatan sistematis pemerintah pada masyarakat pesisir," kata Merah, seperti diberitakan law-justice.co, Jumat (12/3/2021). 

Menurut Merah, pemerintah hanya menghitung potensi investasi yang didapat dari pengeluaran fly ash dan bottom ash dari daftar limbah B3, namun mengabaikan ancaman kerusakan lingkungan yang dapat terjadi sebagai implikasi dari penerbitan aturannya.

Padahal masyarakat di sekitar PLTU batu bara itu menghadapi kematian dini. Mereka paru-parunya hitam, dan juga terkena kanker," ujar nya. Dia menambahkan, saat ini pengawasan hukum pada pengelolaan limbah bottom ash dan flying ash masih bermasalah. Apalagi, kata dia, jika dua jenis limbah batu bara tersebut dikeluarkan dari kategori limbah B3.

"Penegakan hukumnya akan keropos, pengawasan lemah, akan membuat perusahaan batu bara makin ugal-ugalan. Jadi peraturan pemerintah ini tidak tepat dikatakan untuk perlindungan lingkungan hidup," katanya.

Dari Senayan muncul pendapat terkait dengan dihapusnya FABA dari kategori lmbah B3. Diantaranya disuarakan oleh partai Keadilan Sejahtera. Anggota  Komisi IV DPR RI  Andi Akmal Pasluddin seperti dikutip media mengaku kaget ketika pemerintah memutuskan mengeluarkan abu batu bara dari limbah bahan berbahaya beracun (B3). 

Reaksi keras dilayangkan Politisi PKS ini terhadap adanya ketentuan yang menetapkan FABA tidak lagi dikategorikan sebagai limbah B3. Padahal abu batu bara itu selain membahayakan masyarakat, juga telah menyalahi konstitusi negara Indonesia. "Ini jelas melanggar konstitusi. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Oleh karena itu pelonggaran regulasi dan penghapusan abu batu bara dari kategori B3 adalah bentuk pelanggaran konstitusi," tegas Akmal dalam keterangan persnya, Sabtu (13/3) seperti dikutip media. Wakil rakyat dapil Sulawesi Selatan II ini sangat menyayangkan sikap pemerintah yang sangat mengedepankan kepentingan ekonomi, dengan memperhitungan FABA sebagai bahan baku ekonomis, namun cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat yang bakal terkena dampaknya. 

Demi Kepentingan Siapa?

Terlepas dari adanya pro dan kontra di masyarakat, lahirnya suatu peraturan pada akhirnya perlu dicermati sebenarnya siapa yang paling di untungkannya. Apakah masyarakat khususnya yang tinggal di dekat PLTU dimana ada FABA disana merasa di untungkan atau malah sebaliknya ?

Yang jelas ketika FABA dicoret dari kategori B3 maka pengusaha akan merasa di untungkan karena kewajiban mereka untuk mengelola B3  telah menambah beban biaya operasional usahanya.  Dengan dicoretnya FABA dari kategori B3 maka berarti merupakan penghematan bagi mereka.

Sebelumnya, di beberapa kesempatan Pemerintah pernah menyatakan bahwa potensi keuntungan ekonomi dari dikeluarkannya  FABA dari daftar limbah B3 adalah sebesar 447 juta rupiah per harinya. Keuntungan ekonomi tersebut diperoleh dari penghematan biaya pengolahan abu batubara oleh pengolah limbah B3 serta dari keuntungan dari pemanfaatan abu batubara

Karena itu pencabutan FABA dari kategori B3 disambut positif oleh para pelaku usaha. Sebagai contoh Ketua Umum  Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengungkapkan kegembiraannya.

“ FABA dapat memberikan sumbangsih positif bagi pemerataan pembangunan dan UMKM karena banyak industri konstruksi, paving block, penguatan jalan bisa memanfaatkannya" kata Arthur seperti dikutip Kontan.co.id, Sabtu (13/3).Arthur memastikan pelaku usaha kelistrikan siap mendukung rencana pemerintah dalam pemanfaatan FABA.

Sementara itu, Head of Corporate Communication PT Indika Energy Tbk (INDY) Ricky Fernando mengungkapkan pengelolaan FABA pada PLTU akan menerapkan standar yang sama."Indika Energy dan anak-anak perusahaannya menerapkan prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam setiap kegiatan operasionalnya, termasuk dalam pengelolaan PLTU Cirebon," jelas Ricky kepada pers, Jumat (12/3).

Meskipun pengusaha merasa diuntungkan dengan pencabutan FABA dari kategori B3 namun bagaimana halnya dengan dampak pencemaran lingkungan yang pada akhirnya nanti bisa dirasakan oleh masyarakat disekitar nya ?

Disini bisa berpotensi memunculkan  ketidakadilan lingkungan karena terjadinya dampak atau risiko terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat . Karna dengan status barunya sebagai limbah non B3, maka  kini FABA tidak perlu diuji terlebih dahulu sebelum pemanfaatannya. Artinya, terdapat risiko di mana abu batubara dimanfaatkan tanpa kita ketahui potensi pencemarannya. 

Terlebih lagi, aturan pemanfaatan abu batubara sebagai limbah non B3 tidak memprioritaskan cara pemanfaatan limbah abu batubara yang paling aman bagi manusia. Pemanfaatan abu batubara yang buruk seperti untuk material urugan atau penyubur tanaman bisa jadi digunakan oleh pelaku usaha.

Tentu kondisi ini tidak sejalan dengan prinsip kehati-hatian yang menghendaki tindakan pencegahan potensi pencemaran lingkungan hidup berdasarkan pada informasi besaran dan potensi terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dari suatu kegiatan/ usaha.

Dengan dicabutnya FABA dari kategori B3 maka akan hilang pula  kewajiban pelaku usaha PLTU untuk memiliki sistem tanggap darurat untuk pengelolaan abu batubaranya. 

Padahal ketika FABA masih berkategori B3, pengusaha diwajibkan untuk memiliki Sistem Tanggap Darurat dimana sistem tanggap darurat merupakan sistem pengendalian keadaan darurat akibat kejadian kecelakaan Pengelolaan Limbah B3. Kecelakaan ini dapat diakibatkan oleh manusia, teknologi, maupun bencana alamnya. 

Ketiadaan Sistem Tanggap Darurat ini sangat mengkhawatirkan mengingat fakta bahwa cukup banyak PLTU yang berada di kawasan rawan bencana. Sejauh ini FABA biasanya akan disimpan sementara di lokasi sekitar pembangkit sebelum pada akhirnya dimanfaatkan atau dikelola.

Dengan dikeluarkannya FABA  dari daftar limbah B3, tidak ada kewajiban bagi pelaku usaha PLTU untuk memiliki sistem tanggap darurat untuk pengelolaan abu batubara. Sehingga  apabila terjadi pencemaran lingkungan hidup akibat adanya keadaan darurat, sistem yang siap untuk menanggulangi dan memulihkan pencemaran tersebut menjadi  tidak tersedia.

Dengan dicoretnya FABA dari kategori B3 juga akan berimplikasi pada aspek penegakan hukum terhadap para pelaku usaha pengelola abu batubara. Sebagai contoh, dalam konteks penegakan hukum perdata, pengelola abu batubara berpotensi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) karena bukan merupakan kategori B3.

Tidak hanya itu, dalam konteks penegakan hukum pidana, dengan dikeluarkannya abu batubara dari kategori limbah B3, terhadap pelaku usaha yang tidak melakukan pengelolaan abu batubara ataupun tidak melakukan pengelolaan abu batubara namun tidak sesuai spesifikasi, tidak lagi dapat dikenakan ancaman pidana. Apakah memang kondisi seperti ini yang di inginkannya ?

Patut dicermati bahwa pencabutan FABA dari kategori B3 itu sebenarnya sudah merupakan keinginan yang cukup lama sejak pertengahan tahun 2020 oleh Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI),  Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)  serta  Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA).

Patut juga dicurigai penghapusan  FABA  dari  kategori  limbah  berbahaya  ini telah menjadi bagian dari Paket Kebijakan Besar (Grand Policy) yang secara sistematis dirancang untuk memberikan keistimewaan bagi industri energi kotor batubara mulai dari hulu hingga ke hilirnya.

Upaya masif oligarki batubara ini  sepertinya sudah dimula sejak adanya  revisi UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, hingga proyek hilirisasi batubara  yang ujung ujungnya menghapus limbah FABA dari jenis limbah B3. Kebijakan demi kebijakan ini hanya bertujuan agar industri energi kotor batubara dapat terus mengeruk untung berganda.

Karena itu penghapusan  FABA dari daftar limbah B3 bisa masuk kategori keputusan bermasalah dan berbahaya karena cenderung hanya menguntungkan pengusaha tapi merugikan keselamatan lingkungan hidup dan kesehatan rakyat Indonesia.

Pada hal  lingkungan hidup yang baik dan sehat menjadi hak asasi setiap warga Indonesia. Hal ini amanat Pasal 28H ayat (1) UUD  1945 yang menyebutkan. “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Patut disesalkan kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi dengan memperhitungkan FABAsebagai bahan baku ekonomis, tapi cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat pada umumnya . Khususnya hak asasi publik untuk mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat seperti dijamin dalam UUD 1945. Pada hal  pembangunan ekonomi mesti dilaksanakan secara utuh dan berkelanjutan sebagaimana amanat Pasal 33 UUD Tahun 1945.

Pembangunan  berkelanjutan merupakan pola pembangunan yang berorientasi kepentingan jangan panjang dengan mempertimbangkan aspek sosial,budaya dan lingkungan dan bukan kepentingan ekonomi semata. 

Lagi pula bukankah Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen terhadap perjanjian COP (Conference of Parties) 21 Paris, sebuah perjanjian perubahan iklim untuk menekan emisi ikim dunia ?. Yaitu kesepakatan  yang akan mengubah secara mendasar seluruh kebijakan energi global termasuk di Indonesia.

Dengan adanya komitmen terhadap perjanjian COP 21 Paris tersebut sepatutnya Indnesia mulai mengurangi penggunaan bahan bakar fosil termasuk batubara. Sebab batubara selama ini dikecam dunia karena merupakan sumber pencemaran paling buruk, dan merupakan biang kerusakan hutan dan lingkungan di Indonesia.Apakah aspek ini memang sudah dilupakan oleh pemerintah yang sekarang berkuasa ?

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar