Perburuan Debitur BLBI Masih Berlangsung

Kamis, 09/11/2017 11:17 WIB
Foto: mediaindonesia

Foto: mediaindonesia

law-justice.co - Pemilik bank-bank kategori sakit sekaligus pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat jadi 'pasien' Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bisa kembali berdebar-debar. 

Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata belum mengendurkan penanganan kasus korupsi yang terjadi di era pasca reformasi itu. 

Pengembangan kasus korupsi itu saat ini tengah mencapai proses pemeriksaan terhadap saksi-saksi terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL). Salah satunya  SKL yang diberikan pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada tahun 2004.

Dalam kasus ini, baru ada seorang tersangka yakni, mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung. Ia resmi menyandang status itu sejak 25 April 2017. 

"Penyidik masih melakukan pemeriksaan untuk tersangka SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung)," terang jubir KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, (9/11/2017). 

Dalam pemeriksaan yang sudah berlangsung, terdapat empat orang yang sudah dimintai keterangan sebagai saksi.  Mereka adalah  dua pengacara, Ivan Almaida Baely dan Firmansyah dan dua mantan direktur perusahaan sekuritas, yaitu Direktur Pelaksana PT Danareksa Rudy Suparman dan Direktur Utama PT Bahana Sekuritas Rinaldi Firmansyah.

Mengacu laporan hasil audit BPK yang dilansir pada 10 Oktober 2017 kemarin, KPK mendapati angka kerugian negara dalam kasus pemberian SKL itu mencapai Rp.4,458 triliun. 

Jumlah itu melejit dari laporan awal saat Syafruddin Temenggung resmi jadi tersangka. Angka kerugian negara itu disebutkan sebelumnya hanya Rp3,7 triliun. 

Pada hasil audit investigatif BPK, juga terhendus adanya tindakan penyimpangan saat pemberian SKL terhadap BDNI. Waktu itu  BDNI  dimiliki oleh Sjamsul Nursalim, yang tercatat sebagai konglomerat papan atas Indonesia. Ia juga diketahui sebagai donatur sejumlah parpol. Ini terjadi di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.

Kembali ke proses pemberian SKL pada BDNI, rupanya rekomendasi itu tetap diberikan pada BDNI meski bank tersebut belum menyelesaikan seluruh kewajiban atas secara keseluruhan alias masih ada tunggakan utang pada negara. 

BPK merinci kewajiban atau tunggakan itu yakni belum terjadinya penyerahan aset oleh BDNI sebagai obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Pasca penetapan Syafruddin A Temenggung sebagai tersangka. Komisi anti suap mendalami sekaligus memburu pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan pihak lain yang mendapat kucuran SKL BLBI dan yang masih terindikasi  masih memiliki kewajiban penyerahan aset kepada negara.

Sebagai pemilik BDNI, Sjamsul Nursalim, pernah mendapatkan fasilitas SKL BLBI senilai Rp.27,4 triliun. Surat Lunas tersebut terbit pada April 2004 dengan aset yang diserahkan diantaranya PT. Dipasena (laku Rp.2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp. 1,83 triliun). 

Menyandang status sebagai saksi atas kasus itu, setidaknya sudah tiga kali surat pemanggilan dari KPK dilayangkan. Semestinya, pada 6 November kemarin, Sjamsul hadir untuk diperiksa. Namun, ia sudah tiga kali mangkir dari panggilan itu. 

Upaya pemanggilan terhadap Sjamsul Nursalim pernah dilakukan dengan kerja bareng KPK dan otoritas Singapura. Namun, hingga kini usaha itu tidak jelas ujungnya. 

SKL berisi pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya. Hal itu berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, atau yang lebih dikenal dengan inpres tentang release and discharge.

Aturan main berupa inpres ihwal SKL itu dikeluarkan saat era Megawati Soekarnoputri berkuasa. Ketum PDIP itu mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Mengacu pada aturan tersebut, penerima dana BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski pemilik bank-bank sakit itu baru 30 persen melunasi dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Penanganan kasus ini sejatinya mendapat perhatian khusus oleh komisi anti suap saat era Abraham Samad. Saat itu, KPK sudah melakukan pemeriksaan terhadap tiga menteri kabinet Megawati pada tahun 2014. Mereka adalah mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Ramli; mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi;  Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti serta Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), I Gede Putu Ary Suta.

SKL BLBI dikeluarkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10.

BLBI merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat krisis moneter 1998. Kebijakan itu dibuat mengacu perjanjian Indonesia dan IMF untuk mengatasi krisis keuangan yang terjadi saat itu. Desember 1998, BI tercatat menyuntikkan dana BLBI sebesar Rp.147,7 triliun untuk 48 bank.

Titik terang adanya penyelidikan terhadap kasus korupsi penerbitan SKL atas BLBI itu berawal saat kedatangan Kwik Kian Gie ke KPK. Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) itu mengaku diperiksa terkait penerbitan SKL BLBI. 

Politisi PDIP itu membeberkan, dirinya dimintai keterangan atas terbitnya SKL untuk BDNI. "Kasusnya BDNI. BDNI itu antara 2001 sampai 2002 dan sampai 2004," jelasnya. 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar