Licinnya Bisnis Minyak Sawit (I)

Karut Marut Tata Kelola Sawit Indonesia, Siapa Bermain?

Sabtu, 12/12/2020 12:31 WIB
Pengangkutan tandan kelapa sawit (Foto: Greenpeace)

Pengangkutan tandan kelapa sawit (Foto: Greenpeace)

law-justice.co - Memasuki tahun keempat, tata kelola perkebunan kelapa sawit Indonesia cenderung jalan di tempat. Berbagai regulasi yang sudah dibentuk minim implementasi karena terkendala berbagai masalah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun mencium banyak masalah sehingga berkesimpulan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan kriteria. Lantas siapa yang diuntungkan dengan carut-marut tata kelola perkebunan kelapa sawit?

Sawit merupakan salah satu komoditas yang diandalkan oleh pemerintah Indonesia karena kontribusinya yang besar terhadap perekonomian nasional. Data dari Sawit Watch mencatat, luas perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia saat ini mencapai 22,2 juta hektare. Ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada tahun 2016 bisa mencapai 12 persen dari ekspor nasional dengan total produksi hingga 31 juta ton. Capaian itu membuat perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada pendapatan negara senilai USD 17,8 miliar atau Rp 231,4 triliun.

Namun hasil yang menggiurkan itu tidak luput dari berbagai masalah. Presiden Joko Widodo sudah sejak 2016 lalu memutuskan untuk menghentikan sementara atau moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit. Para pemangku kebijakan diharapkan mampu untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang selama ini terjadi.

Isu-isu strategis yang harus diselesaikan di antaranya adalah masalah kebakaran hutan (deforestasi) yang timbul akibat ekspansi kebun kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan. Ada pula masalah-masalah seperti konflik lahan yang belum menemukan mekanisme penyelesaian, tumpang tindih izin konsesi lahan, ekspansi lahan yang menabrak aturan tata ruang, hingga maraknya perkebunan kelapa sawit ilegal. 

Sebagai tindak lanjut moratorium izin perkebunan kelapa sawit, Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit diikuti oleh Inpres No 6 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024.

Sayangnya, berabagai regulasi yang sudah dibentuk itu dianggap belum tampak hasilnya hingga saat ini. Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan, sejatinya belum ada implementasi nyata yang dilakukan pemerintah atas regulasi-regulasi perbaikan tata kelola yang sudah dibentuk.

"Pemerintah punya program untuk intensifikasi yaitu program peningkatan produktifitas kelapa sawit, tapi di satu sisi masih membuka ruang untuk memberi izin baru. Ini kan dua hal yang bertolak belakang antara regulasi dan implementasi," kata Mansuetus saat dihubungi Law-Justice.

Menurut dia, persoalannya saat ini adalah pemerintah tidak tegas atas sikap untuk memoratorium dan mengevaluasi perizinan kebun kelapa sawit. Selain itu, berbagai pelanggaran konsesi lahan sawit yang bermasalah urung ditindak tegas.

"Saat ini produksi CPO kita tahun 2019 mencapai 47 juta ton. Tapi jika pemerintah tegas, produksi CPO kita bisa sampai 70-80 juta ton per tahun," imbuh Mansuetus.


Infografis: Sawit Watch

Inda Fatinaware dari Sawit Watch mengatakan, implementasi atas regulasi yang sudah disusun terhambat beberapa persoalan. Pertama, sosialisasi kebijakan yang minim kepada pemerintah kabupaten/kota sehingga terjadi disinkronisasi pola kerja-kerja pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, belum ada peta jalan atau dokumen rujukan untuk mengimplementasikan Inpres moratorium sawit.

"Pemerintah belum memiliki arah yang jelas soal peningkatan produktivitas sawit. Belum memiliki berapa target atau standar produktivitas sawit yang akan dituju serta bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai target tersebut," kata Inda.

Berbagai persoalan dalam tata kelola perusahaan sawit tidak luput dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam IHPS II / 2019, BPK menemukan 9 masalah dalam tata kelola perkebunan kelapa sawit kita. Satu masalah pengawasan internal dan 8 masalah ketidakpatuhan terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan.  BPK menyimpulkan: pengelolaan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan kriteria.

Dalam laporan BPK, disebutkan bahwa ada 187 perusahaan perkebunan yang belum memenuhi kewajiban pembangunan kebun masyarakat, pabrik pengolahan, dan 20 persen pembangunan kebun inti. Hal itu mengakibatkan tujuan penyelenggaraan perkebunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat berpotensi tidak tercapai.

"BPK merekomendasikan kepada Menteri Pertanian agar memerintahkan Direktur Jenderal Perkebunan untuk mengenakan kewajiban kompensasi tunai kepada perusahaan yang tidak dapat memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan, di mana penggunaannya untuk pengembangan kebun sawit," tulis BPK dalam laporan tersebut. 

Selain itu, terdapat 584 perusahaan yang belum memenuhi persyaratan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) System. Hal ini mengakibatkan berkurangnya daya saing komoditas sawit nasional atas usaha perkebunan yang belum memiliki sertifikat ISPO. Sertifikat ISPO yang dimiliki perusahaan juga dianggap belum mencerminkan asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan dari perusahaan perkebunan.

BPK juga menemukan adanya 222 perusahaan perkebunan yang memiliki izin tumpang tindih. Hal tersebut mengakibatkan potensi sengketa kewilayahan terhadap tumpang tindih antar izin. Sawit Watch mencatat, hingga saat ini setidaknya terdapat 1053 konflik di perkebunan kelapa sawit. Karena itu, BPK Menteri Pertanian diminta untuk berkoordinasi dengan Menteri LHK, Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan pemerintah daerah terkait penyelesaian masalah tumpang tindih antar izin usaha perkebunan kelapa sawit.

Tarik Ulur Tata Kelola Sawit
Dengan penuh ambisi, Presiden Joko Widodo meminta jajarannya di Kabinet Indonesia Maju untuk bahu membahu memfasilitasi peremajaan sawit rakyat (PSR) atau replanting seluas 500 ribu hektare lahan sawit di seluruh lahan perkebunan sawit Indonesia. Hal itu dia sampaikan saat melakukan peresmian implementasi Program B30 di SPBU Pertamina kawasan Jakarta Selatan, akhir tahun lalu. Program PSR sejatinya sudah Jokowi luncurkan pertama kali di Banyuasin, Sumatera Selatan pada 13 Oktober 2017 lalu. Saat itu, program PSR menyasar 2,49 juta hektare lahan sawit.

Namun, pemerintah kalang kabut setelah Uni Eropa, pada awal 2018 lalu, mengumumkan akan menyetop kontribusi minyak kelapa sawit dan mengeluarkannya dari bahan energi terbarukan untuk tahun 2021, meski pada akhirnya --atas desakan Indonesia dan negara-negara penghasil sawit-- Uni Eropa menunda kebijakannya itu hingga 2030.

Uni Eropa menuding bahwa olahan sawit milik Indonesia tak ramah lingkungan karena CPO dikategorikan sebagai salah satu komoditas berisiko tinggi terhadap lingkungan, terutama pengrusakan hutan. Kebun kelapa sawit dianggap salah satu penyebab perubahan penggunaan lahan tidak langsung atau indirect land use change (ILUC). Akibatnya, terjadi alih fungsi lahan di hutan, lahan gambut, serta lahan-lahan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi menjadi lahan kepala sawit.


Temuan BPK soal Tata Kelola Perkebunan Sawit Indonesia

Keputusan Uni Eropa menjadi tamparan keras bagi pemerintah yang sejak dulu jorjoran memberikan izin pembukaan lahan kelapa sawit kepada banyak korporasi namun pada saat yang sama mengabaikan aspek sosial dan lingkungan. Deforestasi atau kebakaran hutan terjadi secara besar-besaran yang berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan musnahnya hutan adat adalah dampak buruk yang menjadi kekhawatiran dunia saat ini atas kemunculan tumbuhan sawit.

Pemerintah tak mau kalah dengan tudingan Uni Eropa yang menilai olahan sawit Indonesia berbahaya bagi lingkungan. Guna menutupi realitas itu, pemerintah pun kini mati-matian membuat olahan sawit menjadi bahan bakar kendaraan yang 100 persen memakai bahan nabati dan diklaim ramah lingkungan. Pemerintah, tak kurang, ingin menampar balik tuduhan Uni Eropa terhadap komoditas primadona Indonesia di pasar dunia itu. Untuk itu lah, program PSR digenjot agar pada saat yang sama pula, produksi tandan buah segar (TBS) kepala sawit meningkat 3 kali lipat.

Meski alasan `demi kesejahteraan petani` seringkali menjadi dalih untuk memperluas lahan, namun faktanya klaim itu berbanding terbalik dengan yang terjadi di lapangan. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2019 lalu menyebutkan sebanyak 584 perusahaan kelapa sawit belum memenuhi persyaratan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) System. Hal ini sepenuhnya berakibat pada runtuhnya kelestarian lingkungan dan berkurangnya daya saing komoditas sawit nasional.

Belum lagi, 187 perusahaan perkebunan dilaporkan belum memenuhi kewajiban yang di antaranya, membangun kebun masyarakat sebanyak 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh korporasi. Hal ini mengakibatkan tujuan penyelenggaraan perkebunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat berpotensi tidak tercapai. Padahal, ketentuan pelepasan 20 persen lahan oleh perusahaan merupakan amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Law-Justice telah meminta konfirmasi atas laporan tersebut kepada Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono. Namun surat permohonan wawancara yang dikirim pada Senin (7/12/2020) lalu belum mendapat balasan. Selain tak merespons panggilan telepon, Kasdi juga tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Law-Justice melalui aplikasi pesan WhatsApp. Upaya meminta keterangan lewat ajudannya pun berujung sia-sia.

"Maaf, belum ada waktunya minggu ini, agenda beliau (Kasdi Subagyono) masih sangat padat," kata ajudan tersebut.

Di lain pihak, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi, juga enggan mengomentari saat ditunjukkan laporan BPK tersebut melalui aplikasi pesan WhatsApp. Hingga laporan ini diterbitkan, Dedi masih tak merespons panggilan telepon dari Law-Justice.

Sementara itu, anggota DPR Komisi IV Bambang Purwanto dari Fraksi Demokrat menjelaskan soal pembahasan aturan tata kelola sawit akan dibahas kembali masa sidang tahun depan. Karena, kata dia, pembahasan baru dalam tahap harmonisasi dan mendengarkan keterangan dari stake holder.

"Belum, baru dibentuk, terus kemarin baru rapat sekali. Ya habis itu, mungkin tahun depan lah kita teruskan. Kemarin kita tampung dulu dari pihak asosiasi yang mewakili petani sawit. Juga ada asosiasi perkebunan kelapa sawit. Kita tampung dulu permasalahan yang dihadapi mereka. Nah, setelah itu baru kita nanti mengundang dari pihak Dirjen Perkebunan Kementan dan BPDP-KS," ungkap Bambang yang juga anggota Panja Kelapa Sawit.

"Jadi kita dengar dulu (permasalahan dari pihak terkait), baru kita action, biar lengkap informasinya," tambahnya.

"Kita melihat masalah terbesar itu masih ada benturan antara perusahaan sawit dengan masyarakat, nah itu harus kita fasilitasi. Kan perusahaan membuka lahan sawit itu harus ada jatah untuk masyarakat 20 persen, untuk plasma. Plasma itu ketika sudah lunas, itu menjadi milik masyarakat. Antara masyarakat dengan perusahaan itu tidak bisa dipisahkan, harus saling melengkapi. Makanya hal ini perlu pengawasan biar masing-masing pihak tidak ada yang dirugikan," ungkap Bambang soal adanya kisruh antara perusahaan dan masyarakat terkait kepemilikan lahan sawit.

Dia mengatakan, sebetulnya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perkebunan masih cukup bisa mengakomodasi kepentingan kelapa sawit kita, hanya saja saat ini UU tersebut pun turut masuk dalam UU Cipta Kerja yang baru disahkan.

Sedangkan Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, juga mengamini tidak masuknya RUU Tata Kelola Sawit dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 karena banyak fraksi tidak setuju usulan pembahasan aturan tersebut. Kata Andi, kebijakan aturan yang diajukan itu tidak masuk dalam program legislasi nasional.

"Enggak masuk Prolegnas. Fraksi-fraksi tidak setuju. Sampai sekarang enggak ada yang mengusulkan," ungkapnya ketika dihubungi Law-Justice, Senin (7/12/2020).

Kekayaan Minyak Sawit untuk Siapa?
Selama lebih dari beberapa dekade tidak ada kejelasan soal tata kelola sawit di Indonesia, karena aturan yang ada selama ini hanya menguntungkan kelompok pengusaha besar yang memiliki hak pengelolaan sawit jutaan hektare. Sedangkan kelompok masyarakat yang memiliki lahan kecil harus gigit jari karena tidak terkomodir dan minim perhatian dari pemerintah.

Hal itulah yang menyebabkan banyak kelompok masyarakat mendorong adanya aturan baru soal tata kelola sawit dari hulu ke hilir yang menguntungkan kelompok pengusaha kecil.

Menanggapi hal itu, Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menilai, aturan soal tata kelola sawit masih lemah terutama soal hilirisasi produk hasil sawit. Karena di Uni Eropa ada penolakan pengunaan hasil sawit Indonesia sehingga perlu ada modernisasi hasil produk sawit yang ramah lingkungan.

"Yang disoroti adalah tentang moratorium kelapa sawit di Uni Eropa, kemudian juga prospek biodiesel sampai ke D100, kemudian cara mengatasi cara jatuhnya harga CPO (Crude Palm Oil) di dunia. Hilirisasi sawit inikan bisa dijadikan produk macam-macam ya, mulai dari makanan, kosmetik, obat-obatan, sampai ke energi," ungkapnya.

Dengan adanya terobosan teknologi pengunaan minyak sawit untuk energi bisa mengobati kekecewaan dari embargo pasar Uni Eropa. Sehingga seluruh stake holder kelapa sawit mulai dari petani hingga pengusahanya bisa tetap mendapatkan untung.

"Nah ke depan yang masih terbuka luas ini soal energi, untuk pengganti bahan bakar fosil. Kemudian ini juga salah satu upaya mengatasi bagaimana kita ke depan dikhawatirkan kekurangan pasar tujuan ekspor. Uni Eropa kan tujuan ekspor nomor dua terbesar di dunia setelah India, kalau misalnya pangsa pesanannya berkurang, berarti kita enggak begitu mengkhawatirkan kalau kita sudah bisa memproses produk hilirnya secara optimal sehingga produksi di tingkat kebunnya juga enggak terganggu," ujarnya ketika dihubungi Law-Justice, Kamis (10/12/2020).

"Artinya, yang dikhawatirkan di sini kan kalau produknya enggak terserap di pasar, baik itu pasar domestik maupun global. Nanti akan menjatuhkan harga. Jadi salah satu penyebab kenapa harga sawit kita itu jatuh karena terjadi over supply, tidak terserap di pasar. Kenapa? Karena kita mungkin ada perlambatan ekonomi, kemudian juga ada upaya-upaya politik perdagangan seperti Uni Eropa yang mau mem-banned sawit kita. Selain itu hilirisasi di Indonesia yang energi juga belum maksimal," tambahnya.

Jika dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia jauh tertinggal dari segi tata kelola sawit. Kata dia, Indonesia seharusnya bisa mengejar ketertinggalan dengan meningkatkan segmen pasar di hilir yang tidak melulu menjual produk mentah seperti selama ini.

"Kita memang sudah menguasai rantainya, tapi untuk yang menengah sampai hilir, kita masih kalah dengan Malaysia. Kita masih harus bisa mengejar karena kebunnya juga banyakan kita. Anggaplah sawit ini ada produk hulu, intermediate (menengah), baru final (hilir). Nah kita dari hulu ke tengah sudah banyaklah, nah dari tengah ke hilir ini masih ketinggalan dibanding Malaysia," ujarnya.

"Selain pasar ekspor, sambil bagaimana kita mandiri mengolah sawitnya dari hulu ke hilir. Jadi rantai supply atau Global Supply Chain-nya itu kita kuasai lah dari berbagai produksi, rantai produksi harus kita kuasai semua. Dari pohon buah tandan segar (BTS) sampai menjadi produk hilir itu kan rantai-nya panjang. Ada dijadikan CPO dulu, kemudian di-refinery (dikilang), sampai jadi produk," tandasnya.

Dia menyarankan perlu adanya perbaikan dengan cara membuktikan kepada dunia, bahwa sawit Indonesia itu adalah sawit yang ramah lingkungan dan tidak menyalahi aturan-aturan yang selama ini dituduhkan.

"Jadi pemerintah jangan cuma ngomong doang di media-media internasional, kita harus punya data, harus punya kajian atau penelitian akademik yang itu kredibel dan terpercaya, sehingga peneliti-peneliti di Uni Eropa itu yakin karena kita punya argumen yang kuat, bukan cuma presentasi-presentasi di Uni Eropa tapi kalau bisa masuk penelitian di jurnal internasional. Itu yang perlu diperkuat ya. Semua itu kan intinya untuk pembuktian kepada dunia bahwa sawit kita tidak menyalahi aturan," ungkap dia.

Penetrasi Lahan Sawit Loyo
Angka penetrasi perluasan lahan sawit dinilai masih belum maksimal. Belum lagi tanaman sawit yang sudah lama perlu adanya peremajaan agar bisa memaksimalkan produksi.

Data dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) menyebut, peremajaan sawit di Indonesia baru seluas 171,237 hektare dengan anggaran yang digelontorkan Rp 1,98 triliun.

Angka tersebut belum mencapai separuh dari target peremajaan sawit rakyat tahun ini yang dipatok 180 ribu hektare pada 2020. Terhitung mulai tahun ini hingga dua tahun mendatang, pemerintah menargetkan mampu meremajakan sawit rakyat seluas 540 ribu hektare. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menyatakan program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman perkebunan sawit. Indonesia membutuhkan tambahan pasokan sawit untuk mendukung program pencampuran biodiesel dan solar. Untuk tahun ini saja pemerintah menargetkan penyerapan B30 sebanyak 9,59 juta kiloliter.

Sementara itu, Direktur Coporate Affairs Asian Agri Fadhil Hasan, yang juga pernah menjabat Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan, permasalah yang muncul dari penetrasi pertambahan lahan perkebunan dengan adanya kewajiban pembangunan perkebunan rakyat disebabkan aturan yang tidak jelas. Selain itu, Fadil bilang, dalam UU Perkebunan tidak ada kewajiban memberikan 20 persen untuk masyarakat, yang ada hanyalah kemitraan.

"Ini bukan masalah kendala (pada perusahaan), tapi aturannya sendiri enggak jelas. Di dalam UU Perkebunan itu enggak diatur kewajiban 20 persen. Jumlah 20 persen itu hanya dilakukan (yakni) harus melakukan kemitraan. Aturan terkait 20 persen itu ada di Peraturan Menteri: Peraturan Menteri Pertanian, Peraturan Menteri Kehutanan, dan Peraturan Menteri Agraria. Dan definisi kemitraan itu sendiri beda-beda," ungkap Fadhil kepada jurnalis Law-Justice Rio Alfin Pulungan.

Dia menambahkan, ada tumpang tindih lintas kementerian dan lembaga yang menyebabkan permasalahan soal lahan sawit makin berlarut.

"Kalau Peraturan Menteri Kehutanan itukan dibilang 20 persen dari lahan yang dihasilkan. Kalau ATR (Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang) dari Hak Guna Usaha, sementara kalau Peraturan Menteri Pertanian itu dari lahan yang diusahakan.  Aturannya sendiri enggak jelas, intinya enggak sama lah antara satu menteri dengan menteri yang lain. Hanya saja di dalam UU Cipta Kerja itu akan diharmonisasi," ujarnya.

Berlomba dengan waktu, pemerintah dituntut untuk cepat menyelesaikan beragam persoalan tata kelola perkebunan kelapa sawit. Di satu sisi, Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perkelapasawitan sedang memanas di DPR RI. Tarik ulur kepentingan bermain di tengah bisnis licin sawit Indonesia.

Kontribusi Laporan : Givary Apriman, Rio Alfin Pulungan, Januardi Husin, Yudi Rachman

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar