Perempuan-perempuan yang Gigih Melawan Kekerasan Seksual

Rabu, 06/03/2019 20:53 WIB
Kennedy (kedua dari kiri) saat diskusi di Komnas Perempuan mengenai kekerasan seksual berbasis online (Ist)

Kennedy (kedua dari kiri) saat diskusi di Komnas Perempuan mengenai kekerasan seksual berbasis online (Ist)

law-justice.co - Kennedy Jennifer Dhillon tidak akan bisa melupakan tanggal 24 April 2018. Kepada law-justice.co, ia bercerita, malam itu menjadi awal datangnya teror, melalui nomor telepon genggam miliknya. Seorang penelepon tiba-tiba menanyakan layanan jasa “pijit plus-plus”.  

“Salah sambung,” jawab Kennedy ketus.

Semakin malam, lebih dari 100 orang menggangunya tanpa henti. Ada yang menghubungi langsung atau sekedar mengirim pesan via WhatsApp. Sebagian besar dari mereka to the point menuduh Kennedy sebagai seorang pekerja seks komersil.

Sejak itu, Kennedy sadar bahwa kontak pribadinya telah dicantumkan pada akun-akun palsu oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tapi ia masih mencoba untuk bersabar. Berharap teror itu mereda seiring waktu.

Namun, semakin dibiarkan, telepon genggamnya tidak pernah berhenti dihubungi orang tak dikenal. Saking banyaknya nomor telepon yang masuk, Kennedy tidak bisa lagi membedakan orang yang berniat baik dengan orang yang berniat mesum.

“Ada satu penelepon yang marah-marah. Katanya dia sudah transfer Rp 3 juta dan minta dilayani,” kata Kennedy.

Tidak tahan dengan teror tersebut, perempuan 29 tahun itu akhirnya memberikan klarifikasi di akun media sosialnya. Ia meminta kepada siapa pun agar jangan percaya dengan kabar miring yang beredar bahwa ia seorang pekerja seks.

Kennedy juga menjelaskan bahwa nomor pribadinya telah digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membuat akun palsu di beberapa media sosial. “Jumlahnya ribuan,” kata dia.

Klarifikasi itu direspon banyak orang. Tanpa disangka-sangka, beberapa kenalannya mengaku pernah mengalami hal serupa. Salah seorang yang bernama Susy Rizky, bahkan bercerita bahwa ia telah melapor ke polisi, namun kasusnya tidak kunjung menemui titik terang.

Susy mengalami serangan pertama kali pada 14 September 2017. Sore itu, seorang penelepon dengan mode private number menghubunginya sebanyak lima kali secara beruntun. Belum sempat ada percakapan, si penelepon sudah memutuskan sambungannya.

Sama seperti Kennedy, setelah itu Susy juga ditelepon oleh ratusan nomor tidak dikenal. Sepanjang malam hingga pagi telepon genggamnya tidak berhenti berbunyi.

“Pada nanyain tarif, caranya BO (booking order), dan ngomong yang jorok-jorok,” ujar Susy kepada law-justice.co, Jumat (22/2/2019).

Keesokan harinya, pukul 08.00 WIB, Susy melapor ke Polres Bekasi Selatan. Namun ia disarankan untuk membuat laporan ke Reskrimsus Polda Metro Jaya, karena alat deteksi kejahatan cyber hanya ada di sana. Tanpa menunggu lagi, Susy langsung menuju pusat kota Jakarta.  

Susy bercerita, laporannya sempat diragukan. Rupanya polisi belum bisa menangkap kerugian apa yang dialaminya. Polisi tidak bisa menerima alasan terganggu dan terhina dengan para penelepon yang terus-menerus menerornya. Laporan tersebut nyaris ditolak.

Ndilalahnya, pas mereka menolak, telepon saya berbunyi lagi. Private number. Saya angkat di depan polisi biar mereka dengar sendiri. Lima kali ditelepon, baru polisi percaya,” ucapnya.

Susy sempat disarankan untuk ganti nomor telepon. Namun ia menolak dan berkeyakinan bahwa itu bukan solusi. Tidak ada jaminan bahwa teror itu akan berhenti begitu ia mengganti nomor telepon tersebut. Akhirnya laporan Susy diterima.

Tidak lama berseleng, kasusnya dilimpahkan ke Polres Bekasi Selatan. Alasannya, agar lebih dekat dengan wilayah domisili Susy.

“Saya sih curiga mereka tidak mau serius. Ngapain dilempar ke Polres yang jelas-jelas tidak punya alatnya,” kata Susy.

Benar saja. Berbulan-bulan tidak ada titik terang tentang pelaku yang membuat akun-akun palsu atas nama Susy Rizky. Selama itu pula, Susy berhadapan dengan para peneror, hingga Kennedy menjadi korban berikutnya.

Siapa sangka, keberanian Kennedy untuk bercerita tentang kasusnya di media sosial, telah membuka wawasan bahwa ia tidak sendirian. Kenyataan itu kian memantapkan niat dirinya untuk menangkap pelaku.

Dari kisah Susy dan kawan-kawannya, Kennedy juga bisa menentukan langkah apa yang harus ia lakukan sebelum membuat laporan ke Polda Metro.

Kennedy bercerita, sebelum membuat laporan, ia terlebih dahulu menghubungi perusahaan aplikasi yang memuat akun-akun palsu tentang dirinya. Dari lima aplikasi, hanya satu yang memiliki kantor cabang di Indonesia. Selebihnya, Kennedy hanya berkirim email, namun tidak mendapat jawaban sampai saat ini.

Beruntung, satu aplikasi yang ada di Indonesia merespon pengaduan Kennedy dan bersedia membantu untuk melacak nomor telepon di balik akun-akun tersebut. Ada lima nomor yang diberikan kepada Kennedy. Mereka juga bersedia menghapus beberapa akun palsu tersebut.

“Tapi percuma, akun-akun palsu lainnya terus bermunculan,” ucap Kennedy.

Selain itu, ia juga mendatangi Kementerian Komunikasi dan Informatika. Niatnya, minta dihubungkan dengan perusahaan aplikasi yang tidak memiliki kantor cabang di Indonesia. Namun tidak ada yang didapatnya di kementerian teknis itu, selain hanya saran agar segera melapor polisi.

Berbekal lima nomor telepon, Kennedy akhirnya membuat laporan ke Polda Metro Jaya pada tanggal 28 April 2018. Serupa dengan yang dialami oleh Susy, Kennedy mengaku polisi sempat bersikap acuh. Laporannya nyaris tidak diterima.

“Aku sempat emosi, baru polisi menerima laporanku,” kenang Kennedy.

Lima nomor telepon yang diberikan Kennedy ternyata tidak cukup memperlancar porses hukumnya. Alasannya, beberapa dari nomor-nomor itu sudah tidak aktif dan terdaftar di luar kota. Hal itu membuat Kennedy harus terus bekerja sendiri melacak posisi pelaku.

Namun lebih dari sebulan, Kennedy tidak kunjung dipanggil kembali untuk diperiksa. Saat didatangi, ternyata laporannya tengah dipertimbangkan untuk dilempar ke Polres. Mendengar rencana itu, Kennedy marah. Ia tidak ingin kasusnya bernasib sama dengan laporan Susy Rizky.

“Kalau laporanku dioper, aku bakal cabut dan bikin laporan baru ke Mabes,” kata Kennedy saat itu.

Melihat kegigihan Kennedy memperjuangkan kasusnya, polisi batal melempar berkas tersebut Polres. Sejak itu, ia pun sering dimintai keterangan. Namun berbulan-bulan pelaku belum juga tertangkap. Setiap hari Kennedy terus ditelepon dan dikirimi konten-konten pornografi. Sampai saat ini, sudah 4.200 nomor telepon yang ia blokir.

Kabar baik yang ditunggu-tunggu itu pun akhirnya datang pada 5 November 2018. Kepala Unit Subdit Cyber Crime Reskrimsus Polda Metro Jaya Kompol Khairuddin menghubungi Kennedy. Mengajak gelar perkara, karena pelakunya akan segera ditangkap di Kota Malang, Jawa Timur.

“Saya sempat tidak percaya, karena berbulan-bulan tidak ada kabar tentang kasus tersebut,” ungkap Kennedy.

Pelaku  tertangkap di kamar kos yang ia sewa di Malang. Seorang laki-laki yang belum berkeluarga, berusia 30 tahunan, dan berasal dari Nusa Tenggara Barat. Polisi menyita beberapa unit komputer jinjing dan telepon genggam yang digunakan pelaku untuk beraksi. Dari hasil pemeriksaan lanjutan, dia adalah pelaku yang sama untuk kasus yang menimba Susy Rizky.

“Terima kasih untuk polisi yang sudah berjuang mengkap pelaku. Kerja kerasnya sungguh saya hargai,” ucap Kennedy.  

Setelah pelaku tertangkap, teror mulai berkurang. Penutupan akun-akun palsu tidak lagi dibarengi dengan kemunculan akun baru. Walau kini masih ada satu dua orang yang menghubungi dengan niat cabul, Kennedy mengaku sudah mulai bisa bernafas lega.

Pelakunya kini mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Menunggu persidangan yang belum juga digelar walau sudah lebih dari 100 hari sejak ditangkap. Ia dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara.

Menolak Berdamai

Sebelum pelakunya tertangkap, baik Susy maupu Kennedy hanya bisa menerka-nerka tentang motif pelaku melakukan aksinya. Kini semuanya menjadi jelas. Saat bertemu langsung dengan Kennedy, pelaku mengakui bahwa alasan utama melakukan kejahatan itu karena tidak suka dengan haluan politik kedua korbannya.

Susy menerima teror setelah ia aktif mengumpulkan dukungan untuk meminta penangguhan penahanan terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Begitu juga dengan Kennedy, diteror sesaat setelah mengumumkan bahwa ia tengah menggarap film dokumenter tentang Ahok.

Pelaku berterus terang kepada Kennedy, mengakui bahwa ia tidak menyukai segala sesuatu yang berbau Ahok, petahana Joko Widodo, beserta kabinet pemerintahan saat ini. Untuk itu, ia mengaku menyesal. Meminta pelaporannya dicabut. Melalui seorang rekannya, pelaku menawarkan sejumlah “uang damai” untuk Kennedy.

Dengan tegas Kennedy menolak tawaran berdamai. Kennedy mengaku, ia bisa saja memaafkan pelaku, tapi tidak mungkin mencabut laporan. Bagi Kennedy, pelaku harus mendekam di penjara demi menebus kesalahannya agar jera.

Tidak mudah bagi Kennedy dan Susy melupakan begitu saja penderitaan mereka selama setahun belakangan. Susy menceritakan, sejak teror datang tanpa henti, emosinya sering tersulut. Orang-orang di sekitarnya sering terkena dampak langsung ketika ia sedang kesal pada penelepon yang berkata tidak senonoh. Hal serupa pun dialami oleh Kennedy.

“Saya enggak mau ketemu pelaku. Saya masih belum bisa memaafkan. Dari pagi ke pagi saya diteror orang. Saya jadi sering ngamuk-ngamuk sendiri. Sampai sekarang, kalau ada yang telepon malam-malam anak, saya masih trauma,” tegas Susy.

Sementara itu, Kennedy mengatakan, “Kalau cuma karena kasihan, tidak ada jaminan bahwa dia tidak akan mengulanginya lagi. Korbannya tidak hanya kami berdua. Dia harus menjalani proses hukum agar tidak ada lagi yang melakukan hal serupa.”

Jangan Takut Tampil ke Publik

Belajar dari kasus yang menimpa mereka, Kennedy dan Susy mendorong agar perempuan-perempuan yang mengalami hal serupa agar terus memperjuangkan pengungkapan kasusnya. Berdiam diri atau mengganti nomor telepon sama sekali bukan solusi. Itu hanya akan melanggengkan praktik-prakti kekerasan seksual berbasis online.

“Kebanyakan dari mereka pada enggak mau lapor karena pasti akan repot. Seharusnya jangan takut berbicara. Kalau dibiarkan, korban akan semakin banyak. Kalau kita cerita, setidaknya akan ketahuan bahwa kita tidak sendirian,” tutur Susy.

Pengacara Publik Bidang Fair Trial Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Shaleh Al Ghifari, menjelaskan, sebagaian besar korban kekerasan seksual memang belum siap mental untuk melapor ke polisi atau berbicara terbuka kepada publik. Karena itu, ia mengkritik bagaimana cara kepolisian menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

“Korban sering khawatir kalau mereka nanti malah diobjektifikasi. Misalnya, polisi sering mengajukan pertanyaan yang justru menyudutkan korban sehingga korban merasa bahwa keterangannya tidak dipercayai,” ujar Ghifar saat dihubungi law-justice.co, Senin (18/2/2019).  

Sebagai pengacara publik yang mendampingi Kennedy, Ghifar memuji semangat juang Kennedy. Jika bukan karena desakan yang terus menerus, ia ragu pelakunya saat ini sudah diringkus. Apa yang dilakukan Kennedy bisa menjadi contoh untuk perempuan-perempuan lainnya yang mengalami kekerasan seksual baik langsung maupun tidak langsung.

“Jangan takut. Proses hukum itu memang melelahkan. Sering kali, kita enggak mendapatkan perlakuan yang baik. Tapi proses itu harus ditempuh. Mau tidak mau, harus tetap berjuang dengan gigih. Kennedy telah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan sebagai korban,” tegas Ghifar.

Kennedy mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan oleh korban kekerasan seksual adalah keinginan yang kuat untuk memperjuangkan kasusnya hingga selesai. Jangan pasrah begitu saja atas kejahatan yang dilakukan orang lain.

Jika tidak siap tampil ke publik, korban bisa menceritakannya kepada orang-orang terdekat yang dipercayai. Atau bisa mengadukan masalahnya kepada lembaga-lembaga seperti Komnas Perempuan, Safenet, atau Lembaga Bantuan Hukum.

Kennedy dan Susy Rizky telah membuktikan, sesuatu yang sulit bisa terwujud jika sungguh-sungguh memperjuangkannya. Mereka adalah perempuan yang membantu negara menciptakan iklim demokrasi dan penegakan hukum yang lebih baik. Menegaskan kembali, bahwa tidak ada tempat aman bagi orang-orang yang melakukan kejahatan seksual.

 

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar