Tan Malaka: Kalau Bertemu Tuhan Saya akan Mengaku Islam (II)

Rabu, 06/03/2019 20:39 WIB
Tan Malaka (DW/United Archives/ Pictures Alliances)

Tan Malaka (DW/United Archives/ Pictures Alliances)

law-justice.co - Tak tahan dengan penderitaan kuli kontrak di Deli, Tan Malaka memilih hijrah ke Semarang. Di sana ia kian sadar tak mungkin bagi dirinya untuk berjuang sendirian melawan penindasan Belanda. Untuk itu, ia memilih bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Dalam organisasi itu, ia mendirikan sekolah untuk murid-murid miskin dan aktif pula di serikat pekerja.

Setahun berselang, pada 1921, Ibrahim dipercaya menjadi Ketua PKI di Semarang. Ia juga diangkat sebagai perwakilan komunis internasional yang berbasis di Moskow untuk wilayah Hindia-Belanda. Sejak saat itu, gerak-geriknya sangat diwaspadai oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kecurigaan itu terbukti beralasan. Pada 1926, PKI melakukan perlawanan terbuka—kerap pula disebut pemberontakan—terhadap kaum penjajah. Sebenarnya, Tan Malaka sama sekali tak setuju dengan strategi frontal semacam ini. Ia beralasan, perlawanan terbuka akan berujung pada kegagalan yang besar.

Perkiraan itu terbukti benar. Paska pemberontakan PKI, kekuatan kaum komunis di Hindia-Belanda diberangus. Sebagai ketua partai, Tan Malaka pun harus menerima konsekuensinya. Ia ditahan dan dibuang ke luar Hindia-Belanda. Hal inilah yang menyebabkan Tan Malaka berpetualang ke berbagai belahan dunia selama 20 tahun.

Paska pemberontakan itu, Tan Malaka memtuskan hubungannya dengan Moskow. Ia juga memilih mundur sebagai ketua partai, bahkan keluar dari PKI setahun kemudian. Namun, Ibrahim tetap merupakan seorang penentang penjajahan Belanda yang radikal. Hal ini ditunjukan dengan inisiatifnya mendirikan sebuah organisasi baru, Partai Republik Indonesia (PARI) di Thailand pada 1927.

Setelah dibuang ke luar Hindia-Belanda, ia sempat hidup beberapa negara, termasuk Negeri Belanda. Di sana, Tan Malaka sempat mencalonkan diri untuk menjadi anggota parlemen, namun gagal karena tak mendapat suara yang cukup. Petualangannya berlanjut di Moskow, ketika ia dipercaya menjadi wakil Asia Tenggara dalam gabungan partai komunis dunia (Comintern).

Pria asal Sumatera Barat ini diminta untuk mendirikan organisasi anti-kolonialisme di kawasan tanah jajahan beberana negara Eropa itu. Tugas ini tentu tak mudah. Apalagi, ia merupakan buruan polisi rahasia dari enam negara, Jepang, Tiongkok, Inggris, Amerika Serikat, Perancis dan Belanda . Menurut Poeze, para pemburunya itu berhasrat menangkap sosok agitator yang dapat memengaruhi banyak orang itu.

“Hal ini berarti Tan Malaka harus hidup sebagai seorang bawah tanah. Selama 20 tahun, Tan Malaka bekerja di Asia Tenggara secara rahasia. Baru pada 1942, ia kembali ke Jawa yang ketika itu sudah diduduki oleh Jepang. Saat itu, ia masih menggunakan nama samaran,” kisah Poeze.

Menggunakan nama samaran Ilyas Husein, Tan Malaka sempat bekerja pada pemerintah militer Jepang sebagai mandor pekerja romusha di sebuat tambang batu bara yang terletak di Bayah, Banten pada 1943. Pekerjaan ini dilakoninya semata-mata karena penyamarannya mulai terbongkar oleh pemerintah Dai Nippon ketika ia bermukim di Jakarta.

Setelah pemerintah militer Jepang menyerah kepada sekutu, Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya. Namun Tan Malaka agak terlambat muncul karena baru terlibat dalam perjuangan melawan Sekutu dan Belanda pada Desember 1945.

Menurut Poeze, pada mulanya ia datang untuk mendukung Soekarno. Namun belakangan ia berupaya memengaruhi arah politik Indonesia ke jurusan kiri-radikal karena pada saat itu pemerintah memilih jalan diplomasi.

Selama hampir setengah abad, Harry Poeze konsisten menelusuri perjalanan hidup Tan Malaka (law-justice.co/Teguh Vicky Andrew)

“Latar belakang dan pengalaman politiknya membuatnya menyimpulkan agar tidak berkompromi dengan penjajah, seperti yang dilakukan oleh Soekarno, Hatta dan Syahrir yang memang memiliki haluan politik yang moderat. Hal itulah yang menyebabkan Tan Malaka memilih melakukan perjuangan sampai Belanda diusir dari pantai Indonesia,” kata Poeze.

Seturut pemikiran itu, ia tak melulu mendorong sebuah perjuangan fisik, tetapi juga membuka kemungkinan untuk berjuang di meja perundingan. Namun berbeda dengan Soekarno dan Hatta, Ibrahim menginginkan upaya diplomasi itu dilakukan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka mengistilahkannya sebagai “Merdeka 100 Persen”.

Meskipun berbeda pandangan politik, secara pribadi hubungan Tan Malaka dengan para pendiri bangsa cukup baik, termasuk dengan Soekarno. Dalam pandangan Poeze, Ibrahim memiliki banyak kesamaan dengan Soekarno. Keduanya sama-sama memiliki kemampuan untuk mengerakan banyak orang, pembicara ulung yang dapat bicara panjang lebar di depan orang banyak.

Tan Malaka juga memiliki visi politik yang sama dengan Soekarno. Secara khusus, Soekarno pernah mengadakan pertemuan dengan Tan Malaka setelah proklamasi kemerdekaan. Bahkan ketika itu, itu, presiden pertama Indonesia ini mengakui Tan Malaka sebagai sosok yang lebih pandai di bidang politik, sejarah, dan taktik/siasat ketimbang dirinya.

Seperti yang terekam dalam sebuah surat, bila Soekarno-Hatta ditangkap oleh Belanda, maka pemimpin republik akan beralih pada Tan Malaka. “(Pengakuan terhadap kemampuan Tan Malaka ini yang) menyebabkan Soekarno pernah menulis sebuah testamen politik yang di dalamnya menyebutkan bila Soekarno-Hatta ditahan maka pemimpin baru Republik Indonesia akan diserahkan pada Tan Malaka.

Namun sayangnya testamen ini tidak pernah dipakai karena Soekarno Hatta diakui oleh sekutu sebagai wakil Republik Indonesia, kata peraih gelar doktor dari Universitas Amsterdam itu.

Namun perkembangan situasi politik pada saat itu membuat Soekarno-Hatta kian bersebrangan dengan Tan Malaka. Puncaknya terjadi ketika, Ibrahim dengan terang-terangan memperlihatkan perlawanan terhadap presiden dan wakil presiden Indonesia itu. Akibatnya, ia pun dijebloskan ke penjara selama 2,5tahun.

Tan Malaka baru dibebaskan pada 1948, ketika Peristiwa Madiun pecah. Seperti yang ditunjukkannya dalam Pemberontakan PKI pada 1926, ia juga menentang upaya itu. Namun situasi kian memanas karena setelah Peristiwa Madiun, dalam waktu yang berdekatan, Belanda melakukan aksi polisionil kedua pada Desember 48 yang mengubah nasib banyak orang, termasuk Tan Malaka.

Ketika sedang mengikuti gerilya, tanpa alasan yang jelas, Tan Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia. Setelah sempat ditahan, ia dieksekusi mati dengan cara ditembak mati tanpa proses peradilan pada Februari 1949 oleh seorang prajurit berpangkat rendah. Tewas mengenaskan, ia dikubur tanpa nisan sehingga lokasi makamnya tidak terdekteksi keberadaannya

“Ini yang menyedihkan, ia adalah seorang yang penting, diakui dunia internasional, tapi dia ditembak mati oleh seorang prajurit berpangkat rendah di Jawa timur, dikubur tanpa nisan, dan selama bertahun-tahun tidak diketahui di mana makamnya,” ujar Poeze.

Dihilangkan dari Sejarah

Pada 2007, Harry Poeze berhasil menemukan makam Tan Malaka di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Penemuan ini berdasarkan hasil riset yang sedang dilakukan oleh sejarawan Belanda itu. Segera setelah kuburan tanpa nisan itu dibongkar dan berdasarkan temuan yang ada, diduga kuat bahwa sosok yang bersemayam di dalam makam itu adalah Tan Malaka.

Namun karena sisa-sisa tubuh di dalam kuburan itu sangat minim dan sudah sangat rusak , uji DNA yang dilakukan tidak memenuhi syarat sehingga secara medis belum dapat dibuktikan sepenuhnya bahwa kuburan itu berisi jasad Tan Malaka. Hal inilah yang membuat sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang berarti terhadap temuan penting ini.

Salah satu faktor yang menyebabkan lambatnya penanganan ihwal temuan kuburan Tan Malaka disebabkan koordinasi yang buruk antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur dan Kementerian Sosial (Kemensos). Pihak Pemprov merasa berkepentingan karena makam itu ditemukan di wilayahnya, sementara karena Tan Malaka berstatus pahlawan nasional maka Kemensos merasa punya wewenang untuk mengurusi persoalan ini.

Saat ini, menurut Poeze, setidaknya ada tiga wacana yang mengemuka ihwal tindak lanjut temuan makam Tan Malaka ini. Pertama, lokasi kuburan itu tetap di Jawa Timur. Kedua, makam itu dialihkan ke Sumatera Barat yang menjadi tempat kelahiran Tan Malaka, atau yang ketiga dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

(Twitter)

Meskipun begitu, sampai saat ini belum ada putusan akhir yang diambil. Poeze mengaku, setiap kali datang ke Indonesia, ia selalu menemui Kemensos untuk mengetahui perkembangan terkini. Namun setiap kali ditanya jawabannya selalu sama, keputusan hampir selesai. Jawaban itu yang terus diulang- ulang, tanpa ada perkembangan yang pasti. Hal inilah yang membuat Poeze curiga karena keputusan yang mengantung itu terkait dengan permainan politik.

“Mungkin masa ada kelompok kanan yang menganggap Tan Malaka sebagai orang seorang komunis. Hal itulah yang membuat pemerintah agak segan dan harus menimbang putusan yang akan diambil dengan sangat hati-hari,” duga Poeze. Pada kenyataannya, perkiraan sejarawan asal Belanda itu sangat beralasan.

Status pahlawan nasional yang diberikan pada Tan Malaka—bersama Alimin—oleh Soekarno pada 1963, misalnya bukan diberikan karena kontribusi pria asal Minangkabau itu, tetapi karena kepentingan politik praktis karena PKI ketika itu merupakan pendukung pemerintah.

Ketika pemerintah Orde Baru yang anti-komunis berkuasa, gelar itu tidak pernah dicabut. Namun cap orang kiri yang begitu kental pada diri Tan Malaka, membuat namanya dihilangkan dalam sejarah Indonesia. Anak-anak sekolah pada masa itu, mungkin pernah mendengar secara samar-samar sosok Tan Malaka ataupun statusnya sebagai pahlawan nasional. Namun mereka tak pernah tahu apa kontribusi sosok ini hingga bisa mendapatkan gelar itu.

“Cap komunis pada diri Tan Malaka membuat pemerintah Orde Baru dengan senang hati mengilangkannya dalam sejarah Indonesia. Hal ini merupakan pilihan yang paling logis karena ia terlanjur diakui sebagai pahlawan nasional dan gelar itu tidak bisa dicabut. Jadi pemerintah Orde pada saat itu merintahkan untuk tidak memunculkan sosok Tan Malaka dalam sejarah sehingga ia dilupakan dan dicoret dalam buku sejarah,” kata Poeze.

Warisan penghilangan ingatan itu masih dirasakan sampai sekarang. Kini, Tan Malaka hanya dianggap sebagai seorang komunis. Cap itu membuat diskusi-diskusi tentang Bapak Republik tak pernah benar-benar bebas dari gangguan. Berbagai upaya pembubaran—baik yang berhasil atau tidak—secara konsisten dilakukan oleh berbagai ormas, terutama Front Pembela Islam (FPI) terus terjadi.

Harry Poeze beberapa kali pernah mengalaminya secara langsung. Namun ia tak pernah mengeluh, apalagi merasa tertekan oleh peristiwa-peristiwa semacam ini . Sebaliknya Upaya-upaya ini, baginya, merupakan bentuk penghormatan terhadap pekerjaan yang dilakukan selama 48 tahun terakhir. Bahkan dalam tataran yg lebih luas, aksi-aksi represif itu justru membuat sejarah Indonesia menjadi sangat menarik.

“Inilah letak perbedaan sejarah di Indonesia dan Belanda. Di negeri ini sejarah lebih hidup karena ada diskusi terus-menerus mengenai jasa seseorang yang penting dalam revolusi yang juga melibatkan emosi. Hal itu tidak mungkin terjadi di Belanda, tetapi di Indonesia hal itu terjadi melalui pelarangan buku-buku saya tentang Tan Malaka oleh pemerintah,” tutup Poeze. (Tamat)

Ditulis oleh: Teguh Vicky Andrew

Reporter: Teguh Vicky Andrew, Januardi Husin dan Hartanto Adi Saputra

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar