Indra Sjafri: Sudah Saatnya Benahi PSSI, Demi Anak-anak Kita

Senin, 27/04/2020 00:01 WIB
Indra Sjafri (Indra Sjafri/Instagram)

Indra Sjafri (Indra Sjafri/Instagram)

law-justice.co - Lahir di Kampung Lubuk Nyiur, Padang, Sumatera Barat, Indra Sjafri tidak pernah bermimpi jadi dirinya seperti sekarang ini. Seorang pelatih berskala nasional dan memiliki pengalaman di dunia internasional.

Coach Indra, begitu ia akrab disapa, bukanlah berasal dari keluarga olahragawan. Lahir 2 Februari 1963, Indra mulai mengenal sepakbola sejak duduk di bangku sekolah dasar. Bersama anak-anak kampung, ia sering memanfaatkan lahan kosong atau sawah usai panen, untuk dijadikan lapangan sepakbola tempat mereka bermain.

"Lapangan bola itu jauh dari rumah, kira-kira dua kilometer. Jadi kami pilih lahan kosong sekitar rumah. Risikonya sempat patah tangan, dan ada bekasnya sampai sekarang," kenang bapak dua anak ini.

Memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) Indra mulai bermain di lapangan sepakbola yang sedikit bagus yang ada di sekolahnya. Ia terus berlatih hingga lulus, dan di tahun 1980-an ia mendapat kesempatan merumput bersama Persatuan Sepakbola (PS) Pangkudung, salah satu klub yang ada di Padang

Masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Indra direkrut klub PSP Padang. Pada 1985, Indra masuk kuliah, sambil bekerja di PT Pos Indonesia. Meskipun begitu, kegiatannya bermain bola di klub tetap dijalaninya.

"Saat masuk PSP, pelatih pertama saya adalah Usman Chan. Saya diberi kesempatan olehnya menjadi pemain sekaligus asisten pelatih, dan juga dipercaya mengurus PSP Junior dan terus naik ke tingkat ke PSP senior. Akhirnya, saya malah dipercaya jadi pelatih, bukan pemain. Prestasi tertinggi saya saat itu, mengikuti PON tahun 1985 di Jakarta," cerita Indra.

Di tahun 1993 sambil melatih dan bekerja, Indra mengambil kursus kepelatihan lisensi C AFC di Semarang, dan selama itu pula ia mendapat kesempatan menjadi asisten pelatih asal Jerman selama tiga tahun dari 1991 hingga 1993.

"Jadi waktu itu ada istilah kerja sama ‘Kota Kembar’. Kota Padang bekerjasama dengan kota Hildesheim, Jerman, termasuk kerja sama di bidang sepak bola terutama kepelatihan. Saya jadi asisten pelatih Jerman selama tiga tahun. Dari situlah saya mendapatkan basic ilmu kepelatihan, yang saya gunakan hingga sekarang,” lanjut Indra.

Setelah tiga tahun bersama pelatih Jerman, Indra terus meningkatkan kemampuan kepelatihannya.  Ia lalu mengambil kursus kepelatihan level B pada 1998 dan A pada 1999. Dilanjutkan pada 2010, Indra menambah ilmunya dengan mengikuti kursus penyegaran pelatih dalam program FIFA Futuro. Di tahun yang sama pula, Ia mengambil lisensi A AFC Instruktur Akar Rumput FIFA.

"Saya terus melatih PSP Padang sampai 2001, dan di tahun  2002 hingga 2006 saya berhenti dulu dari dunia sepak bola dan tetap bekerja di PT Pos Indonesia sambil mengurus usaha kecil lainnya. Baru di tahun 2007 hingga 2009 saya kembali melatih yaitu di klub PS Bengkalis Riau (PS Kepri). Sejak saat itu saya mengambil keputusan untuk fokus dunia sepak bola meninggalkan pekerjaan saya di PT Pos Indonesia. Coba bayangkan ini keputusan, saya belum punya masa depan di sepak bola tapi berani ambil keputusan ini," kenang Indra yang mengidolakan BJ Habibie ini.

Indra Sjafri saat melatih (Indra Sjafri/Instagram)

Setelah malang melintang selama dua tahun di klub PS Kepri, pada tahun 2009, kemampuan dan kematangan Indra dalam melatih, membuka jalan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Ia dipercaya menjadi instruktur pelatih di PSSI dan di tahun 2011 untuk pertama kalinya ditunjuk menjadi pelatih Tim Nasional (Timnas) U-16 mengikuti kualifikasi piala AFC.

"Waktu itu saya gagal, namun tidak sampai dipecat karena tidak banyak peminat untuk melatih level U-16 hingga U-19," kata Indra. Kegagalannya itu, menurutnya karena ia memilih pemain berdasarkan rekomendasi dari PSSI, pemain hasil inventarisir dari seputar wilayah DKI Jakarta saja.

Belajar dari kegagalannya itu, Indra kemudian mengambil inisiatif mengubah pola pelatihannya selama ini. Ia merombak susunan Timnas dan mencari bibit-bibit baru yang dilakukannya dari tahun 2011 hingga 2013. Menurut Indra, blusukan mencari pemain-pemain baru dilakukan dari Aceh hingga Papua.

“Jadi sebelum Pak Jokowi blusukan, saya sebenarnya sudah duluan, hasilnya Evan Dimas dan kawan-kawan itu hasil pencarian saya ke pelosok daerah dari U-16, U-17, U-18 dan U-19," selorohnya.

Indra mengaku dalam proses pencarian pemain Timnas, diperlukan orang yang benar-benar berintegritas, karena banyak sekali halangan dan kendala. “Saya sendiri pernah tidak mendapat selama 17 bulan lebih.”

Dalam mencari bibit-bibit muda yang berkualitas, Indra menyebut ada dua pola yang diterapkannya yaitu pertama, mengadakan uji coba dengan klub lokal yang bertujuan untuk membandingkan pemain yang sudah ada dengan pemain yang akan diseleksi. ``Selain itu juga untuk memberikan pengalaman kepada para pemain yang sudah terpilih,`` katanya.

Pola kedua adalah dengan berangkat sendiri untuk mengamati secara langsung. "Kalau selalu dengan metode pertama, biaya akan membengkak. Jadi, disini saya melihat para pemain yang sedang mengikuti pertandingan lokal," jelas Indra.

“Saat blusukan, saya melihat pemain yang komplit, punya daya tahan dan kecepatan. Tapi yang penting, pemain itu harus punya skill sepakbola yang bagus. Kalau untuk fisik, saya bisa menempa pemain saya," tambahnya.

Bagi Indra, selain masalah teknis bermain bola, menjadi seorang pelatih sepakbola juga harus mampu menanamkan nilai-nilai agama (spiritual) di dalam tim. Fungsinya untuk menumbuhkan mental dan karakter pemain sperti moral dan kinerja.

"Pelatih sepakbola harus mampu menanamkan dua karakter itu. Selama ini para pelatih hanya berkutik pada kinerja yang mengharuskan berlatih dengan keras, skill terus diasah, passing, dan dribbling. Namun ada yang dilupakan yaitu moral seperti disiplin, empati, keberanian, ketabahan, kejujuran, dan kesetiaan. Karakter moral ini ada di nilai-nilai agama," tegas pria yang dikenal dengan selebrasi sujud syukur ini.

Indra mencontohkan nilai spritual yang ia terapkan dalam skuad Timnas, menurut review yang dibuatnya berdasarkan pertandingan final Piala AFF U-19 di Sidoarjo melawan Vietnam. Menurut dia saat itu, sepanjang pertandingan 90 menit dan waktu tambahan, semua pemain ditempatkan berdasarkan kekuatan skill masing-masing, termasuk menempatkan pemain inti ataupun pengganti.

"Semuanya berubah total dan menjadi kuasa Tuhan ketika pertandingan dilanjutkan ke babak adu pinalti. Itu semua pemain yang berlatih sebagai algojo pinalti seperti Evan Dimas tidak bisa memasukan bola, namun seorang Ilhamnudin Armain yang bukan spesialis pinalti bisa memasukan bola dan merupakan pemain penentu. Mental Ilham dibentuk karena karakter moral," jelas Indra.

Tim usia muda sudah beberapa kali menunjukkan prestasinya, namun sayang Timnas senior hingga hari ini belum juga mampu mewujudkan harapan bangsa Indonesia melihat mereka menembus ajang internasional. Menurut Indra ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu kondisi PSSI yang carut marut dan harus dibenahi, serta para pemain sendiri yang cepat puas tidak konsisten. Selain itu, kurangnya wadah untuk mengembangkan karir juga menjadi faktor penyebab.

"Sampai detik ini, Timnas kekurangan striker lokal, karena banyak striker asing di kompetisi kita, padahal wadah ini harusnya untuk striker lokal. Alhamdulilah saat ini saya menjabat sebagai Direktur Teknik PSSI, saya sudah sedikit terbuka dan melihat apa saja yang harus diperbaiki. Beberapa struktur sudah saya siapkan, perlahan-lahan  saya akan membawa sepakbola Indonesia ke arah yang lebih baik," kata Indra.

Indra menegaskan, kemampuan anak-anak Indonesia di bidang apapun sangat menonjol termasuk sepakbola, oleh karena itu menurutnya, tinggal bagaimana mengurus anak-anak ini. "Semua kembali pada rumahnya, kalau kondisi rumahnya carut marut tentu akan seperti ini terus, ayo sudah saatnya benahi rumah kita (PSSI) demi anak-anak kita," tutupnya.

 

(Ricardo Ronald\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar