Nawaitu Redaksi

Sidang Kasus Impor Gula, Terungkap Adanya Perintah Jokowi

Minggu, 06/07/2025 15:55 WIB
Ilustrasi: Suasana bongkar gula impor. (Kompas)

Ilustrasi: Suasana bongkar gula impor. (Kompas)

[INTRO]

Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menilai keterangan yang disampaikan oleh Ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta Wiryawan Chandra dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi impor gula sangat menarik. Wiryawan yang bersaksi secara virtual menyarankan agar Presiden RI ke-7 Joko Widodo dihadirkan dalam persidangan untuk membuat terang kebijakan mengenai impor gula.

"Cukup banyak keterangan yang sangat menarik, tapi mungkin yang utama yang paling menarik buat saya ya tadi itu, komentar saksi Ahli Hukum Administrasi Negara yang dihadirkan oleh Penuntut supaya presiden yang menjabat saat itu juga dihadirkan dalam persidangan untuk memberikan keterangan," jelasnya Tom di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, sebagaimana dikutip law-justie.co Senin (23/6).

Tom menyebut Jokowi sewaktu menjabat Presiden 2014-2019 memerintahkan semua aparat dan instansi untuk ikut membantu mengatasi gejolak harga pangan yang terjadi, termasuk gula. Jadi  impor gula yang dilakukan saat itu menurut Tom karena karena menjalankan tugas dari Jokowi. Karena itu Tom Lembong meminta supaya Jokowi dihadirkan di persidangan agar terbuka apa yang sebenarnya terjadi.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah : Apakah seorang pejabat negara dapat dibenarkan secara hukum jika melakukan tindakan atas dasar perintah lisan dari Presiden?. Mengapa mantan Presiden Jokowi belum diminta bersaksi, padahal disebut langsung sebagai pemberi instruksi?. Apakah kasus ini mencerminkan persoalan struktural dalam tata kelola kebijakan pangan dan impor gula di Indonesia?

Soal Perintah Lisan Presiden

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam prinsip negara hukum, segala tindakan penyelenggara negara termasuk presiden, menteri, dan pejabat publik lainnya harus berdasarkan hukum, bukan semata-mata atas dasar kehendak pribadi, kepentingan politik, atau bahkan loyalitas jabatan.

Dalam konteks ini, perintah lisan, meskipun datang dari Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, tidak dapat menjadi dasar yang sah secara hukum jika tidak diikuti oleh prosedur administratif yang sesuai dan pencatatan yang sah. Dengan kata lain, tindakan administratif dan kebijakan publik harus selalu dapat ditelusuri secara formil, termasuk adanya dokumen, peraturan, atau instruksi tertulis.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam praktik pemerintahan, pejabat publik sering berada di persimpangan antara menjalankan tugas administratif dan memenuhi ekspektasi atau bahkan perintah atasan politiknya, termasuk Presiden. Loyalitas politik, terutama dalam pemerintahan presidensial yang kuat seperti Indonesia, menjadi tekanan yang nyata.

Namun hukum administrasi menegaskan bahwa tanggung jawab hukum pejabat tidak bisa dialihkan kepada Presiden semata. Dalam doktrin hukum pertanggungjawaban administrasi, dikenal asas personal responsibility,artinya, setiap pejabat bertanggung jawab atas keputusannya sendiri, terutama jika ia menandatangani suatu kebijakan atau perjanjian, terlepas dari apakah tindakan itu dilakukan karena instruksi lisan dari atasan.

Dalam kasus dugaan korupsi impor gula yang saat ini sedang disidangkan, jika benar ada instruksi lisan dari Presiden yang mendorong atau memerintahkan agar dilakukan percepatan impor demi menstabilkan harga, maka pertanyaan hukum yang muncul adalah: Apakah perintah itu diformalkan? Apakah sudah melewati prosedur tata kelola pemerintahan yang benar? Apakah perintah tersebut memiliki kekuatan hukum?

Pernyataan Ahli Hukum Administrasi Negara, Wiryawan Chandra, yang menyarankan agar Presiden saat itu (Joko Widodo) dihadirkan ke persidangan, bukan semata-mata untuk menyeret kepala negara ke ruang pidana, tapi demi mengungkap keterkaitan antara kebijakan politik tingkat tertinggi dengan implementasinya di lapangan.

Jika perintah yang dijalankan oleh pejabat seperti Thomas Lembong ternyata berasal dari suatu kebijakan lisan Presiden  tanpa dokumen hukum, tanpa keputusan resmi  maka pejabat pelaksanalah yang menanggung risiko hukum. Di sinilah muncul dilema tajam antara loyalitas dan integritas hukum.

Pemerintahan yang baik (good governance) menuntut adanya akuntabilitas, transparansi, dan dokumentasi yang sah atas setiap kebijakan. Perintah, terutama yang menyangkut sektor strategis seperti pangan dan perdagangan internasional, tidak bisa dijalankan semata karena "sudah diperintahkan oleh Presiden" secara lisan, melainkan harus melalui proses formalisasi kebijakan yang bisa diuji secara hukum.

Mengapa Jokowi Belum Dipanggil ?

Salah satu prinsip utama dalam sistem hukum modern adalah fair trial, atau peradilan yang adil. Dalam prinsip ini, semua pihak  baik terdakwa, saksi, maupun pihak-pihak yang relevan dengan peristiwa hukum berhak dan wajib didengar keterangannya secara terbuka dan imparsial. Apalagi jika seorang terdakwa secara eksplisit menyatakan bahwa tindakannya merupakan pelaksanaan perintah atasan tertinggi negara, yaitu Presiden.

Jika memang benar Presiden saat itu dalam hal ini Joko Widodo memberikan arahan, perintah, atau instruksi tertentu, maka logika keadilan prosedural mengharuskan pengadilan memverifikasi hal tersebut secara langsung, melalui keterangan Presiden sendiri, bukan hanya berdasarkan pernyataan sepihak dari terdakwa.

Tanpa itu, pengadilan hanya mengandalkan satu versi narasi, sementara pihak yang disebut (dalam hal ini Jokowi) tidak pernah dikonfirmasi atau diuji keterangannya di ruang sidang. Ini menciptakan ketimpangan dalam pencarian kebenaran, dan bisa mengarah pada ketidakadilan substantif.

Dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas publik, tak ada jabatan yang boleh berdiri di atas hukum. Presiden atau mantan Presiden, meskipun adalah kepala negara, tetap merupakan pejabat publik yang secara teoritis dapat dimintai klarifikasi, keterangan, bahkan pertanggungjawaban, dalam konteks penyelidikan atau pembuktian hukum apalagi jika disebut secara langsung.

Permintaan untuk menghadirkan mantan Presiden bukan berarti menggugat legalitas atau integritas jabatan presiden secara institusional, tetapi justru menguatkan posisi hukum jabatan itu sendiri: bahwa mantan Presiden pun tunduk pada mekanisme transparansi dan pencarian fakta.

Jika benar perintah impor gula berasal dari kebijakan Presiden, maka keterangannya justru bisa membuka duduk perkara secara utuh, membedakan antara pelaksanaan kebijakan negara dan penyimpangan prosedural di tingkat pelaksana.

Pertanyaan mengapa Jokowi belum juga diminta bersaksi juga dapat mengarah pada dua kemungkinan besar:

Pertama, ada kehati-hatian politis dan institusional dalam menghadirkan seorang mantan kepala negara ke ruang sidang pidana. Indonesia belum terbiasa menghadapkan sosok presiden, apalagi yang masih berpengaruh secara politik, ke dalam forum pengadilan terbuka, meskipun hanya sebagai saksi.

Kedua, bisa jadi ada keengganan dari aparat penegak hukum untuk membuka "lapisan atas" dari kebijakan publik yang sudah lama berjalan karena membuka satu titik mungkin bisa menyeret banyak pihak lain, dan membongkar sistem pengambilan keputusan yang lebih kompleks daripada yang selama ini ditampilkan.

Namun, kedua alasan ini, meskipun bisa dimengerti secara politis, lemah secara hukum. Karena dalam sistem peradilan, posisi siapapun  termasuk Presiden  atau mantan Presiden harus setara di hadapan hukum (equality before the law).

Tidak menghadirkan Jokowi ke pengadilan untuk memberikan kesaksian bisa menciptakan preseden buruk dalam hukum administrasi dan hukum pidana negara. Artinya, seorang pejabat di masa depan bisa saja berlindung di balik "perintah lisan dari Presiden" tanpa bukti formal, dan aparat hukum bisa jadi enggan menguji kebenarannya.

Padahal, dalam konteks hukum tata negara, Presiden tidak bisa mengeluarkan kebijakan hanya secara lisan tanpa melalui mekanisme formal. Jika Presiden memberi perintah secara lisan untuk melakukan tindakan administratif seperti impor dan itu tidak ditindaklanjuti dengan peraturan, keputusan, atau instruksi tertulis maka perintah tersebut tidak memiliki kekuatan hukum, dan pejabat pelaksanalah yang akan menanggung beban risiko hukum sepenuhnya.

Namun, jika benar Presiden memang menginstruksikan hal itu dalam kapasitasnya sebagai pengambil kebijakan strategis nasional, maka ia memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk hadir dan menjelaskan latar belakang kebijakan tersebut  demi keadilan bagi para pelaksananya.

Cermin Amburadulnya Tata Kelola Impor Gula ?

Dalam lanskap kebijakan pangan nasional, terutama terkait komoditas strategis seperti gula, tersembunyi sebuah ironi yang terus berulang: meski menyangkut hajat hidup jutaan rakyat, kebijakan ini justru lebih sering ditentukan dalam ruang-ruang tertutup yang didominasi oleh elite politik dan birokrasi tingkat atas. Proses pengambilan keputusan yang seharusnya melibatkan mekanisme deliberatif dan pengawasan publik, justru dikuasai oleh sedikit tangan dengan pengaruh besar. Tidak heran bila transparansi kerap menjadi barang langka, dan akuntabilitas menjadi bayangan samar dalam sistem tata kelola yang semestinya demokratis

Pernyataan Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang mengaku hanya menjalankan "perintah Presiden" dalam kebijakan impor gula, menjadi potret nyata dari kondisi birokrasi yang hierarkis dan tidak deliberatif. Dalam sistem seperti ini, keputusan besar mengenai pangan bisa diambil secara informal, bahkan hanya melalui komunikasi lisan, tanpa dokumentasi administratif yang sah. Ini menandakan adanya sistem kebijakan yang tidak hanya tertutup, tapi juga sangat rentan disalahgunakan, bahkan ketika kebijakan tersebut dilakukan atas nama "darurat" atau "krisis nasional".

Kata "krisis" dalam konteks kebijakan pangan di Indonesia seolah telah menjadi mantra sakti. Dalam banyak kesempatan, pemerintah menggunakan dalih krisis gejolak harga, ancaman kelangkaan, atau tekanan inflasi  untuk menjustifikasi langkah-langkah cepat dan darurat, termasuk membuka keran impor.

Namun sayangnya, alasan darurat ini seringkali digunakan bukan sebagai pintu masuk untuk solusi jangka panjang, melainkan sebagai celah untuk melompati prosedur formal, menghindari pertanggungjawaban, dan menyisihkan pelibatan publik. Dalam situasi semacam itu, kebijakan bukan lagi merupakan hasil perencanaan matang, tetapi berubah menjadi ekspresi kuasa yang tak tersentuh kontrol.

Di balik keputusan-keputusan semacam itu, sering tersembunyi kepentingan korporasi besar atau jaringan oligarki yang memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan. Kuota impor, distribusi, dan pengaturan harga tidak jarang justru lebih menguntungkan segelintir pelaku pasar besar daripada petani lokal atau konsumen. Dalam atmosfer yang minim transparansi dan miskin partisipasi publik, negara justru menciptakan ladang subur bagi persekongkolan antara pengusaha dan pejabat, serta membiarkan kebijakan strategis diambil berdasarkan kepentingan jangka pendek kelompok tertentu.

Pertanyaan-pertanyaan fundamental pun menggantung tanpa jawaban: Siapa yang memutuskan impor? Berdasarkan data dan pertimbangan apa? Apakah pelaku lokal dan DPR terlibat dalam diskusi? Bisakah publik mengakses dokumen-dokumen kebijakan tersebut? Dalam banyak kasus, jawabannya menyedihkan: tidak ada yang tahu pasti.

Kembali pada pernyataan Thomas Lembong, muncul pertanyaan mendalam tentang keberadaan mekanisme pertanggungjawaban di tingkat institusional. Jika benar kebijakan impor hanya didasarkan pada perintah lisan tanpa dokumentasi resmi, maka kita tidak sekadar bicara soal dugaan pelanggaran hukum, tetapi tentang kegagalan sistemik. Di sini, individu bukan hanya menjadi pelaku, tetapi juga korban dari sistem yang membiarkan keputusan penting diambil dalam ruang gelap dan dipertanggungjawabkan secara sepihak ketika persoalan muncul ke permukaan.

Kondisi ini semestinya sudah lama menjadi alarm bagi negara untuk melakukan reformasi mendasar dalam tata kelola kebijakan pangan. Laporan demi laporan dari lembaga pengawas seperti BPK, KPPU, hingga Ombudsman telah berkali-kali menyoroti masalah impor dan distribusi pangan, namun perubahan nyata belum kunjung terjadi. Sistem data pangan yang seharusnya independen dan bisa diaudit masih belum terbentuk secara utuh.

Prosedur pengambilan keputusan masih tertutup. Pelibatan masyarakat sipil dan asosiasi petani masih minim. Pengawasan lintas lembaga terhadap kuota impor pun berjalan setengah hati. Hasil akhirnya mudah ditebak: ketika terjadi masalah atau skandal, yang dikorbankan adalah pelaksana di lapangan menteri, direktur, pejabat teknis sementara mereka yang berada di balik kebijakan tetap tak tersentuh.

Pada titik inilah kita harus menyadari bahwa kasus dugaan korupsi impor gula bukan sekadar soal siapa yang salah atau siapa yang memberi perintah. Ini adalah cermin retak dari sistem pengambilan kebijakan yang tertutup, elitis, dan rawan diselewengkan. Sistem semacam ini bukan hanya membuka jalan bagi praktik koruptif, tetapi juga merusak sendi-sendi kepercayaan publik terhadap negara dan hukum.

Sudah saatnya bangsa ini berhenti menjadikan krisis sebagai alasan untuk bertindak tanpa dasar hukum. Sudah waktunya pemerintah membangun tata kelola yang akuntabel, terbuka, dan berpihak pada rakyat bukan hanya sebagai jargon, tapi sebagai sistem yang hidup dalam setiap proses pengambilan keputusan. Jika tidak, maka kasus serupa akan terus terulang. Komoditasnya bisa berganti; pelakunya bisa berbeda; tapi polanya akan sama. Dan seperti biasa, rakyat akan kembali menjadi pihak yang paling dirugikan. Menggenaskan sekali ya.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar