Akademisi, Hendry Reinhard Apituley, SH. MH.

Maluku Tidak Terwakili Dalam Pembentukan RI

Senin, 19/08/2019 05:31 WIB
Proklamasi kemerdekaan (YouTube/Raditya D)

Proklamasi kemerdekaan (YouTube/Raditya D)

Jakarta, law-justice.co - Sejarah mencatat, rakyat Maluku tidak terwakili dalam pembentukan Indonesia sebagai suatu negara dan dipaksa untuk tetap berada di bingkai NKRI, artinya Maluku saat ini masih bisa menggugat.

Sabtu, tanggal 18 Agustus 1945, merupakan hari yang menandai dimulainya suatu sidang yang direncanakan berlangsung hingga hari rabu, tanggal 22 Agustus 1945. Sidang yang akan berlangsung selama 4 (empat) hari itu, salah satu agendanya adalah pembahasan Undang-Undang Dasar dari suatu Negara bernama Republik Indonesia yang kemerdekaanya baru dinyatakan kemarin, hari jumat, tanggal 17 Agustus 1945. Sesungguhnya, sidang ini merupakan kelanjutan dari sidang-sidang yang telah berlangsung selama 2 (dua) bulan sebelumnya, yaitu dari hari senin, tanggal 28 Mei 1945 sampai/denganhari selasa, tanggal 17 juli 1945. Sidang-sidang tersebut: semuanya berawal dari suatu janji.

Janji Saudara Tua

Pada hari kamis, tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang, ‘Kuniaki Koiso’ (pengganti perdana menteri Jepang sebelumnya, Hideki Tojo) – di hadapan parlemen Jepang – mengumumkan akan memberikan kemerdekaan kepada penduduk Hindia-Belanda dalam waktu yang singkat. Janji kemerdekaan kepada penduduk Hindia-Belanda ini pernah diucapkan juga oleh Ratu Belanda, Wilhelmina, 2 (dua) tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1942, dalam pidato di London-Inggris, yang kemudian menjadi terkenal dengan sebutan ‘Pidato London’ (London Rede) (Kasenda, Peter (2015) Soekarno Di Bawah Bendera Jepang (1942-1945). Jakarta: Kompas, h.111).

Hayashi Kyujiro, seorang administrator senior sipil Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dalam dokumennya menyatakan bahwa “wilayah-wilayah yang akan diberikan kemerdekaan di kemudian hari terbatas hanya pada wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Sedangkan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Papua secara tentatif akan dijadikan wilayah Kekaisaran Jepang dan akan dipertimbangkan secara individual jika ada perubahan-perubahan khusus dalam situasi setelah suatu waktu tertentu sejak berakhirnya Perang Pasifik” (Kasenda, 2015:109-110).

Berdasarkan dokumen tersebut di atas, maka sudah dapat dipastikan bahwa, hanya wilayah Jawa, Madura dan Bali yang akan diberikan kemerdekaan oleh Penguasa Militer Kekaisaran Jepang. Sedangkan wilayah Maluku tidak termasuk dalam kelompok wilayah yang akan diberikan kemerdekaan oleh Penguasa Militer Kekaisaran Jepang.

Dalam rangka merealisasikan janji tersebut di atas, Penguasa Militer Kekaisaran Jepang kemudian memberikan kepercayaan kepada Koesno Sosrodihardjo alias Sukarno, salah seorang ‘kolaborator’ (sebutan yang diberikan oleh Sutan Syahrir kepada Sukarno) untuk mengurusnya. Kolaborator adalah pihak-pihak yang sesungguhnya sedang dalam permusuhan tetapi melakukan kerja sama untuk menghadapi musuh yang lain. Kata ‘kolaborator’ (sebutan bagi para pihak yang melakukan kolaborasi) untuk pertama kalinya digunakan oleh pemimpin Negara Perancis-Vichy, Marsekal Phillipe Petain di Radio pada hari rabu, tanggal 30 Oktober 1940 yang dikemudian hari menjadi sangat terkenal dalam pengertian yang menyedihkan. (Kasenda, 2015: 161).  

Badan Bentukan Jepang

Pada hari kamis, tanggal 1 Maret 1945, Jenderal Harada Kumakichi telah mengumumkan pembentukan ‘Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan’ (BPUPK/Dokuritzu Zyunbi Coosakai). Tetapi baru pada hari minggu, ‘tanggal 29 April 1945’ (hari ulang tahun Kaisar Jepang, Hirohito) Kaisar Hirohito memberikan persetujuan untuk membentuk BPUPK. Berdasarkan persetujuan tersebut, Marsekal Hisachi Terauchi, Panglima Komando Utama Tentara ‘Angkatan Darat’ (AD/Rikugun) Kekaisaran Jepang untuk ‘Kawasan Selatan’ (Asia Tenggara) yang bermarkas besar di Saigon-Vietnam yang membawahi Komando Tentara AD Kekaisaran Jepang ke XVI untuk pulau Jawa, dan Komando Tentara AD kekaisaran Jepang ke XXV untuk pulau Sumatera – dalam koordinasi dengan Jenderal Hitoshi Imamura sebagai Panglima Tertinggi Tentara AD Kekaisaran Jepang – kemudian memerintahkan Panglima Tentara ke XVI untuk membentuk BPUPK di pulau Jawa, dan Panglima Tentara ke XXV untuk membentuk BPUPK di pulau Sumatera (Risalah Sidang BPUPKI / PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (1998). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, h. xxvii).

Panglima Tentara ke XXV, Jenderal Moritake Tanabe kemudian membentuk BPUPK untuk wilayah pulau Sumatera pada hari rabu, tanggal 25 juli 1945, dengan Muhammad Syafei sebagai ketua. Sedangkan BPUPK untuk wilayah pulau Jawa telah dibentuk 2 (dua) bulan sebelumnya, yaitu pada hari selasa, tanggal 29 Mei 1945, oleh Jenderal Yuichiro Nagano, Panglima Tentara ke XVI, dengan Dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua. Dimana Tugas dan Tanggung jawab BPUPK adalah sebagaimana yang diatur dan ditetapkan dalam Maklumat Gunseikan, nomor: 23 bahwa,“Badan ini berkewajiban untuk mempelajari dan menyelidiki segala sesuatu urusan penting yang mengenai hal-hal politik, ekonomi, tata usaha pemerintahan, kehakiman, pembelaan negeri, lalu lintas dan sebagainya yang dibutuhkan dalam usaha pembentukan Negara Indonesia, dalam hal itu harus dilaporkan kepada Gunseikan. Dalam hal menyampaikan laporan itu, dapatlah didahulukan hal-hal yang penting dan yang dianggap perlu, dengan segera pada waktu sesudah selesainya perundingan tentang sesuatu soal”.(Prasetyo, Teguh dan Arie Purnomosidi (2014)Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila. Jakarta: Nusamedia, h. 8-9).

Gunseikan adalah Kepala Pemerintahan Militer Kekaisaran Jepang yang di Hindia-Belanda bermarkas besar di pulau Jawa. Pada saat itu, jabatan Gunseikan tersebut dirangkap oleh Kepala Staf Komando Tentara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang ke XVI di pulau Jawa yaitu, Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto. Berdasarkan Maklumat Gunseikan tersebut di atas, maka menjadi jelas bahwa BPUPK bertanggungjawab kepada Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto dalam kedudukan sebagai Gunseikan dan tidak bertanggungjawab kepada rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda(Kasenda,2015: 47). Bahkan dalam halaman xxvii dari buku berjudul Risalah Sidang BPUPKI / PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1998 oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa, “Dengan struktur seperti itu, terbentuklah 2 (dua) BPUPK (Dokuritzu Zyunbi Coosakai), masing-masing untuk pulau Jawa dan Sumatera. BPUPK untuk pulau Jawa dipimpin oleh Dr. K. R. T. Radjiman Wedyodiningrat dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada ‘Saiko Sikikan’ (Panglima Tentara) tentara ke XVI. Sedangkan BPUPK untuk pulau Sumatera dipimpin oleh Muhammad Sjafei yang dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada ‘Saiko Sikikan’ (Panglima Tentara) tentara ke XXV”.

BPUPK tidak pernah di bentuk dalam wilayah ‘Hindia-Belanda Bagian Timur’ (termasuk Maluku) yang berada dibawah kekuasaan Armada ‘Angkatan Laut’ (AL (Kaigun)) Kekaisaran Jepang ke II, sebab Komando AL Kekaisaran Jepang tidak bermaksud membentuk BPUPK untuk pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, kepulauan Sunda Kecil (NTB dan NTT), kepulauan Maluku, dan Papua (Kasenda, 2015: 153).

Dalam hubungan dengan perihal ini pula, halaman xxvii dari buku berjudul Risalah Sidang BPUPKI / PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1998 oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa, “Komando-komando angkatan darat inilah yang melaksanakan janji kemerdekaan yang diucapkan Perdana Menteri Koiso tersebut. Sebagai catatan, wilayah Hindia-Belanda Bagian Timur yang berada di bawah ‘Komando Angkatan Laut Kekaisaran Jepang’ (Kaigun) tidak berada di bawah Komando Tentara Kawasan Selatan, yang merupakan komando utama Angkatan Darat untuk wilayah Kalimantan dan wilayah Hindia-Belanda Bagian Timur lainnya tidak ada BPUPK”.

Dengan demikian, secara yuridis-formal dan/atau legal-formal, tidak ada anggota BPUPK yang mewakili rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda Bagian Timur, meskipun Mr. Alexander Andries Maramis, dan Mr. Johannes Latuharhary adalah orang-orang yang berasal dari wilayah Hindia-Belanda Bagian Timur yaitu, dari Sulawesi Utara dan dari Maluku, namun keanggotaan ‘mereka’ (Mr. A. A. Maramis dan Mr. J. Latuharhary) dalam BPUPK adalah sebagai orang Indonesia Terkemuka di pulau Jawa, dan bukan mewakili rakyat dari daerah asalnya yaitu, Sulawesi Utara maupun Maluku.

Perihal ini adalah sebagaimana ternyata dalam halaman xxvii dari buku berjudul Risalah Sidang BPUPKI / PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1998 oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia bahwa, “Oleh karena BPUPK hanya dibentuk di pulau Jawa dan Sumatera, yaitu wilayah Angkatan Darat Jepang, sedangkan daerah-daerah Hindia-Belanda Bagian Timur berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang, maka secara formal tidak ada anggota BPUPK yang mewakili daerah-daerah tersebut. Walaupun Mr. A. A. Maramis dan Mr. J. Latuharhary berasal dari daerah Hindia-Belanda Bagian Timur, namun keanggotaan mereka dalam BPUPK adalah sebagai orang Indonesia Terkemuka di Jawa, dan bukan mewakili daerah asalnya”.

Bahkan Dalam halaman xliii dari buku berjudul ‘Risalah Sidang BPUPKI / PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 ’ yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1998 oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia, dinyatakan bahwa “hampir dapat dipastikan, bahwa pembicaraan dalam BPUPK antara bulan Mei tahun 1945 sampai/dengan bulan Juli tahun 1945 tidak diketahui oleh para pemimpin rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda Bagian Timur”. Setelah hari jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, Mr. J.Latuharhary memang mengundang beberapa orang Maluku untuk bertemu dengan Sukarno di Jakarta, tetapi orang-orang Maluku itu juga memiliki status yang sama seperti Mr. J.Latuharhary yaitu sebagai orang Indonesia Terkemuka di pulau Jawa, dan bukan mewakili rakyat dari daerah Maluku. Mereka itu adalah, Piet de Queljoe dari Jakarta, Dolf Jans juga dari Jakarta, dr. Latumeten dari Lawang, dr. Augustien dari Bandung, Piet Matulessy dari Bandung, Mias Supusepa juga dari Bandung, Tjaka Riupassa dari Semarang, M. Ruhupatty dari Magelang, dr. Thom Pattiradjawane dari Malang, Librek Nanlohy dari Malang, dr. S. Latupeirissa juga dari Malang, dr. Siwabessy dari Surabaya, dan Sasabone juga dari Surabaya(de Fretes, Johannes Dirk (2007)Kebenaran Melebihi Persahabatan. Jakarta: Harman Pitalex dan Kubuku, h. 62).

Bukan Pilihan Rakyat

BPUPK memiliki anggot asebanyak ‘69 orang’ (1 orang Ketua; 2 orang Wakil Ketua; 60 orang anggota utama; dan 6 orang anggota tambahan). Anggota-anggota BPUPK tersebut tidak dipilih oleh rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda tetapi dipilih secara langsung oleh Sukarno sendiri dan kemudian harus mendapat persetujuan dari Penguasa Militer Kekaisaran Jepang.

Perihal ini adalah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Sukarno dalam halaman 239 dari buku yang ditulis oleh Cindy Adams berjudul ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’ yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2011 oleh Yayasan Bung Karno bahwa, “Tokoh-tokoh terkemuka dari seluruh kepulauan – aku yang memilihnya dan kemudian disetujui oleh Jepang – menghadiri sidang dengan masing-masing sebelumnya membuat rencana, aturan dan usul-usul berisi tetek-bengek yang menyiksa”.

Tokoh-tokoh terkemuka pilihan Sukarno yang telah mendapat persetujuan Penguasa Militer Kekaisaran Jepang kemudian diangkat oleh Panglima Tentara ke XVI dan Panglima Tentara ke XXV sebagai anggota-anggota BPUPK. Dengan demikian, bukan merupakan suatu perihal yang mengherankan jikalau pada saat itu orang menyebut REPUBLIK INDONESIA sebagai REPUBLIK SUKARNO (de Fretes, 2007: 84).

Pada hari selasa, tanggal 7 Agustus 1945, Penguasa Militer Kekaisaran Jepang membubarkan BPUPK, dan besoknya, pada hari rabu, tanggal 8 Agustus 1945, Marsekal Hisachi Terauchi – Panglima Komando Utama Tentara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang untuk Kawasan Selatan yang bermarkas besar di Saigon-Vietnam – memerintahkan Sukarno yang diikuti oleh Drs. Mohammad Hatta, dan Dr. K. R. T. Radjiman Wedyodiningrat untuk pada hari itu juga harus berangkat ke Dalath, suatu kota kecil yang letaknya sejauh beberapa kilometer di utara Saigon untuk bertemu dengan Marsekal Hisachi Terauchi. Dalam pertemuan tersebut, Marsekal Hisachi Terauchi memberitahukan kepada Sukarno, Hatta, dan Wedyodiningrat bahwa, ‘Panitia Persiapan Kemerdekaan’ (PPK(Dokuritsu Zyunbi Iinkai)) akan diresmikan pembentukannya pada hari sabtu, tanggal 18 Agustus 1945(Kasenda, 2015: 159).  

PPK mempunyai anggota sebanyak ‘27 orang’ (1 orang Ketua; 1 orang Wakil Ketua; 19 orang anggota utama; dan 6 orang anggota tambahan) yang dipilih secara langsung dari anggota-anggota BPUPK yang sebelumnya telah dipilih oleh Sukarno sendiri dan yang telah disetujui oleh Penguasa Militer Kekaisaran Jepang. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa, baik anggota-anggota BPUPK maupun anggota-anggota PPK tidak dipilih oleh rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda sehingga apapun yang diputuskan dan apapun yang ditetapkan dalam sidang-sidang BPUPK maupun sidang-sidang PPK yang berlangsung dari hari senin, tanggal 28 Mei 1945 sampai/dengan hari selasa, tanggal 22 Agustus 1945 seharusnya tidak mengikat dan tidak berlaku bagi rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda terutama rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda bagian timur termasuk rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda yang berada di daerah Maluku, sebab baik anggota-anggota BPUPK maupun anggota-anggota PPKtidak mewakili suara dan/atau kepentingan rakyat Maluku.

Dengan tidak dilakukannya pemungutan suara atau ‘pemilihan umum’ (PEMILU) atau referendum atau plebisit atau jajak pendapat atau ‘penentuan pendapat rakyat’ (PEPERA) atau cara-cara atau metode-metode lainnya dalam memilih anggota-anggota BPUPK dan kemudian juga anggota-anggota PPK, maka Sukarno dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda terutama rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda Bagian Timur termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda yang berada di daerah Maluku. Sebab pemungutan suara atau ‘pemilihan umum’ (PEMILU) atau referendum atau plebisit atau jajak pendapat atau ‘penentuan pendapat rakyat’ (PEPERA) atau cara-cara atau metode-metode lainnya merupakan ‘cara pelaksanaan’ dan/atau ‘mekanisme implementasi’ Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri (The right of self-determination) dari rakyat menurut ketentuan Hukum Internasional (Starke, J. G. (2008) Pengantar Hukum Internasional. Ed. 10, Vol. 1, Jakarta: Sinar Grafika, h. 158).

Sejarah mencatat bahwa meskipun rakyat Maluku ‘TIDAK TERWAKILI’ (UNREPRESENTED) dalam pembentukan Republik Indonesia sebagai suatu negara, tetapi rakyat Maluku telah dipaksa dengan berbagai cara untuk tetap berada dalam bingkai Negara Republik Indonesia – dan kemudian – pada saat ini : Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya, keberadaan Maluku dalam Indonesiamasih dapat digugat,seperti padahari selasa, tanggal 25 April 1950 … 69 tahun yang lalu.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar