E-KTP Berceceran, Pemilu Curang Siap Menghadang

Selasa, 18/12/2018 05:59 WIB
Ilustrasi E-KTP

Ilustrasi E-KTP

Jakarta, law-justice.co - Sebuah karung berisi ribuan KTP elektronik (e-KTP) ditemukan berceceran di kawasan sawah yang berada di Jalan Karya Bakti III, Kelurahan Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Ribuan e-KTP tersebut milik warga Kelurahan Pondok Kelapa, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Sabtu (8/12/2018) yang lalu.

Temuan E-KTP di Kelurahan Pondok Kopi ini menambah daftar panjang  temuan dokumen serupa di beberapa tempat.  Di tahun 2018 ini saja peristiwa tersebut sudah terjadi beberapa kali.  KTP tercecer  telah ditemukan di Bogor beberapa waktu yang lalu.Peristiwa tercecernya e-KTP di Bogor  terjadi di simpang Salabenda, Desa Parakansalak, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor pada Mei 2018. Ada sekitar 6.000 e-KTP yang jatuh dari truk pada Sabtu (26/5/2018).

Selanjutnya pada tanggal 11 September 2018, sebanyak 2.800 e-KTP tercecer di semak belukar  di Cikande, Kabupaten Serang. Kepala Disdukcapil Kabupaten Serang, Asep Saepudin Mustafa  membuat pengakuan bahwa KTP tercecer karena ada kelalaian dari oknum staf.

Hanya berselang lima hari sejak penemuan KTP di Duren Sawit Jakarta Timur,kembali ditemukan sekitar 1.000 e-KTP yang tercecer di Kota Pariaman, Sumatera Barat. "Permasalahan ini merupakan keteledoran petugas kami, karena memasukkan e-KTP yang sudah tidak terpakai ke dalam karung," kata Sekretaris Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Padang Pariaman, Martoni, di Polsek Pariaman, Rabu (12/12/2018), seperti dilansir Antara.

Ditemukannya dokumen KTP yang  tercecer dimana-mana itu tentu saja menimbulkan serangkaian tanda tanya: apakah tercecernya KTP itu semata-mata hanya kecerobohan pemerintah (Dukcapil) belaka ? Adakah potensi kecurangan pemilu dengan terjadinya peristiwa itu ? Lalu apa hubungannya antara temuan penjualan Blanko E-KTP , KTP tercecer serta data tambahan 31 Juta? Bagaimana partisipasi  masyarakat harus menyikapi itu semua ?

Pemerintah Ceroboh

Bagaimanapun pemerintah harus serius mengusut tuntas persoalan tercecernya e-KTP. Sebab, kasus ini menjadi sorotan banyak pihak jelang Pemilu 2019. Tercecernya e-KTP ini paling tidak membuktikan bahwa data kependudukan Kemendagri carut-marut. Hal itu juga sebagai  bukti kecerobohan pemerintah dalam menangani e-KTP.

Jika e-KTP banyak yang tercecer, berarti data kependudukannya pun carut-marut. Terlepas dari apakah e-KTP itu sudah kedaluwarsa atau tidak, yang jelas keterceceran itu sendiri merupakan bagian dari kecerobohan (pemerintah). Sehingga perlu ada cara yang baik untuk mengamankannya agar tidak tercecer seperti yang terjadi belakangan ini.

Pemerintah, dalam hal ini Kemendagri perlu  serius mengusut tuntas persoalan ini. Apalagi, penemuan e-KTP yang tercecer karena sudah terjadi berulangkali. Pengusutan dan penyelesaian masalah e-KTP ini diyakini akan menguntungkan semua pihak.

Sebagai contoh dalam melaksanakan program pembangunan, pemerintah tentu membutuhkan data riel dan konkrit seluruh masyarakat. Dari situlah target dan sasaran pembangunan bisa dirumuskan secara baik, adil, dan bertanggung jawab. Sehingga data akurat mengenai jumlah penduduk yang dibuktikan dengan E-KTP menjadi indikatornya.

Selanjutnya atas terjadinya peristiwa tercecernya E-KTP,DPR perlu sigap dan segera bergerak menyikapi temuan-temuan permasalahan e-KTP tersebut. DPR harus memanggil Mendagri dan meminta pertanggungjawaban, karena hal ini berpotensi memicu kegaduhan di tahun politik. Jika Mendagri tidak bisa menyelesaikan masalah ini dalam waktu cepat lebih baik yang bersangkutan mengundurkan diri.

Potensi Kecurangan Pemilu

Memang cukup aneh dan mengherankan,bagaimana bisa e-KTP yang merupakan milik pribadi perseorangan bisa terbuang begitu saja. Makanya fenomena tercecernya e-KTP jika  tak disikapi serius oleh pemerintah, maka ada kemungkinan penyalahgunaan KTP orang lain saat pencoblosan nanti. Karena berdasarkan Pasal 348 UU Pemilu, KTP adalah syarat untuk melakukan pencoblosan. Jika tidak diantisipasi serius, terbuka kemungkinan ada penyalahgunaan KTP orang lain untuk melakukan pencoblosan.

Potensi kecurangan yang lain juga terjadi berkaitan dengan adanya penjualan blanko Kartu Tanda Penduduk eloktronik (e-KTP) aspal yang  dilakukan secara terbuka di Pasar Pramuka Pojok, Jakarta Pusat dan toko platform e-dagang terkenal yaitu Tokopedia dan beberapa tempat lainnya. 

Temuan ini menunjukan adanya praktek ilegal penjualan blangko karena blangko tersebut dilarang untuk dipedagangkan. Apalagi e-KTP ini merupakan dokumen negara yang bersifat rahasia. Penjualan blanko KTP ini berisiko besar karena dapat digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk memalsukan data diri untuk keperluan yang bisa merugikan Negara dan orang lain.

Praktik jual beli blangko e-KTP rentan digunakan para penyusup yang bertujuan merusak negara. Praktik jual beli blangko e-KTP berpotensi memunculkan pemilih siluman dalam Pemilu 2019. Apalagi bersamaan dengan adanya 31 juta data baru yang akan dimasukkan dalam data pemilih. Bukan tidak mungkin dengan tambahan data penduduk sebanyak 31 juta bisa menjadi jalan masuk untuk kecurangan pada pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang.

Sejauh ini persoalan penambahan dari Kemendagri belum ada progress kemajuan dari KPU untuk menverifikasi data tersebut, padahal KPU punya kewenangan penuh untuk memeriksa atau verifikasi setiap daftar pemilih agar bisa masuk dalam DPT. Jangan-jangan ini menjadi modus awal kecurangan apalagi dokumen tersebut bersifat rahasia.

Untuk itu pihak KPU harus secepatnya menverifikasi data yang diberikan untuk mengetahui data-data yang diberikan oleh Kemendagri. Karena melihat ini kemungkinan besar bisa saja terjadi kecurangan.Jjika ini memang akan terjadi,bisa hilang marwah keinginan untuk menjalankan proses demokrasi yang bersih, jujur dan bermartabat yang diinginkan semua masyarakat Indonesia.

Partisipasi Masyarakat

Dengan melihat adanya fenomena kejanggalan-kejanggalan sebagaimana dikemukakan diatas maka diperlukan partisipasi aktif masyarakat dalam mewujudkan pemilu serentak 2019  yang berkualitas.

Karena salah satu satu di antara elemen dan indikator yang paling mendasar dari keberhasilan dan kualitas pelaksanaan penyelenggaraan pemilu yang demokratis adalah adanya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses berjalannya tahapan-tahapan pemilu, khususnya dalam hal pengawasan atau pemantauan proses pemilu.

Peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam mengawasi atau memantau jalannya proses kontestasi demokrasi merupakan hal yang sangat penting. Partisipasi bertujuan mendorong aktif kegiatan demokrasi untuk semua proses kepemiluan. Kepentingan fokus partisipasi menjadi indikator peningkatan kualitas demokrasi dan kehidupan politik bangsa.

Keterlibatan atau partisipasi rakyat adalah hal yang sangat mendasar dalam demokrasi, karena demokrasi tidak hanya berkaitan dengan tujuan sebuah ketetapan yang dihasilkan oleh suatu pemerintahan, tetapi juga berkaitan dengan seluruh proses dalam membuat ketetapan itu sendiri.

Demokrasi memberikan peluang yang luas kepada rakyat untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan publik serta persamaan bagi seluruh warga negara dewasa untuk ikut menentukan agenda dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan agenda yang telah diputuskan secara bersama.

Dalam konteks konstestasi demokrasi, partisipasi politik masyarakat dalam pemantauan atau pengawasan pemilu dapat terwujud dalam dua bentuk. Yang pertama, partisipasi formal yang dijalankan melalui organisasi-organisasi pemantau pilkada atau pemilu yang yang concern terhadap isu-isu pemilu atau memantau jalannya pemilu.

Kedua, partisipasi politik masyarakat yang ekstra formal. Mereka ini komunitas-komunitas, organisasi-organisasi, sel-sel, dan sebutan lainnya yang gandrung terhadap politik, termasuk dalam mengamati jalannya pelaksanaan pilkada maupun pemilihan legislatif dan pemilu presiden, dengan memantau dan mengawasi pelanggaran-pelanggaran dan kecurangan-kecurangan. Namun, mereka tidak terdaftar atau terakreditasi di KPU wilayahnya.

Partisipasi ekstra formal ini pada umumnya berbentuk pernyataan publik dan pelaporan tentang penyimpangan atau pelanggaran dalam proses-proses elektoral, yang meliputi pula penyampaian kritik serta masukan kepada institusi penyelenggara pemilu. Dua bentuk partisipasi masyarakat dalam konteks pemantauan proses pemilu tersebut, baik partisipasi formal maupun ekstra formal, merupakan wujud dari kekuatan masyarakat sipil.

Kritik membangun berdasar pada teori, fakta, dan data lapangan menginspirasi regulasi dan kadang membantu kerja-kerja demokrasi dan kepemiluan. Kepentingan pencegahan dan pengawalan demokrasi membutuhkan kerja-kerja sosial para pemantau.

Proses kritis yang obyektif dan penghimpunan data lapangan, yang terkadang tidak terjangkau oleh pengawas lapangan dan Bawaslu, adalah nilai lebih dari para aktivis pemantauan pemilu.

Harus dipahami bahwa partisipasi masyarakat pada momen pemilu tidak hanya dilihat dari tingginya angka pemilih yang hadir menggunakan hak suara di tempat pemungutan suara. Namun, diukur dari tingkat kesadaran masyarakat serta keterlibatan aktif dalam seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu.

Oleh karena itu, partisipasi politik masyarakat, baik dalam bentuk formal maupun ekstra formal dalam ikut serta mengawasi atau memantau jalannya penyelenggaraan pemilu, jangan dipandang sebelah mata.

Karena, eksistensinya dapat mencegah tindakan-tindakan kontrademokrasi yang dapat mengoyak dan mendegradasi loyalitas rakyat terhadap sistem demokrasi di Indonesia.  Apalagi ditengah isu hangat yang sekarang menyangkut soal temuan KTP tercecer, jual beli blanko KTP dan penambahan 31 DPT baru.

Bagaimanapun penyelenggaraan pemilu serentak 2019, yang menjadi ajang demokrasi, layak dijadikan sebagai pesta rakyat, yang semestinya harus disambut dengan kebahagiaan. Kemeriahan proses seleksi kepemimpinan melalui perolehan suara membutuhkan peran aktif seluruh warga negara baik rakyat maupun pemerintah yang merupakan penerima amanah rakyat untuk mengelola negara.

Bila melihat sejarah kepemiluan, lembaga pemantau masih diyakini memiliki sumber daya perjuangan yang tulus dan ikhlas. Mereka berjuang menemani pertumbuhkan kualitas politik dan demokrasi. Pemantau menjadi pengingat yang selalu perhatian kepada proses penyelenggara pemilu, mulai dari awal sampai akhirnya.

(Ali Mustofa\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar