Miris! Kisah Dokter Galuh Ditolak Beberapa RS saat Positif Covid-19

Kamis, 07/01/2021 13:18 WIB
Ilustrasi Penanganan Corona. (CNNIndonesia)

Ilustrasi Penanganan Corona. (CNNIndonesia)

Jakarta, law-justice.co - Seorang Dokter Umum di Rumah sakit Umum (RSU) Daha Husada Kediri, Jawa Timur, Galuh Pradi Paramita mengaku sempat ditolak beberapa RS saat hendak mencari ruang isolasi usai positif Covid-19, akhir tahun lalu.

Setelah mencari ke sejumlah lokasi, ia berhasil mendapatkannya. Itupun karena statusnya sebagai dokter.

"Kalau saya susah waktu itu nyari ruang isolasi sampai akhirnya ketemu di RSUD Kilisuci, Kediri. Bahkan, seandainya saya bukan dokter, saya tidak bisa masuk ruang isolasi," kata Galuh seperti melansir cnnindonesia.com.

Galuh, yang juga menjabat sebagai penanggung jawab instalasi isolasi mandiri di RSU Daha Husada ini, saat itu mengaku tidak mengalami gejala berat, melainkan gejala ringan berupa tubuh mudah lelah dan ruam di kulit. Hal itupun, katanya, tetap membutuhkan perawatan khusus.

Diketahui, tempat tidur atau ruang perawatan dan isolasi bagi pasien Covid-19 di berbagai daerah dilaporkan sudah penuh atau nyaris penuh.

Berdasarkan data lembaga Lapor Covid-19, keterisian tempat tidur unit perawatan intensif (ICU) di RS rujukan pasien Covid-19 Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) sudah mencapai 100 persen.

Satgas Penanganan Covid-19, per 2 Januari 2020, mencatat rata-rata tingkat keterisian ICU dan ruang isolasi di seluruh Provinsi Indonesia mencapai 67,61 persen.

Provinsi dengan tingkat keterisian ICU tertinggi ada di Provinsi DKI Jakarta dengan 87,74 persen. Lalu, empat provinsi tertinggi lainnya adalah Provinsi Banten dengan (84,52 persen), Provinsi Yogyakarta (83,36 persen), Provinsi Jawa Barat (79,77 persen) dan Sulawesi Barat dengan (79,31 persen).

Padahal, rasio keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) yang ideal adalah di bawah 60 persen.

Untuk menyiasati kasus seperti Galuh, Kepala Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr Drajat Prawiranegara Serang, Banten, Ririek Andri mengaku memiliki rencana darurat berupa ruang khusus bagi tenaga kesehatan yang terkena Covid-19.

"Kalau di RS kami, disediakan dua tempat tidur kosong untuk tenaga kesehatan semisal jatuh sakit jadi bisa. Karena kalau tidak susahnya setengah mati, ke tempat lain tidak akan dapat," kata dia, Rabu (6/1).

Tenaga medis sendiri diketahui jadi salah satu kelompok yang paling rentan terpapar Covid-19 karena berhadapan langsung dengan pasien serta sistem kesehatan di Indonesia yang masih buruk.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun menyebut Indonesia jadi rangking pertama dalam hal kematian tenaga medis di Asia, dan lima besar di seluruh di dunia.

Rinciannya, 504 tenaga medis di Indonesia meninggal dunia akibat Covid-19, dengan 237 di antaranya adalah dokter, 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, dan 10 tenaga lab medik.

Saking penuhnya ruang perawatan, Kepala IGD RSUD Dr Drajat Prawiranegara Serang Ririek Andri menyebut pasien Covid-19 dengan gejala parah pun harus bersiap mengantre.
Sebanyak 46 ruang isolasi rawat inap dan lima ruang ICU pun telah 100 persen terisi.

"Hari ini ada 16 antrean ya. Ya memang sebetulnya kalau parah sekali gejalanya kami bawa ke IGD, dan itupun yang antre 16 itu," jelasnya.

Ririek menduga kepadatan antrean di ruang perawatan ini tak lepas dari perilaku saat libur akhir tahun 2020.

"Ini kan sekarang RS sudah jebol istilahnya. Nah ini kan ada gelombang Natal dan Tahun Baru. Natal sudah datang gelombangnya, yang Tahun Baru ini belum masuk nih," pungkasnya.

Ahmad Rifqy Nubaeri, perawat di Rumah Sakit Mayapada, Jakarta Selatan, yang sejak November mulai ditugaskan untuk membantu menangani pasien Covid-19 dengan kondisi kritis di ICU rumah sakit tersebut, mengaku sampai harus menolak kerabat dosen dan kiainya untuk mendapatkan ruang perawatan pasien Covid-19.

Padahal, katanya, RS Mayapada saat ini total telah membuka lima lantai untuk ruang perawatan pasien rawat inap Covid-19, dari semula hanya satu ruangan.

"Sampai detik ini, IGD full terus. Kamar rawat inap itu full. Jadi ICU juga sekarang pasien sesuai dengan tenaga itu udah full," katanya.

"Sekitar 3 bulan peningkatannya luar biasa. Mulai gejala ringan sampe berat masuk ICU," imbuhnya.

Gejala Makin Berat

Salah satu dokter ICU Covid-19 di Rumah Sakit Antam Medika, Pulogadung, Jakarta Timur, Muhammad Riza Mahendratama menyebutkan tingkat keterisian ruang perawatan itu diperparah dengan tren peningkatan gejala pasien Covid-19.

Sebelumnya, kata dia, para pasien yang datang ke RS Antam hanya mengalami gejala ringan, bahkan tanpa gejala. Sejak Oktober, pasien dengan gejala sedang hingga berat, seperti sesak nafas atau demam dalam jangka panjang, makin banyak.

"Jadi trennya memang bener meningkat, tapi kayaknya dari gejala mulai makin berat sih, gitu kalau saya lihat," kata dia.

Mereka yang masuk ICU, lanjutnya, umumnya karena kadar atau tingkat saturasi oksigen di bawah angka 90 persen. Normalnya, tingkat saturasi adalah 90 persen. Penurunan saturasi adalah gejala umum pasien Covid-19.

Semakin rendah kadar oksigen, nyawa pasien Covid-19 semakin terancam. Penurunan kadar oksigen ini ditandai dengan gejala sesak bernafas.

"Karena kalau kadar oksigen segitu mulai mengancam nyawa ya. Jadi repotnya kalau pasien misal masuk kadar oksigen 50 persen, Tahu-tahu di ICU berapa jam turun mendadak. Itu kan suatu pekerjaan buat kita," kata dia.

"Jadi harus ngambil tindakan cepat. Karena kalau saturasi makin turun, pasien bisa meninggal," imbuhnya.

Meski tak mengetahui persis jumlah lonjakan pasien Covid-19, ia mengaku merasakan betul lonjakan pasien dengan gejala berat dan harus dirawat di ICU.

"Padahal biasanya pasiennya cuma 20-15, cuma mulai pertengahan Desember itu mulai sering penuh. Sedangkan kita sampe nolak pasien yang masuk karena memang ruangannya enggak ada," kata dia.

Bahaya Tanpa ICU

Terpisah, Dokter Emergensi sekaligus relawan Lapor Covid-19 Tri Maharani mengaku telah mendapat banyak laporan dari lapangan yang menyebut beberapa pasien Covid-19 yang keadaannya memburuk hingga meninggal karena tidak mendapat perawatan ICU dengan segera.

Ia menceritakan, pada 2 Januari seorang warga Tangerang masih belum mendapatkan ruang rawat di RS sehingga harus isolasi mandiri di rumah bersama anggota keluarga lain yang positif Covid-19.

Tak segera mendapat perawatan, warga tersebut masih merasakan sesak nafas hingga berhari-hari. Kemudian, pada 3 Januari lalu ia mendapat laporan ada warga meninggal di taksi daring setelah ditolak 10 RS di Depok, Jawa Barat.

"Ada yang meninggal di ambulance juga laporannya. Ini yang lapor ke kami ada 10 lah ya di Pulau Jawa yang kondisi parah dan meninggal. Nah yang lain pasti ada namun belum terlaporkan," ungkap Tri.

Ada pula kasus seorang penyintas Covid-19 di Klaten, Jawa Tengah, yang harus dijemput dengan ambulans yang tidak memadai, pada 4 Januari, yang membuatnya harus terlentang di lantai mobil.

Untuk mengatasi masalah kecukupan ruang ICU dan isolasi ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta dinas kesehatan dan sejumlah rumah sakit di seluruh wilayah Indonesia untuk menambah kapasitas tempat tidur sebesar 30-40 persen. Ditargetkan terealisasi pada Januari 2021.

Untuk DKI, Pemprov menyiagaka RS Ukrida, Jakarta Barat; RS Antam, Jakarta Timur; dan RS Harapan Jayakarta, Jakarta Timur.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar