Dr. Roy T Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co
Analisis Hukum PP 24/2025 Justice Collaborator & Keadilan Substantif

Ilustrasi Fakta Penegakan Hukum yang Adil Sulit Diraih Rakyat yang Jatuh Bangun Berjuang Mencari Keadilan (LPM Arena)
Jakarta, law-justice.co - Justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus pidana kini mendapat keistimewaan dari pemerintah. Keistimewaan itu berupa hukuman ringan atau bebas bersyarat.
Aturan itu tertulis dalam peraturan pemerintah (PP) tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku. PP itu bernomor 24 tahun 2025 dan diteken Presiden Prabowo Subianto pada 8 Mei 2025 yang lalu.
Terbitnya PP tentang JC tersebut mendapatkan apresiasi dari banyak pihak diantaranya datang dari Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung mengapresiasi keputusan pemerintah yang membuat beleid baru ini.
Pemberantasan korupsi di Indonesia diyakini bakal semakin bertaring, ke depannya .“PP ini saya kira sangat tepat, bahwa terkait dengan program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka, ini akan menjadi alat pemacu bagi siapa saja katakanlah orang-orang yang terlibat di dalamnya, tetapi, bukan menjadi pelaku utama ini akan mengungkap,” kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa, 24 Juni 2025.
Apresiasi juga disampaikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Wakil Ketua LPSK Susilaningtias mengatakan pihaknya menyambut positif terbitnya peraturan tersebut. Sebab, beleid itu mempertegas pemberian perlindungan, penanganan khusus, dan penghargaan bagi justice collaborator.
"Berkenaan dengan pembebasan bersyarat, ini sebagai bentuk penghargaan bagi JC atas perannya bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap kejahatan, di mana JC terlibat di dalamnya," tutur Susilaningtias saat dikonfirmasi pada Rabu, 25 Juni 2025.
Sungguhpun demikian ada juga pihak yang menilai bahwa pengaturan soal JC kedalam PP dinilai kurang tepat seperti yang disampaikan oleh Ahli Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. "JC dalam konteks penjatuhan hukuman itu ranahnya peradilan, jadi presiden sebagai kepala eksekutif tidak bisa mencampuri ranahnya peradilan. Ini intervensi namanya," kata Abdul Fickar kepada wartawan, Kamis (26/6/2025) sebagaimana dikutip media.
ANALISIS HUKUM PP JUSTICE COLLABORATOR
- Latar belakang lahirnya PP No. 24 Tahun 2025
Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 yang secara resmi mengatur mekanisme justice collaborator (JC) bagi saksi-pelaku sesungguhnya tidak muncul secara tiba-tiba. Kebijakan ini lahir dari serangkaian kebutuhan hukum yang mendesak dan realitas di lapangan yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam mengungkap kejahatan besar yang melibatkan banyak pihak. Ada lima faktor utama yang mendorong lahirnya peraturan ini.
Pertama, dorongan kuat akan kepastian hukum. Selama ini, dasar hukum bagi status JC hanya bersandar pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 serta peraturan bersama antar lembaga penegak hukum. Sayangnya, dokumen-dokumen tersebut bersifat internal dan tidak mengikat secara formal. Alhasil, aparat penegak hukum dan hakim kerap ragu menerapkannya.
Jaksa maupun penyidik pun tidak memiliki kewajiban yang kuat untuk mematuhi SEMA tersebut. Akibatnya, status JC sering kali diabaikan, tidak disebutkan dalam putusan hakim, atau bahkan tidak dipertimbangkan dalam proses hukum. Dengan hadirnya PP No. 24 Tahun 2025, pemerintah berupaya menyediakan payung hukum yang mengikat, yang memperjelas prosedur, kriteria, dan bentuk penghargaan berupa pengurangan hukuman atau pembebasan bersyarat bagi saksi pelaku yang kooperatif.
Kedua, PP ini menjadi bentuk konkret dari upaya menindaklanjuti komitmen internasional, khususnya sebagai negara pihak Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC). Dalam konvensi tersebut, Indonesia berkewajiban memberikan pertimbangan hukum, seperti pengurangan hukuman atau bentuk perlindungan lain, bagi pelaku yang bersedia bekerja sama secara substansial untuk mengungkap tindak pidana. Namun, sampai saat ini, belum ada peraturan nasional yang secara formal dan tegas mengatur mengenai imunitas terbatas atau penghargaan bagi JC. PP ini hadir untuk menjembatani kesenjangan antara kewajiban internasional dan praktik hukum nasional.
Ketiga, dorongan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum, terutama dalam kasus-kasus kejahatan terorganisir dan korupsi. Sejumlah studi dan pengalaman penanganan perkara membuktikan bahwa kehadiran JC mampu mempercepat pembongkaran jaringan kejahatan yang kompleks. Melalui pengakuan dari pelaku yang bukan aktor utama, aparat bisa mengidentifikasi otak di balik kejahatan. Dalam banyak kasus, seperti skandal e-KTP, narkoba, hingga terorisme, mantan pelaku yang diberi insentif cenderung lebih terbuka dan bersedia memberikan kesaksian yang krusial bagi penegakan hukum.
Keempat, terbitnya PP ini juga merupakan bagian dari dorongan reformasi hukum acara pidana. Meskipun Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 31 Tahun 2014 jo. UU No. 13 Tahun 2006) sudah mengakomodasi perlakuan khusus bagi saksi-pelaku, termasuk pengurangan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 10A, pelaksanaannya masih sangat terbatas.
Ketentuan ini juga belum sepenuhnya terintegrasi dalam KUHAP dan KUHP sebagai bagian formal dari sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, PP No. 24/2025 berfungsi memperkuat dan mengisi kekosongan aturan teknis untuk menyelaraskan mekanisme JC ke dalam sistem hukum acara pidana nasional.
Kelima, peraturan ini juga menjawab kritik terhadap ketidakseragaman pelaksanaan JC selama ini. Banyak ditemukan kasus di mana status JC tidak diterapkan karena aparat tidak konsisten mengikuti SEMA. Dalam beberapa putusan, hakim bahkan tidak menyebut status JC sebagai pertimbangan hukum. Akibatnya, pelaku yang telah membantu justru tidak mendapatkan perlindungan atau keringanan hukuman.
Dengan demikian kehadiran PP ini diharapkan mampu meningkatkan konsistensi, transparansi, serta perlindungan hukum dan fisik bagi JC termasuk mekanisme seperti pemisahan tahanan, pembagian berkas terpisah, hingga pelaksanaan sidang tertutup atau tanpa tatap muka.
- Substansi Yang Diatur dalamPP No. 24 Tahun 2025
Dalam upaya memperkuat sistem peradilan pidana dan membuka jalan bagi pembongkaran kejahatan terorganisir, PP No. 24 Tahun 2025 hadir sebagai perangkat hukum yang mengatur secara tegas dan terstruktur mengenai status justice collaborator (JC). Peraturan ini memuat ketentuan-ketentuan penting mulai dari definisi, prosedur pengajuan, bentuk penghargaan, perlindungan, hingga mekanisme pengawasan dan akuntabilitas.
Substansi pertama yang diatur dalam PP ini adalah definisi dan kategori JC. Dalam pengertiannya, justice collaborator adalah seorang saksi sekaligus pelaku dalam suatu tindak pidana, namun dengan catatan bahwa ia bukan merupakan pelaku utama. Kejahatan yang termasuk dalam cakupan ini mencakup pidana berat seperti korupsi, tindak pidana korporasi, narkotika, terorisme, serta tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam konteks ini, peraturan juga merinci syarat struktural yang harus dipenuhi, seperti keterlibatan lebih dari satu pelaku, serta pentingnya kontribusi saksi-pelaku dalam membuka tabir kejahatan.
Selanjutnya, PP ini mengatur secara jelas syarat dan prosedur pengajuan status JC. Status ini tidak bisa diberikan secara otomatis, melainkan harus melalui pengakuan bersalah dari pelaku dan disertai pernyataan tertulis bahwa yang bersangkutan bersedia memberikan kerja sama yang signifikan kepada penegak hukum.
Proses ini kemudian dilanjutkan melalui jalur administratif yang melibatkan sejumlah lembaga: mulai dari rekomendasi penyidik, verifikasi oleh jaksa, hingga persetujuan lembaga pengawas, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau Mahkamah Agung. Penetapan status JC dilakukan sebelum sidang dimulai (pra-adjudikasi) dan dituangkan secara resmi dalam berita acara penyidikan, bukan sekadar disisipkan pasca-putusan.
Sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi dalam membongkar kasus, PP ini memberikan pengurangan hukuman dan imunitas terbatas bagi JC. Pengurangan yang diberikan tidak bersifat mutlak, tetapi ditentukan berdasarkan tingkat kontribusi dan jenis kejahatan yang diungkap.
Rentangnya cukup besar dari pengurangan maksimal ¾ dari masa pidana hingga kemungkinan pembebasan bersyarat. Namun demikian, imunitas yang diberikan tidak serta merta membebaskan JC dari segala jerat hukum. Jika terbukti menyembunyikan informasi penting, memberikan keterangan palsu, atau terlibat dalam kejahatan lainnya, maka JC tetap dapat dijerat pidana sebagaimana mestinya.
Sadar bahwa kerja sama dari seorang saksi-pelaku berisiko tinggi, pemerintah juga mengatur secara detail mengenai perlindungan hak dan fasilitas JC. Pelaku yang telah ditetapkan sebagai JC berhak atas penahanan terpisah dari narapidana lainnya, kerahasiaan identitas, serta kemungkinan untuk memberikan kesaksian secara daring atau melalui sidang tertutup guna menjamin keselamatan mereka. Perlindungan ini juga mencakup aspek fisik, psikologis, dan pendampingan hukum, yang akan diberikan oleh LPSK sepanjang proses hukum berjalan.
Agar mekanisme ini tidak disalahgunakan atau dimonopoli oleh satu pihak, PP ini memperkuat peran pengawasan dan akuntabilitas. Keterlibatan lembaga-lembaga independen seperti LPSK, KPK, dan Mahkamah Agung dijamin melalui kewajiban mereka dalam proses verifikasi JC. Pemerintah juga diharuskan melaporkan perkembangan pelaksanaan PP ini secara berkala kepada DPR, termasuk menyampaikan evaluasi terhadap potensi penyimpangan dan melakukan audit sistemik melalui inspektorat jenderal di masing-masing lembaga terkait.
Salah satu poin penting dalam PP ini adalah pemberian sanksi administratif dan pidana terhadap aparat penegak hukum baik jaksa, penyidik, maupun pejabat yang dengan sengaja menolak memberikan status JC tanpa alasan yang sah atau menyalahgunakan kewenangan dalam proses evaluasi. Hal ini merupakan langkah penting dalam menjamin keadilan dan integritas sistem peradilan.
Terakhir, PP No. 24 Tahun 2025 menegaskan pentingnya harmonisasi dan keselarasan regulasi. Peraturan ini tidak boleh bertentangan dengan KUHAP, KUHP, maupun Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 31 Tahun 2014 jo. UU No. 13 Tahun 2006). Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian, maka peraturan perundang-undangan di atasnya perlu direvisi untuk menjaga tertib hierarki hukum nasional.
- Isu Krusial PP Nomor 24 Tahun 2025
Seiring diterbitkannya PP Nomor 24 Tahun 2025, diskursus publik dan para ahli hukum menghangat. Meskipun regulasi ini diharapkan dapat memperkuat penegakan hukum terhadap kejahatan berat dan terorganisir, penerbitannya juga memunculkan berbagai isu kritis dan kontroversial, terutama terkait ketegangan antara “penghargaan hukum” yang ditawarkan kepada pelaku, dan prinsip keadilan substantif yang menjadi fondasi sistem peradilan pidana.
Pertama, Potensi Penyalahgunaan Status JC oleh Pelaku Utama. Isu pertama yang paling mencolok adalah kekhawatiran bahwa status JC bisa disalahgunakan oleh pelaku utama kejahatan. Dalam praktiknya, bukan tidak mungkin aktor intelektual dalam kasus korupsi besar atau sindikat narkotika mengklaim dirinya sebagai pelaku pendamping atau “bukan pelaku utama” demi memperoleh pengurangan hukuman atau imunitas terbatas. Bila verifikasi dari aparat penegak hukum maupun lembaga pengawas tidak dilakukan secara ketat, celah ini dapat dimanfaatkan untuk mengaburkan peran sesungguhnya pelaku dalam kejahatan.
Dampak dari penyalahgunaan status ini sangat serius: ia dapat menghancurkan prinsip proporsionalitas pidana, di mana hukuman semestinya diberikan sesuai dengan peran dan tingkat kesalahan pelaku. Selain itu, publik bisa kehilangan kepercayaan pada sistem hukum karena muncul persepsi bahwa hukuman bisa dinegosiasikan, menciptakan kesan bahwa keadilan dapat dibeli atau dimanipulasi.
Kedua, Potensi Intervensi Kekuasaan dalam Penetapan Status JC.Kekhawatiran lain yang juga penting adalah potensi intervensi kekuasaan dalam proses penetapan status JC. Bila penentuan status JC terlalu bergantung pada subjektivitas jaksa, penyidik, atau lembaga eksekutif, maka ada ruang bagi negosiasi politik, bahkan “transaksi hukum” di balik layar. Status JC bisa saja digunakan sebagai alat tawar-menawar dalam kasus besar, terutama ketika pelakunya berasal dari kalangan elite atau memiliki koneksi kekuasaan.
Untuk mencegah hal ini, PP No. 24/2025 harus dibentengi dengan mekanisme checks and balances yang kuat, melibatkan lembaga-lembaga independen seperti LPSK, KPK, dan Mahkamah Agung. Pengawasan publik serta transparansi dalam setiap tahap proses menjadi krusial untuk menjaga integritas penerapan JC.
Ketiga, Ketidakselarasan dengan KUHP dan KUHAP. Isu ketiga ini menyentuh aspek normatif dan sistem hukum nasional, yakni soal ketidaksesuaian antara PP No. 24/2025 dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saat ini, baik versi lama maupun versi baru KUHP dan KUHAP belum mengatur secara eksplisit mengenai penghargaan hukum berupa pengurangan pidana atau imunitas bagi pelaku yang bekerja sama dalam proses penegakan hukum.
Ketidaksesuaian ini bisa menimbulkan konflik norma, yang pada akhirnya membuka peluang gugatan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga berpotensi melanggar asas legalitas, di mana hukum tidak boleh memuat sanksi atau penghargaan pidana tanpa dasar undang-undang yang eksplisit.
Ke empat, Dilema Moral: Antara Keadilan Restoratif dan Keadilan Retributif. Bahwa di balik aspek hukum formal, PP ini juga menyentuh dilema moral yang tidak sederhana. Di satu sisi, pemberian penghargaan kepada pelaku yang bekerja sama bisa dilihat sebagai bentuk keadilan restorative mengutamakan pengungkapan kebenaran dan pembongkaran kejahatan sistemik daripada semata-mata menghukum. Di sisi lain, pendekatan ini bisa bertabrakan dengan prinsip keadilan retributif, di mana setiap pelaku kejahatan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara proporsional.
Pendukung PP ini berargumen bahwa JC memberi manfaat besar, terutama dalam mengungkap kejahatan terorganisir yang sulit diakses aparat, seperti mafia, kartel narkoba, atau jaringan korupsi lintas lembaga. Sebaliknya, para pengkritik menilai bahwa memberi imbalan kepada pelaku kejahatan dapat melukai rasa keadilan korban, bahkan menciptakan dendam sosial dan ketidakpercayaan terhadap institusi penegak hukum.
Kelima, Tantangan Implementasi di Lapangan. Isu terakhir yang tak kalah penting adalah tantangan implementasi di tingkat operasional. Sebagus apa pun substansi aturan di atas kertas, efektivitasnya tetap sangat bergantung pada pemahaman dan komitmen para aparat penegak hukum dari polisi, jaksa, hingga hakim. Dalam banyak kasus, JC yang sudah memberikan kesaksian penting tetap dikenai hukuman berat karena tidak adanya koordinasi antar lembaga atau karena aparat tidak memahami konsep JC secara utuh.
Lebih buruk lagi, tidak jarang JC tidak mendapatkan perlindungan memadai, baik secara fisik maupun hukum. Ini menunjukkan adanya jurang besar antara idealisme regulasi dan realitas di lapangan, yang jika tidak ditangani, bisa membuat regulasi ini hanya menjadi dokumen hukum tanpa daya guna.
Secara keseluruhan, isu paling menarik dari PP No. 24 Tahun 2025 adalah tarik-menarik antara dua kutub: di satu sisi keinginan pragmatis negara untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum, dan di sisi lain komitmen terhadap prinsip keadilan substantif, proporsionalitas, dan non-intervensi hukum.
Peraturan ini adalah titik temu yang rumit antara strategi hukum modern dan tantangan etik-politik dalam proses peradilan. Bila dijalankan secara hati-hati, PP ini bisa menjadi instrumen progresif untuk membongkar kejahatan besar. Namun bila disalahgunakan atau diterapkan secara asal-asalan, ia justru dapat menjadi preseden buruk yang merusak sendi-sendi keadilan di negeri ini.
Komentar