Dibalik kebijakan impor gila-gilaan (Tulisan-4)

Ini Modus Mafia Gula Rafinasi Ilegal dan Resep Kebal Hukumnya

Jum'at, 09/08/2019 14:08 WIB
Ada importer bermain dalam kasus rembesan gula rafinasi (ilustrasi: detik)

Ada importer bermain dalam kasus rembesan gula rafinasi (ilustrasi: detik)

Jakarta, law-justice.co - Setiap kali ada kasus gula rafinasi – yang merupakan bahan baku industri makanan, minuman dan farmasi – luber ke pasar umum, produsen gula rafinasi seolah cuci tangan. Mereka selalu menyangkal memiliki hubungan dengan penjual gula yang sesungguhnya tidak baik dikonsumsi secara langsung itu. Padahal pelaku adalah distributor yang memperoleh suplai gula dari para importir produsen gula.

Kasus terakhir yang berhasil dibongkar kepolisian pun bermodus serupa. Satuan Tugas (Satgas) Pangan Kepolisian Negara RI (Polri) baru-baru ini mengungkap praktik perembesan gula kristal rafinasi (GKR) ke konsumen nonindustri di beberapa wilayah di Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kasus ini diduga melibatkan salah satu dari 11 produsen gula rafinasi, PT Berkah Manis Makmur (BMM).

Kepala Satuan Tugas (Satgas) Pangan Komisaris Besar Nico Afinta dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (5/8), mengatakan, PT BMM selaku produsen gula kristal rafinasi diduga sengaja menjual 390 ton gula rafinasi ke perusahaan fiktif dengan inisial PT MWP, selama Juli 2019. Dari hasil penyelidikan, gula tersebut telah dipalsukan menjadi gula kristal putih (GKP) untuk akhirnya didistribusikan ke sejumlah pasar tradisional di Jateng dan DIY.

Modusnya, kata Nico, pelaku mengubah gula rafinasi menjadi gula kristal putih dengan cara menggorengnya agar berwarna kecoklatan. Gula itu kemudian dimasukkan ke dalam karung berlabel PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X, produsen resmi gula kristal putih. Tujuan pelaku adalah untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga karena harga gula rafinasi lebih murah yakni Rp 9.0000 per kilogram (kg), sedangkan gula kristal putih Rp 12.500 per kg.

Sebagai catatan, ini bukan kali pertama perusahaan yang pabriknya berada di Desa Cikande, Serang, Provinsi Banten, terlibat kasus perembesan gula rafinasi. Pada 2016 silam, kepolisian RI pernah mengungkap kasus rembesan gula rafinasi skala besar yang juga melibatkan PT Berkah Manis Makmur (BMM) melalui PT Lyus Jaya Sentosa dan PT Duta Sugar Internasional (PT DSI).

 

Polisi bongkar sindikat penjualan gula rafinasi (foto: detik)

Modusnya pada waktu itu, PT Lyus membeli gula rafinasi dari PT BMM. Seharusnya sebelum dijual, gula rafinasi tersebut harus diolah terlebih dahulu menjadi gula halus oleh PT Lyus. Dalam prakteknya, tidak ada pengolahan tetapi mereka langsung menjualnya ke pasar dengan memasukkan gula rafinasi tersebut ke dalam karung berlogo PT Lyus. Sedangkan yang dilakukan PT Duta Sugar International, mereka langsung menjualnya ke pasar.

Seorang pedagang kelontong rumahan yang juga menjual gula untuk konsumsi rumah tangga mengaku kerap mendapat gula dalam kemasan karung dari agen besar. “Ada yang drop, kirim. Di situ ditulis gula rafinasi,” katanya kepada Law-justice.co. Menurutnya gula itu disalurkan melalui distributor resmi. “Dia kirim tepung juga. Kayaknya modusnya ganti kemasan. Dikemas ulang. Bocor ke distributor formal.”

Siapa pelakunya, apakah para produsen gula rafinasi? Tudingan itu pernah dibantah pihak Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Mereka menolak anggapan yang menyebut gula yang meluber atau merembes ke pasar tradisional berasal dari mereka. Sepengetahuan AGRI, adanya kebocoran itu justru dari orang industri makanan dan minuman. Ketua Umum AGRI, Benny Wachjudi memberi contoh, pernah ada kejadian truk salah satu perusahaan AGRI dibawa kabur oleh supir-supirnya. "Satu truk itu isinya 25 ton," katanya.

Bantahan serupa juga pernah dilontarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang mengatakan tidak ada produsen gula rafinasi yang menjual produknya sebagai gula pasir putih. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Oke Nurwan, seperti dikatakannya kepada Tirto, yang melakukannya justru produsen makanan dan minuman yang menerima suplai gula jenis itu.

“Bukan industri rafinasi. Tidak ada yang kami temukan seperti itu (menjual gula rafinasi ke masyarakat),” ucap Oke awal tahun ini. Dia mendukung temuan tentang adanya pelanggaran yang dilakukan industri makanan dan minuman. Menurutnya laporan itu diperoleh dari Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen, Kemendag.

 

Ada importir bermain dalam kasus rembesan gula rafinasi (ilustrasi: Hello)

Hasil investigasi yang pernah dilakukan Indonesia Development Monitoring (IDM) pada 2016 silam, bahkan menunjukkan adanya peran para mafia importir gula kristal putih. Mereka melakukan operasi senyap, semacam black campaign terhadap industri gula rafinasi di Indonesia. Mereka adalah para pedagang besar dan menguasai jalur distribusi.

Menurut Direktur Eksekutif IDM Bin Firman Tresnadi para mafia itu akan mengadu domba petani tebu yang berkubu dengan pabrik gula putih kristal melawan industri gula rafinasi. Modusnya, mereka menggunakan perusahaan makanan dan minuman fiktif untuk membeli gula dari industri rafinasi. Gula tersebut kemudian dijual kembali atau dirembeskan ke pasar-pasar dengan harga yang lebih murah dibandingkan gula pasir tebu.

“Dengan begitu, Industri Gula Rafinasi Nasional akan dituduh menjual gula rafinasi langsung ke pasar, dan dijadikan sebagai musuh bersama petani tebu,” ujar Bin Firman dalam keterangan persnya, di Jakarta, 11/04/2016 silam. “Mereka ribut terus, barang masuk, akhirnya tidak terpantau,” kata seorang pedagang eceran.

Sekadar informasi, saat ini ada 11 produsen gula rafinasi yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (Agri). Organisasi yang berdiri pada 2004 awalnya beranggotakan tiga perusahaan, yakni, PT Angel Products, PT Jawamanis Rafinasi dan PT Sentra Usahatama Jaya. Sejak awal mereka memang tidak disiapkan untuk menyerap tebu petani, Mereka mengimpor bahan mentah lalu mengolahnya menjadi gula rafinasi. Tujuan utamanya adalah menyuplai kebutuhan gula rafinasi untuk industri. Pemain industri gula rafinasi ini kerap dijuluki sebagai “naga”.

Seiring waktu, keanggotaan asosiasi ini pun bertambah. Pada 2019, jumlahnya sudah mencapai 11, termasuk PT Permata Dunia Sukses Utama (PDSU), PT Dharmapala Usaha Jaya, PT Sugar Labinta, PT Duta Sugar International, PT Makasar Tene, PT Berkah Manis Makmur, PT Andalan Furnindo, dan PT Medan Sugar Industry. Pabrik mereka kebanyakan berlokasi dekat pelabuhan antara lain di Cilacap, Cilegon, dan Serang. Tahun ini total kuota impor gula mentah yang ditetapkan pemerintah bagi 11 perusahaan tersebut mencapai 2,8 juta ton. Realisasinya dibagi menjadi dua semester.

Importir Gula Rafinasi Saling Kenal

Kesebelas importir produsen gula rafinasi ini berkerabat dan saling kenal. Sebut saja, PT Jawamanis Rafinasi dan PT Duta Sugar Internasional yang merupakan anak usaha Wilmar Group. Ada juga PT PDSU dan PT Makassar Tene, keduanya berada di bawah payung FKS Grup. Sebagai catatan, Makassar Tene merupakan produsen gula rafinasi pertama di kawasan timur Indonesia. 

Berdasarkan dokumen yang didapat dari hasil penelusuran Law-justice.co, PDSU masih berstatus sebagai PMA (Penanaman Modal Asing). Perusahaan ini secara tidak langsung dikendalikan oleh keluarga Edy Kusuma, pendiri FKS Group. Saham PT PDSU antara lain dimiliki oleh PT Tene Capital dimana di perusahaan ini, Chandy Kusuma yang juga putra Edy Kusuma, dan FKS Food and Agri Pte., Ltd., perusahaan berbasis di Singapura, tercatat sebagai pemegang saham.

Chandy Kusuma sudah sejak awal digadang untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di perusahaan keluarga FKS Group yang bergerak di industri pangan, properti, dan energi. Di sektor pangan, FKS merambah hampir ke seluruh rantai suplai mulai dari pengadaan, manufaktur dan logistik hingga perdagangan.

Chandy, pria kelahiran Jakarta pada 9 April 1986 mulai terlibat di FKS sejak 2010. Karir pertamanya pada waktu itu memimpin Enerfo, unit usaha yang bergerak di sektor perdagangan. Baru enam tahun kemudian dia didapuk menjadi orang nomor satu di FKS group.

Bisnis FKS Group beragam mulai dari makanan, pertanian, properti, hingga energi. Kelompok usaha ini juga memegang seluruh rantai suplai, khususnya yang terkait dengan komoditas pangan, mulai dari pengadaan (sumber), manufktur, logistik hingga perdagangan. Bisnis andalan kelompok usaha ini adalah makanan dan komoditas pertanian. Lewat bendera FKS Multi Agro, perusahaan ini tercatat sebagai importir sekaligus distributor besar kedelai di Indonesia. Selain itu mereka juga memproduksi tepung terigu bermerek dagang Bungasari.

Gula rafinasi luber, siapa pemainnya?

Gagasan membangun industri gula rafinasi di dalam negeri sudah muncul sejak 1990-an saat industri makanan dan minuman berkembang pesat. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (Agri), Riyanto, saat itu belum ada industri gula rafinasi di Indonesia, sehingga produsen mamin harus mengimpor langsung gula rafinasi yang harganya cukup mahal.

“Kemudian muncul gagasan membangun industri gula rafinasi di dalam negeri, dengan tetap mengimpor bahan baku yaitu gula mentah atau raw sugar,” tutur Riyanto, seperti dilansir dari Detik beberapa waktu lalu.

 

Gula rafinasi beredar di Pasar Induk Kramat Jati (foto: ist)

Kegiatan utama para produsen gula rafinasi ini adalah mengimpor gula mentah atau raw sugar untuk diolah menjadi gula rafinasi yang hanya digunakan sebagai bahan baku untuk industri makanan, minuman, dan farmasi. Dalam prosesnya, kesebelas perusahaan tersebut seharusnya hanya mengirim gula rafinasi langsung ke industri mamin sesuai dengan kontrak. Jadi, tidak ada perantara atau distributor. Kemendag pun telah melarang adanya distributor. Namun faktanya, di banyak kasus rembesan gula rafinasi ke pasar umum, selalu terlacak jejaknya kembali ke para produsen gula rafinasi.

Sebut saja temuan Kemendag pada 2013 silam. Ada lima merek dagang gula rafinasi yang ditemukan beredar di pasar tradisional, yakni merek DSI milik PT Duta Segar International, BMM milik PT Berkah Manis Makmur, Inti Manis milik PT Permata Dunia Sukses Utama, SUJ milik PT Sentra Usahatama Jaya serta Bola Manis milik PT Makassar Tene. Kelima merek dagang tersebut diproduksi importir produsen gula rafinasi anggota Agri. Saat itu mereka membantah temuan Kemendag tersebut. Mereka justru menuding para distributor-lah yang telah menyelewengkan distribusi gula rafinasi. Peredaran di tingkat distributor bukan tanggung jawab perusahaan.

Rembesan gula rafinasi toh terus terjadi. Pada periode Januari-Juli 2014 silam, tercatat ada 199,5 ribu ton gula rafinasi merembes ke pasar konsumen. Jumlah itu setara dengan 11,16% dari total gula kristal rafinasi (GKR) yang disalurkan sebesar 1,7 juta ton. Tidak main-main, data tersebut dihimpun Kemendag berdasarkan hasil verifikasi distribusi gula rafinasi yang disalurkan 11 produsen, 52 distributor, 88 subdistributor, 108 industri makanan dan minuman, serta 3.112 pengecer gula di 366 pasar yang tersebar di 34 provinsi selama periode Januari-September 2014.

Atas temuan tersebut Menteri Perdagangan pada waktu itu Rachmat Gobel mendorong produsen untuk menyalurkan langsung gula rafinasi kepada industri pengguna minimal 85% dan membatasi penyaluran gula rafinasi dari produsen melalui distributor maksimal hanya 15% dari total penyaluran produsen. Data tersebut sekaligus membantah klaim para produsen gula rafinasi yang mengatakan mereka sama sekali tidak mengetahui atau terlibat dalam kasus rembesan gula rafinasi ke pasar-pasar.

Terbukti, selalu ada celah yang memungkinkan gula rafinasi merembes ke pasar. Masalahnya kemudian, pengusutan sejumlah kasus mandeg di tingkat penyidikan. Seperti halnya kasus perembesan gula rafinasi ke konsumen yang melibatkan seorang pejabat di PT Permata Dunia Sukses Usaha (PDSU).

Pada September 2018 lalu, pihak kepolisian RI bekerjasama dengan Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kemendag, berhasil mengungkap peredaran gula rafinasi secara ilegal di pasar-pasar wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Polisi berhasil menyita 340 ton gula rafinasi yang berasal dari PT PDSU yang belum terkirim.

“Kami juga menyita kurang lebih 100 ton gula rafinasi dari warung-warung dan kios di Jawa Tengah,” kata Wakil Direktur (Wadir) Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri Kombespol Daniel Tahi Monang Silitonga saat konferensi pers tindak pidana penyalahgunaan distribusi gula rafinasi, di Kantor PT PDSU di Ciwandan, Kota Cilegon, Kamis (20/9/2018). Di lokasi pabrik ini, Polri bersama Kemendag, menyita 360 ton gula rafinasi yang belum sempat beredar dan pada saat itu polisi menyegel lokasi tkp. 

Jadi modusnya, menurut keterangan kepolisian, ada seseorang berinisial KPW memiliki akses ke PT PDSU untuk mendapatkan gula rafinasi. Karena yang bersangkutan tidak mempunyai perusahaan, maka dia kemudian meminjam sebuah perusahaan milik S, pengusaha UKM (Usaha Kecil Menengah) di Purworejo, Jawa Tengah. Awalnya, KPW menjalin kontrak 6.000 ton per tahun untuk disalurkan ke sejumlah industri di Jawa Tengah. “KPW ini pakai bendera S untuk pesan ke PT PDSU. Dia punya link tapi tidak punya perusahaan,” kata

Ternyata, tanpa sepengetahuan S, KPW juga mendistribusikan gula rafinasi ke warung-warung dan kios di sejumlah pasar di Jawa Tengah mulai 2016. Merasa usaha ilegal ini memberi keuntungan menggiurkan, KPW bersama TW, salah seorang pejabat PT PDSU kemudian membuat kesepakatan untuk menambah kuota menjadi 60.000 ton per tahun.

 

60 ribu gula rafinasi rembes di pasar (foto: liputan6)

Kejahatan ini lalu terungkap saat S, sang pemilik perusahaan, terkaget ketika menerima tagihan pajak yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah untuk pemesanan 60.000 ton gula rafinasi. S pun malapor kejanggalan tersebut ke pihak kepolisian. Laporan ini segera ditindaklanjuti polisi, apalagi pada saat yang bersamaan ada laporan dari asosiasi pedagang gula di Jawa Tengah yang mencurigai beredarnya gula rafinasi di pasaran.

Menurut sumber Law-justice.co hingga saat ini masih ada kasus gula rafinasi  lain yang berkasnya belum juga dilimpahkan ke kejaksaan. Seorang sumber yang mengetahui proses hukum kasus tersebut meyakini masalah ini akan menguap atau setidaknya berhenti di tingkat penyidikan polisi. Alasannya, polisi sungkan atau tidak ‘berani’ memproses lebih lanjut kasus tersebut karena mafia gula ini dikenal dekat dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito. Sinyalemen ini bisa jadi benar karena sampai saat ini walau sudah dipanggil KPK sampai tiga kali, Enggar terus mangkir. Ini salah satu bukti saktinya Menteri Enggar.

Terkait kasus rembesan gula rafinasi ilegal, menurut Rianna, hingga kini PT PDSU masih berstatus sebagai saksi. Soal perkembangan kasusnya, perusahaan mengaku tidak mengikuti lagi. “Memang kebetulan saja yang bersangkutan (tersangka TW. Red.) menjabat direksi, tapi kan dalam konteks pidana, beliau kan bertanggungjawabnya pribadi ya,” katanya kepada Law-justice.co.

Rianna juga mengatakan perusahaan merasa dirugikan atas tindakan salah satu petingginya. “Ya walaupun kata tersangka tindakan dia adalah untuk menambah kuota impor, dan diminta oleh perusahaan, ya namanya tersangka pasti begitu ya. Pasti menyudutkan, namanya juga sudah salah. Ya intinya kami perusahaan hanya sebagai saksi dan tidak mengikuti kasus yang berjalan.

Kelompok Samurai

Sebagai catatan, selain kesebelas importir produsen gula rafinasi yang dikenal sebagai 11 naga ini, ada lagi kelompok “samurai” yang merujuk pada para pemilik pabrik gula baru. Para Samurai dalam bisnis gula adalah pemilik pabrik gula yang sekaligus distributor atau para pedagang besar. Mereka merajai sebagian besar jaringan distribusi dan ritel.

Meski awalnya, kehadiran pabrik gula baru disambut baik oleh para petani tebu, toh harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Para pemilik pabrik gula ini terindikasi menjadikan pabrik sebagai kedok agar bisa ikutan mendapat izin impor raw sugar.

Pada akhirnya para naga dan samurai inilah yang menguasai pasar gula. Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesi (APTRI), Arum Sabil, pernah menyebut naga dan samurai inilah para penguasa pasar yang bisa memainkan pasokan dan harga. Semua naga dan samurai ini tentu resepnya harus memiliki hubungan relasi yang baik dan saling menguntungkan dengan Menteri Enggar agar kuota bisa terus bertambah dan juga alur distribusi bisa dimainkan.

Wartawan Law-Justice.co sudah beberapa kali menyambangi kantor, kediaman dan sampai rumah ibadah Menteri Enggar, tapi dia tidak bersedia diwawancarai. Stafnya mengatakan bapak masih sibuk dengan berbagai acara dan rapat. Yang pasti realisasi prinsip Nawacita Jokowi dan penegakan hukum yang setara dipertaruhkan untuk menghabisi para mafia dan backing bisnis gula rafinasi ini. Sampai kapan mafia gula rafinasi ini dibiarkan merajalela Pak Presiden dan Pak Kapolri..?

Kontribusi laporan: Bona Ricki Jeferson Siahaan.

(Tim Liputan Investigasi\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar