Cegah Maladministrasi Melalui Peran Ombudsman RI

Minggu, 24/01/2021 15:25 WIB
Ketua Umum Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Hery Susanto (Pontas)

Ketua Umum Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Hery Susanto (Pontas)

Jakarta, law-justice.co - OMBUDSMAN RI (ORI), bertugas melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik guna pencegahan maladministrasi. Pencegahan maladministrasi itu dilakukan, dengan memastikan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik dilaksanakan pemerintahan maupun penyelenggara pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengawasan pelayanan publik yang dilakukan ORI, merupakan upaya korektif untuk memperbaiki, meningkatkan, dan menyempurnakan kualitas pelayanan publik. ORI berada pada tataran antara eksekutif, legislatif dan publik. Pemangku kepentingan ORI dari pihak eksekutif adalah Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, pimpinan penyelenggara negara, BUMN/BUMD/BHMN dan entitas penyelenggara pelayanan. Pihak legislatif yakni DPR, DPRD provinsi dan DPRD kab/kota.

Sedangkan, publik yakni organisasi kemasyarakatan dan profesi, lembaga perseorangan dan warga negara Indonesia. Belum banyak dikenalSebuah fakta, bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaan ORI. Pelayanan publik di level warga banyak di wilayah desa/kelurahan dan kab/kota.

Namun, ORI hanya mempunyai kantor perwakilan di tingkat provinsi. Ada jarak yang sangat jauh antara ORI dengan masyarakat di level desa/kelurahan dan kab/kota.Tingkat kepatuhan terhadap implementasi UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik paling rendah, banyak ditemukan di kabupaten/kota dibandingkan level provinsi, dan kementerian/lembaga.

Sebagaimana hasil survei kepatuhan terkait hal itu, yang dilakukan ORI pada tahun 2019, dimana tingkat kepatuhan pada 22 kementerian (91,67%), 12 lembaga (80%), 30 provinsi (88,24%), 61 kota (71,76%) dan 162 kabupaten (53,11%). Dalam konteks tindak lanjut terlapor atas rekomendasi ORI pun, banyak yang tidak ditindaklanjuti oleh penyelenggara pemerintahan di daerah.

Pada 2019, dari 34 rekomendasi ORI 12 rekomendasi dilaksanakan (35,29%), 12 rekomendasi dilaksanakan sebagian (35,29%), dan 10 rekomendasi tidak dilaksanakan (29,41%). Dari 5464 laporan kasus, substansi permasalahan laporan pengaduan masyarakat meliputi ekonomi, dan lingkungan 2111 kasus (39%), hukum dan pertahanan 1085 kasus (20%), sosial budaya 2268 kasus (41%).

Masih minimnya eksistensi ORI di masyarakat menjadi ancaman tersendiri bagi pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Sebab ORI tidak akan eksis tanpa partisipasi masyarakat. Hal ini, akan berdampak pada minimnya pemahaman masyarakat atas hak dalam pelayanan publik, tidak tercapainya pelayanan cepat, tepat, dan memuaskan, penyelenggara pelayanan publik yang resisten terhadap saran/rekomendasi ORI.

Lalu, Tidak optimalnya tindak lanjut terlapor terhadap rekomendasi atau mediasi pelayanan publik, serta pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang pelayanan publik yang rendah.

Urgensi mobilitas sosial ORI dalam sebuah diskusi webinar, yang dilaksanakan ORI pada 21 Januari 2021 lalu, dengan topik Konstitusi, Pelayanan Publik dan Ombudsman, banyak sekali disoal terkait kelemahan-kelemahan aspek konstitusi, yang tidak mendukung maksimalnya pelaksanaan rekomendasi pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, akibat keterbatasan peran, fungsi dan wewenang ORI.

Sayangnya, diskusi itu dilaksanakan oleh ORI sendiri bukan dari komponen masyarakat. Hal ini menunjukkan seolah `ORI mengeluh`.Sejatinya, ORI harus kuat dan tidak cengeng, jika konsisten bertitik tolak sebagai lembaga negara yang melakukan pengawasan pelayanan publik secara kredibel.

Bukan memikirkan dirinya sendiri, sebab sebagai lembaga negara ORI tidak boleh mengeluh. Menyoal dukungan konstitusi, peraturan teknis dan budget yang tidak memadai justru memperlemah wibawa ORI di hadapan publik.

ORI harus bekerja sesuai peran, dan fungsinya dengan unjuk tanggung jawab konstitusional dalam pengawasan pelayanan publik. Perbaikan konstitusi dan peraturan teknis guna mensupport ORI memang penting.

Namun, bergerak ke tujuan perbaikan tidak mesti terus menyoal, apalagi menunggu revisi peraturan perundang-undangan dan dukungan teknis yang diharapkan ORI, sebagai lembaga negara yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik telah berusia 12 tahun.

ORI telah mempunyai sejumlah perangkat peraturan perundang-undangan, yang mendukung jalannya fungsi, tugas dan wewenangnya. UU No 37/2008 Tentang Ombudsman RI merupakan benteng utama yang mendasarkan ORI melakukan fungsi, tugas dan wewenangnya dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik.

Dalam catatan situs ombudsman.go.id setidaknya ORI telah dibekali 7 UU, 12 peraturan pemerintah, 5 peraturan setingkat keppres, 2 peraturan setingkat kepmen, 44 peraturan ORI, 5 Keputusan Ketua ORI dan 14 peraturan Sekretaris Jenderal ORI.Di usia 12 tahun tentu saja harus membuat ORI mampu menjawab tuntutan publik dalam menjalankan tugasnya tersebut.

Sebab dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik hingga sekarang ini, masih banyak ditemukan praktik-praktik maladministrasi dan korupsi. Tidak saja di lembaga pemerintahan, melainkan, juga di banyak pihak yang bertugas dalam memberikan pelayanan publik bagi seluruh warga negara dan penduduk.

Minimnya eksistensi ORI di tengah masyarakat, ORI harus melakukan mobilitas sosial. Hal ini, dilakukan dengan gerakan horizontal (Lintas Sosial/LINSOS) ke level masyarakat luas guna sosialisasi, edukasi dan menyerap aspirasi atas penyelenggaraan pelayanan publik. Selanjutnya, ORI melakukan gerakan naik vertikal (panjat sosial) untuk melakukan koordinasi, dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan guna pelayanan publik yang efektif dan berkeadilanPelayanan Publik Ombudsman Hubungan Sosial

 


Oleh: Hery Susanto (Ketua Umum Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar